Mengenai Saya

Foto saya
Science without religion is blind and Religion without science is lame

Jumat, 28 November 2008

> Peradilan Agama

Peradilan Agama adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang. Ruang lingkup :
1 Peradilan tinggi agama
2. Peradilan agama
Pengadilan Tinggi Agama merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota Provinsi. Sebagai Pengadilan Tingkat Banding, Pengadilan Tinggi Agama memiliki tugas dan wewenang untuk mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
Selain itu, Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang untuk mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di daerah hukumnya.
Pengadilan Tinggi Agama dibentuk melalui Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi wilayah Provinsi. Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan (Ketua dan Wakil Ketua), Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris






Pengadilan Agama
Pengadilan Agama (biasa disingkat: PA) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota.
Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Agama memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
· perkawinan
· warisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
· wakaf dan shadaqah
· ekonomi syari'ah
Pengadilan Agama dibentuk melalui Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi wilayah Kota atau Kabupaten. Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan (Ketua PA dan Wakil Ketua PA), Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita.
Referensi(id) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
(id) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas




PERADILAN AGAMA
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tanggal 29 Desember 1989
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara hukumyang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib;
b. bahwa untuk mewujudkan tata kehidupan tersebut dan menjamin persamaan kedudukan warga negara dalamhukum diperlukan upaya untuk menegakkan keadilan,kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang mampumemberikan pengayoman kepada masyarakat;
c. bahwa salah satu upaya untuk menegakkan keadilan,kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum tersebutadalah melalui Peradilan Agama sebagaimana yangdimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman;
d. bahwa pengaturan tentang susunan, kekuasaan, danhukum acara pengadilan dalam lingkungan PeradilanAgama yang selama ini masih beraneka karenadidasarkan pada :
1. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa danMadura (Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152dihubungkan dengan Staatsblad Tahun 1937Nomor 116 dan 610);
2. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan KerapatanQadi Besar untuk sebagian Residensi KalimantanSelatan dan Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor638 dan 639);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957tentang Pembentukan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar'iyah di Luar Jawa danMadura (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor99).perlu segera diakhiri demi terciptanya kesatuan hukum
yang mengatur Peradilan Agama dalam kerangka sistemdan tata hukum nasional berdasarkan Pancasila danUndang-Undang Dasar 1945;
e. bahwa sehubungan dengan pertimbangan tersebut, danuntuk melaksanakan Undang-undang Nomor 14 Tahun1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman dipandang perlu menetapkan undang-undangyang mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum acarapengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) Pasal 24, dan Pasal 25Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentangKetentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman(Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, TambahanLembaran Negara Nomor 2951);
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentangMahkamah Agung (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316);Dengan Persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN AGAMA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.
2. Pengadilan adalah Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di
lingkungan Peradilan Agama.
3. Hakim adalah Hakim pada Pengadilan Agama dan Hakim pada Pengadilan
Tinggi Agama.
4. Pegawai Pencatat Nikah adalah Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan
Agama.
5. Juru Sita dan atau Juru Sita Pengganti adalah Juru Sita dan atau Juru Sita
Pengganti pada Pengadilan Agama.
Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 2
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang
diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 3
(1) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh :
a. Pengadilan Agama;
b. Pengadilan Tinggi Agama.
(2) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
Bagian Ketiga
Tempat Kedudukan
Pasal 4
(1) Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota kabupaten, dan
daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten.
(2) Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota propinsi, dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Propinsi.
Bagian Keempat
Pembinaan
Pasal 5
(1) Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.
(2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan dilakukan oleh
Menteri Agama.
(3) Pembinaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh
mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
BAB II
SUSUNAN PENGADILAN
Bagian Pertama
U m u m
Pasal 6
Pengadilan terdiri dari :
1. Pengadilan Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama;
2. Pengadilan Tinggi Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding.
Pasal 7
Pengadilan Agama dibentuk dengan Keputusan Presiden.
Pasal 8
Pengadilan Tinggi Agama dibentuk dengan Undang-undang.
Pasal 9
(1) Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera,
Sekretaris, dan Juru Sita.
(2) Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,
Panitera, dan Sekretaris.
Pasal 10
(1) Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang Ketua dan seorang WakilKetua.
(2) Pimpinan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari seorang Ketua dan seorang WakilKetua.
(3) Hakim Anggota Pengadilan Tinggi Agama adalah Hakim Tinggi.
Bagian Kedua
Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera, dan Juru Sita
Paragraf 1
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
Pasal 11
(1) Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.
(2) Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian serta pelaksanaan tugas
Hakim ditetapkan dalam Undang-undang ini.
Pasal 12
(1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai negeri
dilakukan oleh Menteri Agama.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak
boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Pasal 13
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Agama, seorang calon
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia,
termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat
langsung ataupun tak langsung dalam "Gerakan Kontra Revolusi
G.30.S/PKI", atau organisasi terlarang yang lain;
f. pegawai negeri;
g. sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;
h. berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun;
i. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama
diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai Hakim
Pengadilan Agama.
Pasal 14
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tinggi Agama, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf
a, b, c, d, e, f, g, dan i;
b. berumur serendah-rendahnya 40 (empat puluh) tahun;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Ketua atau
Wakil Ketua Pengadilan Agama atau 15 (lima belas) tahun sebagai
Hakim Pengadilan Agama.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Agama diperlukan
pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai Hakim Pengadilan
Tinggi Agama atau sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun bagi Hakim Pengadilan
Tinggi Agama yang pernah menjabat Ketua Pengadilan Agama.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama diperlukan
pengalaman sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun sebagai Hakim Pengadilan
Tinggi Agama atau, sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun bagi Hakim Pengadilan
Tinggi Agama yang pernah menjabat Ketua Pengadilan Agama.
Pasal 15
(1) Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala Negara atas usul
Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
(2) Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 16
(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim wajib
mengucapkan sumpah menurut agama Islam yang berbunyi sebagai berikut :
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun
juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun
juga".
"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung
dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian". "Saya bersumpah bahwa saya
akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila
sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala
Undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik
Indonesia".
"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini
dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan
berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya
seperti layaknya bagi seorang Ketua, Wakil Ketua, Hakim Pengadilan yang
berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
(2) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama diambil sumpahnya oleh Ketua
Pengadilan Agama.
(3) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama serta Ketua Pengadilan
Agama diambil sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama.
(4) Ketua Pengadilan Tinggi Agama diambil sumpahnya oleh Ketua Mahkamah
Agung.
Pasal 17
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Hakim tidak
boleh merangkap menjadi :
a. pelaksana putusan Pengadilan;
b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang
diperiksa olehnya;
c. pengusaha.
(2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim selain jabatan sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 18
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya
karena :
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
c. telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
Pengadilan Agama, dan 63 (enam puluh tiga) tahun bagi Ketua, Wakil
Ketua, dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama;
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim yang meninggal dunia dengan sendirinya
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala
Negara.
Pasal 19
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari
jabatannya dengan alasan :
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaannya;
d. melanggar sumpah jabatan;
e. melanggar larangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b sampai dengan e dilakukan setelah yang
bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan
Majelis Kehormatan Hakim.
(3) Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata
cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung bersama-sama
dengan Menteri Agama.
Pasal 20
Seorang Hakim yang diberhentikan dari jabatannya, tidak dengan sendirinya
diberhentikan sebagai pegawai negeri.
Pasal 21
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dapat diberhentikan
sementara dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul
Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
(2) Terhadap pengusulan pemberhentian sementara sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (1), berlaku juga ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (2).
Pasal 22
(1) Apabila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan yang diikuti dengan
penahanan, dengan sendirinya Hakim tersebut diberhentikan sementara dari
jabatannya.
(2) Apabila seorang Hakim dituntut di muka Pengadilan dalam perkara pidana
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tanpa ditahan, maka ia dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan hormat,
pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentian sementara serta hak-hak
pejabat yang dikenakan pemberhentian, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 24
(1) Kedudukan protokol Hakim diatur dengan Keputusan Presiden.
(2) Tunjangan dan ketentuan-ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 25
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim dapat ditangkap atau ditahan hanya atas
perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung dan
Menteri Agama, kecuali dalam hal :
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau
b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana
mati, atau
c. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
Paragraf 2
Panitera
Pasal 26
(1) Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Kepaniteraan yang dipimpin oleh
seorang Panitera.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Agama dibantu oleh
seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, beberapa orang
Panitera Pengganti, dan beberapa orang Juru Sita.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Tinggi Agama dibantu oleh
seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, dan beberapa orang
Panitera Pengganti.
Pasal 27
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Agama, seorang calon harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. berijazah serendah-rendahnya sarjana muda syari'ah atau sarjana muda hukum
yang menguasai hukum Islam;
f. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Wakil Panitera
atau 7 (tujuh) tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Agama, atau menjabat
Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Agama.
Pasal 28
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tinggi Agama, seorang calon
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, dan d;
b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Wakil Panitera
atau 8 (delapan) tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Tinggi Agama, atau 4
(empat) tahun sebagai Panitera Pengadilan Agama.
Pasal 29
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Agama, seorang calon
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, d, dan
e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Panitera Muda
atau 6 (enam) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Agama.
Pasal 30
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Agama, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, dan d;
b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Panitera Muda
atau 7 (tujuh) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Agama, atau
4 (empat) tahun sebagai Wakil Panitera Pengadilan Agama, atau menjabat
Panitera Pengadilan Agama.
Pasal 31
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Agama, seorang calon
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, d, dan
e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Panitera Pengganti
Pengadilan Agama.
Pasal 32
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tinggi Agama, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, d, dan
e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Panitera Pengganti
Pengadilan Tinggi Agama, atau 4 (empat) tahun sebagai Panitera Muda atau 8
(delapan) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Agama, atau menjabat
Wakil Panitera Pengadilan Agama.
Pasal 33
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Agama, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, d, dan
e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai pegawai negeri
pada Pengadilan Agama.
Pasal 34
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, d, dan
e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Panitera Pengganti
Pengadilan Agama atau 10 (sepuluh) tahun sebagai pegawai negeri pada
Pengadilan Tinggi Agama.
Pasal 35
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Panitera tidak
boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan
perkara yang di dalamnya ia bertindak sebagai Panitera.
(2) Panitera tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Panitera selain jabatan sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri
Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 36
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan
diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri Agama.
Pasal 37
Sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan
Panitera Pengganti diambil sumpahnya menurut agama Islam oleh Ketua Pengadilan
yang bersangkutan.
Bunyi sumpah adalah sebagai berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini,
langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak
memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga".
"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun
juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar
1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara
Republik Indonesia".
"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan
jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam
melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi
seorang Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti yang berbudi baik
dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
Paragraf 3
Juru Sita
Pasal 38
Pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya Juru Sita dan Juru Sita
Pengganti.
Pasal 39
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Juru Sita, seorang calon harus memenuhi syaratsyarat
sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas;
f. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Juru Sita
Pengganti.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Juru Sita Pengganti, seorang calon harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a, b, c, d,
dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai pegawai
negeri pada Pengadilan Agama.
Pasal 40
(1) Juru Sita diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama atas usul Ketua
Pengadilan Agama.
(2) Juru Sita Pengganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Pengadilan Agama.
Pasal 41
Sebelum memangku jabatannya, Juru Sita dan Juru Sita Pengganti diambil
sumpahnya menurut agama Islam oleh Ketua Pengadilan Agama.
Bunyi sumpah adalah sebagai berikut :
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga,
tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga".
"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesusatu dalam
jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun
juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar
1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara
Republik Indonesia".
"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan
jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam
melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi
seorang Juru Sita, Juru Sita Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan
hukum dan keadilan".
Pasal 42
(1) Kecuali ditentutakan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Juru Sita tidak
boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan
perkara yang di dalamnya ia sendiri berkepentingan.
(2) Juru Sita tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Juru Sita selain jabatan sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Menteri
Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Bagian Ketiga
Sekretaris
Pasal 43
Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Sekretariat yang dipimpin oleh
seorang Sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.
Pasal 44
Panitera Pengadilan merangkap Sekretaris Pengadilan.
Pasal 45
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Agama, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. berijazah serendah-rendahnya sarjana muda syari'ah, atau sarjana muda hukum
yang menguasai hukum Islam atau sarjana muda administrasi;
f. berpengalaman di bidang administrasi peradilan.
Pasal 46
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Tinggi Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 45 huruf a, b, c, d, dan f;
b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam.
Pasal 47
Wakil Sekretaris Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.
Pasal 48
Sebelum memangku jabatannya Wakil Sekretaris diambil sumpahnya menurut
agama Islam oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
Bunyi sumpah adalah sebagai berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah :
bahwa saya, untuk diangkat menjadi Wakil Sekretaris, akan setia dan taat sepenuhnya
kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah;
bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh
pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah, dan
martabat Wakil Sekretaris serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan negara
daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan;
bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut
perintah harus saya rahasiakan;
bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk
kepentingan negara".
BAB III
KEKUASAAN PENGADILAN
Pasal 49
(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c. wakaf dan shadaqah.
(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah
hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai
perkawinan yang berlaku.
(3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah
penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta
peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan
pembagian harta peninggalan tersebut.
Pasal 50
Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam
perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus mengenai
objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum.
Pasal 51
(1) Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara yang
menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
(2) Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat
pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar-Pengadilan Agama
di daerah hukumnya.
Pasal 52
(1) Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang
hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta.
(2) Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 dan
Pasal 51, Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau
berdasarkan undang-undang.
Pasal 53
(1) Ketua Pengadilan mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan
tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita di daerah hukumnya.
(2) Selain tugas sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan
Tinggi Agama di daerah hukumnya melakukan pengawasan terhadap jalannya
peradilan di tingkat Pengadilan Agama dan menjaga agar peradilan
diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2), Ketua Pengadilan dapat memberikan petunjuk, teguran, dan
peringatan, yang dipandang perlu.
(4) Pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) ayat (2), dan ayat (3),
tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara.
BAB IV
HUKUM ACARA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 54
Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama
adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.
Pasal 55
Tiap pemeriksaan perkara di Pengadilan dimuali sesudah diajukannya suatu
permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah dipanggil menurut
ketentuan yang berlaku.
Pasal 56
(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan
wajib memeriksa dan memutusnya.
(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak menutup
kemungkinan usaha penyelesaian perkara secara damai.
Pasal 57
(1) Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA.
(2) Tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM diikuti dengan DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.
(3) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Pasal 58
(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
(2) Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang
sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Pasal 59
(1) Sidang pemeriksaan Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali apabila undangundang
menentukan lain atau jika Hakim dengan alasan-alasan penting yang
dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa pemeriksaan secara
keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup.
(2) Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
mengakibatkan seluruh pemeriksaan beserta penetapan atau putusannya batal
menurut hukum.
(3) Rapat permusyawaratan Hakim bersifat rahasia.
Pasal 60
Penetapan dan putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Pasal 61
Atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan banding oleh
pihak yang berperkara, kecuali apabila undang-undang menentukan lain.
Pasal 62
(1) Segala penetapan dan putusan Pengadilan, selain harus memuat alasan-alasan
dan dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturanperaturan
yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili.
(2) Tiap penetapan dan putusan Pengadilan ditandatangai oleh Ketua dan Hakimhakim
yang memutus serta Panitera yang ikut bersidang pada waktu penetapan
dan putusan itu diucapkan.
(3) Berita Acara tentang pemeriksaan ditandatangani oleh Ketua dan Panitera yang
bersidang.
Pasal 63
Atas penetapan dan putusan Pengadilan Tinggi Agama dapat dimintakan kasasi
kepada Mahkamah Agung oleh pihak yang berperkara.
Pasal 64
Penetapan dan putusan Pengadilan yang dimintakan banding atau kasasi,
pelaksanaannya ditunda demi hukum, kecuali apabila dalam amarnya menyatakan
penetapan atau putusan tersebut dapat dijalankan lebih dahulu meskipun ada
perlawanan, banding, atau kasasi.
Bagian Kedua
Pemeriksaan Sengketa Perkawinan
Paragaraf 1
Umum
Pasal 65
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak.
Paragraf 2
Cerai Talak
Pasal 66
(1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya
mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna
menyaksikan ikrar talak.
(2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali
apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang
ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
(3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
(4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka
permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama
Jakarta Pusat.
(5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta
bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai
talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.
Pasal 67
Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 66 di atas memuat:
a. nama, umur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami, dan termohon, yaitu
istri;
b. alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.
Pasal 68
(1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim selambatlambatnya
30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak
didaftarkan di Kepaniteraan.
(2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.
Pasal 69
Dalam pemeriksaan perkara cerai talak ini berlaku ketentuan-ketentuan Pasal
79, Pasal 80 ayat (2), Pasal 82, dan Pasal 83.
Pasal 70
(1) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi
didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka Pengadilan menetapkan
bahwa permohonan tersebut dikabulkan.
(2) Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), istri dapat
mengajukan banding.
(3) Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, Pengadilan
menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan
istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut.
(4) Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu
akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar talak yang
dihadiri oleh istri atau kuasanya.
(5) Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang
menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya
dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau wakilnya.
(6) Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang
penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim
wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka
gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi
berdasarkan alasan yang sama.
Pasal 71
(1) Panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar talak.
(2) Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus
sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan
banding atau kasasi.
Pasal 72
Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 71 berlaku
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 84 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta
Pasal 85.
Paragraf 3
Cerai Gugat
Pasal 73
(1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila
penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin
tergugat.
(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian
diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
tergugat.
(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka
gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta
Pusat.
Pasal 74
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat
pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat
cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang berwenang yang memutuskan
perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Pasal 75
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat
cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai
suami, maka Hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kepada
dokter.
Pasal 76
(1) Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk
mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang
berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri.
(2) Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan
antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masingmasing
pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam.
Pasal 77
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau
tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan
dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
Pasal 78
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat,
Pengadilan dapat:
a. menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami;
b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan
anak;
c. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang
yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak
suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.
Pasal 79
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya
putusan Pengadilan.
Pasal 80
(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim selambatlambatnya
30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian
didaftarkan di Kepaniteraan.
(2) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.
Pasal 81
(1) Putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum.
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung
sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 82
(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha
mendamaikan kedua pihak.
(2) Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi,
kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak
dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang
secara khusus dikuasakan untuk itu.
(3) Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka penggugat pada
sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi.
(4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada
setiap sidang pemeriksaan.
Pasal 83
Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian
baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum
perdamaian tercapai.
Pasal 84
(1) Panitera Pengadilan atau pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai salinan putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tanpa bermeterai
kepada Pegawai Pencatat Nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman
penggugat dan tergugat, untuk mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah
daftar yang.disediakan untuk itu.
(2) Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah Pegawai
Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan
putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap tanpa bermeterai dikirimkan pula kepada Pegawai
Pencatat Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat
Nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan perkawinan.
(3) Apabila perkawinan dilangsungkan di luar negeri, maka satu helai salinan
putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) disampaikan pula kepada
Pegawai Pencatat Nikah di tempat didaftarkannya perkawinan mereka di
Indonesia.
(4) Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada
para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.
Pasal 85
Kelalaian pengiriman salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
84, menjadi tanggung jawab Panitera yang bersangkutan atau pejabat Pengadilan yang
ditunjuk, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau istri
atau keduanya.
Pasal 86
(1) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama
suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun
sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka Pengadilan menunda terlebih dahulu
perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
tentang hal itu.
Paragraf 4
Cerai Dengan Alasan Zina
Pasal 87
(1) Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak
melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi
bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan Hakim
berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama
sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari
pemohon atau penggugat maupun dari termohon atau tergugat, maka Hakim
karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.
(2) Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan
sanggahannya dengan cara yang sama.
Pasal 88
(1) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan
oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan cara li'an.
(2) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan
oleh istri maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum acara yang
berlaku.
Bagian Ketiga
Biaya Perkara
Pasal 89
(1) Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau
pemohon.
(2) Biaya perkara penetapan atau putusan Pengadilan yang bukan merupakan
penetapan atau putusan akhir akan diperhitungkan dalam penetapan atau
putusan akhir.
Pasal 90
(1) Biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 89, meliputi:
a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai yang diperlukan untuk perkara itu;
b. biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya pengambilan
sumpah yang diperlukan dalam perkara itu;
c. biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat dan
tindakan-tindakan lain yang diperlukan oleh Pengadilan dalam perkara
itu;
d. biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah
Pengadilan yang berkenaan dengan perkara itu.
(2) Besarnya biaya perkara diatur oleh Menteri Agama dengan persetujuan
Mahkamah Agung.
Pasal 91
(1) Jumlah biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 90 harus
dimuat dalam amar penetapan atau putusan Pengadilan.
(2) Jumlah biaya yang dibebankan oleh Pengadilan kepada salah satu pihak
berperkara untuk dibayarkan kepada pihak lawannya dalam perkara itu, harus
dicantumkan juga dalam amar penetapan atau putusan Pengadilan.
BAB V
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Pasal 92
Ketua Pengadilan mengatur pembagian tugas para Hakim.
Pasal 93
Ketua Pengadilan membagikan semua berkas perkara dan atau surat-surat lain
yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke Pengadilan kepada Majelis Hakim
untuk diselesaikan.
Pasal 94
Ketua Pengadilan menetapkan perkara yang harus diadili berdasarkan nomor
urut, tetapi apabila terdapat perkara tertentu yang karena menyangkut kepentingan
umum harus segera diadili, maka perkara itu didahulukan.
Pasal 95
Ketua Pengadilan wajib mengawasi kesempurnaan pelaksanaan penetapan atau
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 96
Panitera Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi perkara dan
mengatur tugas Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti.
Pasal 97
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti bertugas
membantu Hakim dengan menghadiri dan mencatat jalannya sidang Pengadilan.
Pasal 98
Panitera bertugas melaksanakan penetapan atau putusan Pengadilan.
Pasal 99
(1) Panitera wajib membuat daftar semua perkara yang diterima di Kepaniteraan.
(2) Dalam daftar perkara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tiap perkara
diberi nomor urut dan dibubuhi catatan singkat tentang isinya.
Pasal 100
Panitera membuat salinan atau turunan penetapan atau putusan Pengadilan
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 101
(1) Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara, penetapan atau
putusan, dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang titipan pihak ketiga,
surat-surat berharga, barang bukti, dan surat-surat lain yang disimpan di
Kepaniteraan.
(2) Semua daftar, catatan, risalah, berita acara, serta berkas perkara tidak boleh
dibawa keluar dari ruangan Kepaniteraan, kecuali atas izin Ketua Pengadilan
berdasarkan ketentuan undang-undang.
(3) Tata cara pengeluaran surat asli, salinan atau turunan penetapan atau putusan,
risalah, berita acara, akta, dan surat-surat lain diatur oleh Mahkamah Agung.
Pasal 102
Tugas dan tanggung jawab serta tata kerja Kepaniteraan Pengadilan diatur lebih
lanjut oleh Mahkamah Agung.
Pasal 103
(1) Juru Sita bertugas :
a. melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang;
b. menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, dan
pemberitahuan penetapan atau putusan Pengadilan menurut cara-cara
berdasarkan ketentuan undang-undang,
c. melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan;
d. membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya diserahkan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Juru Sita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum Pengadilan yang
bersangkutan.
Pasal 104
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas Juru Sita diatur oleh
Mahkamah Agung.
Pasal 105
(1) Sekretaris Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi umum
Pengadilan.
(2) Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja Sekretariat
diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 106
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini;
1. semua Badan Peradilan Agama yang telah ada dinyatakan sebagai Badan
Peradilan Agama menurut Undang-undang ini;
2. semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai Peradilan Agama
dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan baru berdasarkan Undang-undang ini
belum dikeluarkan, sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Undangundang
ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 107
(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka:
a. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad
Tahun 1882 Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan
Nomor 610);
b. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk
sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun
1937 Nomor 638 dan Nomor 639);
c. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di luar Jawa dan Madura
(Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99), dan
d. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3019), dinyatakan tidak berlaku.
(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 236 a Reglemen Indonesia
yang diperbaharui (RIB), Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44, mengenai
permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara
orang-orang yang beragama Islam yangdilakukan berdasarkan hukum Islam,
diselesaikan oleh Pengadilan Agama.
Pasal 108
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1989
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1989
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
MOERDIONO





PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG
PERADILAN AGAMA
UMUM
1. Dalam Negara Hukum Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian
hukum dalam sistem dan penyelenggaraan hukum merupakan hal pokok yang
sangat penting dalam usaha mewujudkan suasana perikehidupan yang aman,
tenteram, dan, tertib seperti yang diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan
Negara. Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal-hal tersebut dibutuhkan adanya
lembaga yang bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna
menegakkan hukum dan keadilan dengan baik. Salah satu lembaga untuk
menegakkan hukum dalam mencapai keadilan, kebenaran, ketertiban, dan
kepastian hukum adalah badan-badan peradilan sebagaimana yang dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang masing-masing mempunyai lingkup
kewenangan mengadili perkara atau sengketa di bidang tertentu dan salah
satunya adalah Badan Peradilan Agama.
Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum Badan
Peradilan Agama sebelum Undang-undang ini adalah:
a. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura
(Staatsblad 1882 Nomor 152 dan Staatsblad 1937 Nomor 116 dan
Nomor 610);
b. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar
untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur
(Staatsblad 1937 Nomor 638 dan Nomor 639);
c. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di luar
Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99).
Keragaman dasar hukum Peradilan Agama tersebut mengakibatkan
beragamnya pula susunan, kekuasaan, dan hukum acara Peradilan Agama.
Dalam rangka penerapan Wawasan Nusantara di bidang hukum yang
merupakan pengejawantahan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum, maka keragaman tersebut perlu segera diakhiri demi terciptanya
kesatuan hukum yang mengatur Peradilan Agama dalam kerangka sistem dan
tata hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
Untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan
sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
diperlukan adanya perombakan yang bersifat mendasar terhadap segala
peraturan perundang-undangan yang mengatur Badan Peradilan Agama
tersebut di atas dan menyesuaikannya dengan Undang-undang tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang merupakan induk dan
kerangka umum serta merupakan asas dan pedoman bagi semua lingkungan
peradilan.
Dengan demikian, Undang-undang yang mengatur Susunan, Kekuasaan,
dan Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama ini
merupakan pelaksanaan ketentuan-ketentuan dan asas yang tercantum dalam
Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor
74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951).
2. Kekuasaan Kehakiman di Lingkungan Peradilan Agama, dalam Undang-undang
ini dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang
berpuncak pada Mahkamah Agung, sesuai dengan prinsip-prinsip yang
ditentukan oleh Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.
Dalam Undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, hukum acara,
kedudukan para Hakim, dan segi-segi administrasi lain pada Pengadilan Agama
dan Pengadilan Tinggi Agama.
Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf,
dan shadaqah berdasarkan hukum Islam.
Bidang perkawinan yang dimaksud disini adalah hal-hal yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019).
Bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi
ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli
waris, dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut, bilamana
pewarisan tersebut dilakukan berdasarkan hukum Islam.
Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum berperkara dapat
mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam
pembagian warisan.
Dalam rangka mewujudkan keseragaman kekuasaan Pengadilan dalam
Lingkungan Peradilan Agama di seluruh wilayah Nusantara, maka oleh Undangundang
ini kewenangan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura serta sebagian
Residensi Kalimantan Selatan dan Timur mengenai perkara kewarisan yang
dicabut pada tahun 1937, dikembalikan dan disamakan dengan kewenangan
Pengadilan Agama di daerah-daerah yang lain.
Pengadilan Tinggi Agama merupakan pengadilan tingkat banding
terhadap perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama dan merupakan
Pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa mengadili antar-
Pengadilan Agama di daerah hukumnya.
3. Mengingat luasnya lingkup tugas dan beratnya beban yang harus dilaksanakan
oleh Pengadilan, maka perlu adanya perhatian yang besar terhadap tata cara
dan pengelolaan administrasi Pengadilan. Hal ini sangat penting, karena bukan
saja menyangkut aspek ketertiban dalam menyelenggarakan administrasi, baik
di bidang perkara maupun kepegawaian, gaji, kepangkatan, peralatan kantor,
dan lain-lain, tetapi juga akan mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan
Peradilan itu sendiri. Oleh karena itu, penyelenggaraan administrasi Peradilan
dalam Undang-undang ini dibedakan menurut jenisnya dan dipisahkan
penanganannya, walaupun dalam rangka koordinasi pertanggungjawaban tetap
dibebankan kepada seorang pejabat, yaitu Panitera yang merangkap sebagai
Sekretaris.
Selaku Panitera, ia menangani administrasi perkara dan hal-hal
administrasi lain yang bersifat teknis peradilan (yustisial). Dalam pelaksanaan
tugas ini Panitera dibantu oleh seorang Wakil Panitera dan beberapa orang
Panitera Muda.
Selaku Sekretaris, ia menangani administrasi umum seperti administrasi
kepegawaian dan sebagainya. Dalam pelaksanaan tugasnya ia dibantu oleh
seorang Wakil Sekretaris.
Dengan demikian, staf Kepaniteraan dapat memusatkan perhatian
terhadap tugas dan fungsinya membantu Hakim dalam bidang peradilan,
sedangkan tugas administrasi yang lain dapat dilaksanakan oleh staf Sekretariat.
4. Hakim adalah unsur yang sangat penting dalam penyelenggaraan peradilan.
Oleh karena itu, maka syarat-syarat pengangkatan dan pemberhentian serta tata
cara pengangkatan dan pemberhentiannya diatur dalam Undang-undang ini.
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara
atas usul Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Agar Pengadilan sebagai penyelenggara Kekuasaan Kehakiman bebas
dalam memberikan keputusan, perlu adanya jaminan bahwa, baik Pengadilan
maupun Hakim dalam melaksanakan tugas terlepas dari pengaruh Pemerintah
dan pengaruh yang lain.
Agar tugas penegakan hukum dan keadilan itu dapat dilaksanakan oleh
Pengadilan, maka dalam Undang-undang ini dicantumkan persyaratan yang
senantiasa harus dipenuhi oleh seorang Hakim, seperti bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Untuk memperoleh hal tersebut di atas maka dalam setiap
pengangkatan, pemberhentian, mutasi, kenaikan pangkat, tindakan atau
hukuman administrasi terhadap Hakim Pengadilan Agama perlu adanya
kerjasama, konsultasi, dan koordinasi antara Mahkamah Agung dan Departemen
Agama.
Agar para pejabat peradilan tidak mudah dipengaruhi baik moril maupun
materiil, maka perlu adanya pengaturan tersendiri mengenai tunjangan dan
ketentuan lain bagi para pejabat peradilan, khususnya para Hakim; demikian
pula mengenai kepangkatan dan gajinya.
Untuk lebih mengukuhkan kehormatan dan kewibawaan Hakim serta
Pengadilan, maka perlu juga dijaga mutu (keahlian) para Hakim dengan
diadakannya syarat-syarat tertentu untuk menjadi Hakim yang diatur dalam
Undang-undang ini.
Selain itu, diadakan juga larangan-larangan bagi para Hakim untuk
merangkap jabatan penasihat hukum, pelaksana putusan pengadilan, wali,
pengampu, dan setiap jabatan yang bersangkutan dengan suatu perkara yang
akan atau sedang diadili olehnya.
Namun, belum cukup hanya dengan memerinci larangan-larangan seperti
tersebut di atas. Agar Peradilan dapat berjalan dengan efektif, maka Pengadilan
Tinggi Agama diberi tugas pengawasan terhadap Pengadilan Agama di dalam
daerah hukumnya. Hal ini akan meningkatkan koordinasi antar-Pengadilan
Agama dalam daerah hukum suatu Pengadilan Tinggi Agama, yang pasti akan
bermanfaat dalam kesatuan putusan yang dijatuhkan, karena Pengadilan Tinggi
Agama dalam melakukan pengawasan tersebut dapat memberikan teguran,
peringatan, dan petunjuk. Kecuali itu, perbuatan dan kegiatan Hakim secara
langsung dapat diawasi sehingga jalannya peradilan yang sederhana, cepat, dan
dengan biaya ringan akan terjamin.
Petunjuk-petunjuk yang menimbulkan sangkaan keras, bahwa Hakim
melakukan perbuatan tercela, melakukan kejahatan dan kelalaian yang terus
menerus dalam menjalankan tugas pekerjaannya, dapat mengakibatkan bahwa
ia diberhentikan tidak dengan hormat oleh Presiden selaku Kepala Negara
setelah diberi kesempatan membela diri.
Hal itu dicantumkan dengan tegas dalam Undang-undang ini, mengingat
luhur dan mulianya tugas Hakim, sedangkan dalam kedudukannya sebagai
pegawai negeri, baginya tetap berlaku ancaman-ancaman terhadap perbuatan
tercela sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun
1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun
1980 Nomor 50).
5. Undang-undang ini selain mengatur susunan dan kekuasaan juga mengatur
Hukum Acara Peradilan Agama.
Bagaimanapun sempurnanya lembaga peradilan itu dengan penataan
susunan organisasinya dan penegasan kekuasaannya, namun apabila alat untuk
dapat menegakkan dan mempertahankan kekuasaannya itu belum jelas, maka
lembaga peradilan tersebut tidak akan dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya
dengan baik. Oleh karena itu maka pengaturan Hukum Acara Peradilan Agama
itu sangat penting dan karenanya pula maka sekaligus diatur dalam Undangundang
ini.
Hukum Acara Peradilan Agama selama ini masih terdapat dalam
berbagai peraturan dan surat edaran, baik dalam Staatsblad, Peraturan
Pemerintah, Surat Edaran Mahkamah Agung dan Departemen Agama maupun
dalam Undang-undang Perkawinan dan segala peraturan pelaksanaannya.
Prinsip-prinsip pokok peradilan yang telah ditetapkan dalam Undangundang
Nomor 14 Tahun 1970, antara lain ketentuan bahwa sidang pengadilan
harus terbuka untuk umum, setiap keputusan dimulai dengan DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, peradilan dilakukan dengan
sederhana, cepat, dan biaya ringan dan ketentuan-ketentuan yang lain, dalam
Undang-undang ini lebih ditegaskan dan dicantumkan kembali.
Karena Peradilan Agama merupakan peradilan khusus dengan
kewenangan mengadili perkara-perkara tertentu dan untuk golongan rakyat
tertentu sebagaimana yang ditegaskan dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1)
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu mengenai perkara perdata tertentu
antara orang-orang yang beragama Islam, maka hukum acara perdata pada
Peradilan Umum oleh Undang-undang ini dinyatakan berlaku pada Pengadilan
dalam Lingkungan Peradilan Agama, kecuali mengenai hal-hal yang secara
khusus diatur oleh Undang-undang ini.
6. Peradilan Agama adalah salah satu dari empat lingkungan peradilan negara
yang dijamin kemerdekaannya dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang
diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
Peradilan Agama yang kewenangannya mengadili perkara-perkara
tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu, yaitu mereka yang beragama
Islam, sejajar dengan peradilan yang lain. Oleh karena itu, hal-hal yang dapat
mengurangi kedudukan Peradilan Agama oleh Undang-undang ini dihapus,
seperti pengukuhan keputusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri.
Sebaliknya untuk memantapkan kemandirian Peradilan Agama oleh Undangundang
ini diadakan Juru Sita, sehingga Pengadilan Agama dapat
melaksanakan keputusannya sendiri, dan tugas-tugas kepaniteraan dan
kesekretariatan tidak terganggu oleh tugas-tugas kejurusitaan.
7. Di samping itu perkara-perkara di bidang perkawinan merupakan sengketa
keluarga yang memerlukan penanganan secara khusus sesuai dengan amanat
Undang-undang Perkawinan. Oleh karena itu, maka dalam Undang-undang ini
diatur secara khusus hal-hal yang berkenaan dengan sengketa perkawinan
tersebut dan sekaligus untuk meningkatkan pengaturan hukum acara sengketa
perkawinan yang sampai saat diundangkannya Undang-undang ini masih diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Undang-undang Perkawinan bertujuan antara lain melindungi kaum
wanita pada umumnya dan pihak istri pada khususnya, namun dalam hal
gugatan perceraian yang diajukan oleh istri, Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 menentukan bahwa gugatan harus diajukan ke Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat sesuai dengan prinsip
hukum acara perdata umum.
Untuk melindungi pihak istri, maka gugatan perceraian dalam Undangundang
ini diadakan perubahan, tidak diajukan ke Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat tetapi ke Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediman penggugat.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di
kotamadya atau di ibu kota kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah
kotamadya atau kabupaten, tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Usul pembentukan Pengadilan Agama diajukan oleh Menteri Agama
berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Hakim adalah pegawai negeri sehingga baginya berlaku Undangundang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Oleh karena itu,
Menteri Agama wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Hakim dalam
rangka mencapai daya guna dan hasil guna sebagaimana lazimnya bagi pegawai
negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Pemberhentian dengan hormat Hakim atas permintaan sendiri,
mencakup pengertian pengunduran diri dengan alasan Hakim yang
bersangkutan tidak berhasil menegakkan hukum dalam lingkungan rumah
tangganya sendiri. Pada hakikatnya situasi, kondisi, suasana, dan keteraturan
hidup di rumah tangga setiap Hakim Pengadilan merupakan salah satu faktor
yang penting peranannya dalam usaha membantu meningkatkan citra dan
wibawa seorang Hakim itu sendiri.
Yang dimaksud dengan "sakit jasmani atau rohani terus menerus"
ialah yang menyebabkan sipenderita ternyata tidak mampu lagi melakukan tugas
kewajibannya dengan baik.
Yang dimaksud "tidak cakap" ialah misalnya yang bersangkutan
banyak melakukan kesalahan besar dalam menjalankan tugasnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dipidana" ialah dipidana dengan pidana
penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela" ialah
apabila Hakim yang bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya,
baik di dalam maupun di luar Pengadilan merendahkan martabat Hakim.
Yang dimaksud dengan "tugas pekerjaan" ialah semua tugas yang
dibebankan kepada yang bersangkutan.
Ayat (2)
Dalam hal pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan
dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan, yang bersangkutan tidak
diberi kesempatan untuk membela diri, kecuali apabila pidana penjara yang
dijatuhkan kepadanya itu kurang dari 3 (tiga) bulan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 20
Seorang Hakim tidak boleh diberhentikan dari kedudukannya sebagai
pegawai negeri sebelum diberhentikan dari jabatannya sebagai Hakim.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian,
Hakim bukan jabatan dalam eksekutif. Oleh sebab itu, pemberhentiannya harus
tidak sama dengan pegawai negeri yang lain.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam perkara pidana adalah
Pengadilan Negeri dan/atau Pengadilan Militer.
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pangkat dan gaji Hakim diatur tersendiri berdasarkan peraturan
yang berlaku.
Yang dimaksud dengan ketentuan lain adalah hal-hal yang antara
lain menyangkut kesejahteraan seperti rumah dinas, dan kendaraan dinas.
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 27
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam huruf d pasal ini, yaitu setia
kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, harus diartikan mencakup
juga syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf e
Undang-undang ini.
Yang dimaksud dengan "sarjana muda syari'ah atau sarjana muda,
hukum" termasuk mereka yang telah mencapai tingkat pendidikan hukum
sederajat dengan sarjana muda syari'ah atau sarjana muda hukum, dan
dianggap cakap untuk jabatan itu.
Masa pengalaman disesuaikan dengan eselon, pangkat, dan syaratsyarat
lain yang berkaitan. Alih jabatan dari Pengadilan Tinggi Agama ke
Pengadilan Agama atau sebaliknya dimungkinkan dalam eselon yang sama.
Pasal 28
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan
Penjelasan Pasal 27 alinea pertama.
Pasal 29
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan
Penjelasan Pasal 27 alinea pertama.
Pasal 30
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan
Penjelasan Pasal 27 alinea pertama.
Pasal 31
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan
Penjelasan Pasal 27 alinea pertama.
Pasal 32
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan
Penjelasan Pasal 27 alinea pertama.
Pasal 33
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan
Penjelasan Pasal 27 alinea. pertama.
Pasal 34
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan
Penjelasan Pasal 27 alinea pertama.
Pasal 35
Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3)
berlaku juga bagi Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti.
Pasal 36
Pengangkatan atau pemberhentian Panitera, Wakil Panitera, Panitera
Muda, dan Panitera Pengganti dapat juga dilakukan berdasarkan usul Ketua
Pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam huruf d ayat ini, yaitu
setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, harus diartikan
mencakup juga syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)
huruf e Undang-undang ini.
Ayat (2)
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama
dengan penjelasan ayat (1).
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3)
berlaku juga bagi Juru Sita Pengganti.
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam huruf d Pasal ini, yaitu setia
kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, harus diartikan mencakup
juga syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf e
Undang-undang ini.
Pasal 46
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan
Penjelasan Pasal 45.
Pasal 47
Pengangkatan atau pemberhentian Wakil Sekretaris Pengadilan dapat
juga dilakukan berdasarkan usul Ketua Pengadilan.
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara lain adalah :
1. izin beristri lebih dari seorang
2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia
21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua atau wali atau
keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3. dispensasi kawin;
4. pencegahan perkawinan;
5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. pembatalan perkawinan;
7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
8. perceraian karena talak;
9. gugatan perceraian;
10. penyelesaian harta bersama;
11. mengenai penguasaan anak-anak;
12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak
bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak
memenuhinya;
13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami
kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas
isteri.
14. putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. pencabutan kekuasaan wali;
17. penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut;
18. menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum
cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang
tuanya pada hal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya;
19. pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah
menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di
bawah kekuasaannya;
20. penetapan asal usul seorang anak;
21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk
melakukan perkawinan campuran;
22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
dijalankan menurut peraturan yang lain.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 50
Penyelesaian terhadap objek yang menjadi sengketa dimaksud tidak
berarti menghentikan proses peradilan di Pengadilan Agama atas objek yang
tidak menjadi sengketa itu.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1)
Pemberian keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum
Islam dikecualikan dalam hal-hal yang berhubungan dengan perkara yang
sedang atau akan diperiksa di Pengadilan.
Ayat (2)
Yang dimaksud "oleh Undang-undang" adalah ditetapkan atau
diatur dalam undang-undang tersendiri, sedangkan yang dimaksud "berdasarkan
undang-undang" adalah ditetapkan atau diatur dalam Peraturan Pemerintah
berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "seksama dan sewajarnya" ialah antara
lain bahwa penyelenggaraan peradilan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu yang dilakukan dengan sederhana,
cepat, dan biaya ringan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penetapan dan putusan.dalam ayat ini
adalah penetapan dan putusan Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama,
dan Mahkamah Agung.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1),
Alasan penting yang dijadikan dasar oleh Hakim untuk
memerintahkan pemeriksaan sidang tertutup harus dicatat dalam Berita Acara
Sidang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 60
Yang dimaksud dengan penetapan adalah keputusan Pengadilan atas
perkara permohonan, sedangkan putusan adalah keputusan Pengadilan atas
perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa.
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Ayat (1)
Berbeda dari ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 66 ayat (2), maka untuk melindungi pihak istri gugatan perceraian diajukan
ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
penggugat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Ayat (1)
Syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antara
suami dan istri.
Ayat (2)
Hakam ialah orang yang ditetapkan Pengadilan dari pihak
keluarga suami atau pihak keluarga istri atau pihak lain untuk mencari upaya
penyelesaian perselisihan terhadap syiqaq.
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 82
Ayat (1)
Selama perkara belum diputus, usaha mendamaikan dapat
dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan pada semua tingkat peradilan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 85
Atas kelalaiannya itu, Panitera atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk
dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Pasal 86
Ayat (1)
Hal tersebut adalah demi tercapainya prinsip bahwa peradilan
dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 88
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 89
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Yang berwenang menentukan bahwa suatu perkara menyangkut
kepentingan umum adalah Ketua Pengadilan.
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Cukup jelas
Pasal 97
Berdasarkan catatan Panitera, disusun berita acara persidangan.
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "dibawa keluar" meliputi segala bentuk
dan cara apa pun juga yang memindahkan isi daftar catatan, risalah, agar tidak
jatuh ketangan pihak yang tidak berhak.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 104
Cukup jelas
Pasal 105
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas
Pasal 107
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 108
Cukup jelas





























UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2006
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG PERADILAN AGAMA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negarg Republik
Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk rnewujudkan tata kehidupan bangsa,
negara, dan masyarakat yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan;
b. bahwa Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah
Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;
c. bahwa Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai. lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan
ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3400);
4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4338);

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANGUNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3400) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
2. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan pasal baru yakni Pasal 3A, yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 3A
Di lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan
Undang-Undang.
3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Pengadilan agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi
wilayah kabupaten/kota.
(2) Pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi
wilayah provinsi.
4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan dilakukan oleh
Mahkamah Agung.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara.
5. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman.
(2) Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian, serta pelaksanaan tugas hakim ditetapkan
dalam Undang-Undang ini.
6. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung.
(2) Pembinaan dan pengawasan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh
mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
7. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Untuk dapat diangkat sebagai calon hakim pengadilan agama, seseorarzg harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
e. sarjana syariah dan/atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;
f. sehat jasmani dan rohani;
g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan
h. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi
massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam Gerakan 30 September/Partai
Komunis Indonesia.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi hakim harus pegawai negeri yang berasal dari calon hakim
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berumur paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi ketua atau wakil ketua pengadilan agama harus berpengalaman
paling singkat 10 (sepuluh) tahun sebagai hakim pengadilan agama.
8. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim pengadilan tinggi agama, seorang hakim harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, huruf g, dan huruf h;
b. berumur paling rendah 40 (empat puluh) tahun;
c. pengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai ketua, wakil ketua, pengadilan agama,
atau 15 (lima belas) tahun sebagai hakim pengadilan agama; dan
d. lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi ketua pengadilan tinggi agama harus berpengalaman paling
singkat 5 (lima) tahun sebagai hakim pengadilan tinggi agama atau 3 (tiga) tahun bagi hakim
pengadilan tinggi agama yang pernah menjabat ketua pengadilan agama.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi wakil ketu a pengadilan tinggi agama harus berpengalaman paling
singkat 4 (empat) tahun sebagai hakim pengadilan tinggi agama atau 2 (dua) tahun bagi hakim
pengadilan tinggi agama yang pernah menjabat ketua pengadilan agama.
9. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1) Hakim pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
(2) Ketua dan wakil ketua pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
10. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Sebelum memangku jabatannya, ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan wajib mengucapkan
sumpah menurut agama Islam.
(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
"Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaikbaiknya
dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada
nusa dan bangsa".
(3) Wakil ketua dan hakim pengadilan agama mengucapkan sumpah di hadapan ketua pengadilan
agama.
(4) Wakil ketua dan hakim pengadilan tinggi agama Berta ketua pengadilan agama mengucapkan
sumpah di hadapan ketua pengadilan tinggi agama.
(5) Ketua pengadilar} tinggi agama mengucapkan sumpah di hadapan Ketua Mahkamah Agung.
11. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, hakim tidak boleh merangkap
menjadi:
a. pelaksana putusan pengadilan;
b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa olehnya; atau
c. pengusaha.
(2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi advokat.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh hakim selain jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
12. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
c. telah berumur 62 (enam puluh due.) tahun bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan
agama, dan 65 (enam puluh lima) tahun bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan tinggi
agama; atau
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan yang meninggal dunia dengan sendirinya
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden.
13. Ketentuan Pas al 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan
alasan:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
d. melanggar sumpah jabatan; atau
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, huruf e, huruf d, dan huruf e dilakukan setelah yang bersangkutan diberi
kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
(3) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim, serta
tata cara pembelaan diri diatur lebih lanjut oleh Ketua Mahkamah Agung.
14. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
Seorang hakim yang diberhentikan dari jabatannya dengan sendirinya diberhentikan sebagai
pegawai negeri.
15. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan sebelum diberhentikan tidak dengan hormat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dapat diberhentikan sementara dari jabatannya
oleh Ketua Mahkamah Agung.
(2) Terhadap pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
(3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 6 (enam)
bulan.
16. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan dapat ditangkap atau ditahan atas perintah Jaksa Agung
setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung, kecuali dalam hal:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan;
b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati; atau
c. disangka telah melakukan kejahatan terhadap kemanan negara.
17. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan agama, seorang calon harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. berijazah serendah-rendahnya sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum
Islam;
f. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera, 5 (lima) tahun sebagai
panitera muda pengadilan agama, atau menjabat wakil panitera pengadilan tinggi agama; dan
g. sehat jasmani dan rohani.
18. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan tinggi agama, seorang calon harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf g;
b. berijazah serendah-rendahnya sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum
Islam;
c. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera, 5 (lima) tahun sebagai
panitera muda pengadilan tinggi agama, atau 3 (tiga) tahun sebagai panitera pengadilan agama.
19. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29
Untuk dapat diangkat menjadi wakil panitera pengadilan agama, seorang calon harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan
huruf g; dan
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai panitera muda atau 4 (empat) tahun
sebagai panitera pengganti pengadilan agama.
20. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
Untuk dapat diangkat menjadi wakil panitera pengadilan tinggi agama, seorang calon harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf g;
b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam; dan
c. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera muda pengadilan tinggi agama, 5
(lima) tahun sebagai panitera muda pengadilan tinggi agama, atau 3 (tiga) tahun sebagai wakil
panitera pengadilan agama, atau menjabat sebagai panitera pengadilan agama.
21. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31
Untuk dapat diangkat menjadi panitera muda pengadilan agama, seorang calon hares memenuhi
syarat sebagai berikut :
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan
huruf g; dan
b. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan agama.
22. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32
Untuk dapat diangkat menjadi panitera muda pengadilan tinggi agama, seorang calon hares
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan
huruf g; dan
b. berpangalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan tinggi
agama, 3 (tiga) tahun sebagai panitera muda, 5 (lima) tahun sebagai panitera penggar}ti
pengadilan agama, atau menjabat sebagai wakil panitera pengadilan agama.
23. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengganti pengadilan agama, seorang calon harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan
huruf g; dan
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan agama.
24. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengganti pengadilan tinggi agama, seorang calon harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf g; dan
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan agama atau
8 (delapan) tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan tinggi agama.
25. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undangundang, panitera tidak boleh merangkap
menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan perkara yang di dalamnya is
bertindak sebagai Panitera.
(2) Panitera tidak boleh merangkap menjadi advokat.
(3) Jabatan yang tidak boleh deangkap oleh panitera selain jabatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.
26. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36
Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan diangkat dan
diberhentikan dari jabatannya oleh Mahkamah Agung.
27. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37
(1) Sebelum memangku jabatannya, panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti
mengucapkan sumpah menurut agam a Islam di hadapan ketua pengadilan yang bersangkutan.
(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau
tidak langsung dengan menggunakan atau can apa pun juga, tidak memberikan atau
menjanjilcan barang sesuatu kepada siapapun juga."
"Saya bersumpah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekalikali
akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau
pemberian.
"Saya bersumpah bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan seria
mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan segala undang-undang serta peraturan perundangundangan
lainnya yang berlaku bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia". "Saya bersumpah
bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan
tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaikbaiknya
dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang panitera, wakil panitera, panitera
muda, panitera pengganti, yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hulcum dan
keadilan."
28. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 39
(1) Untuk dapat diangkat menjadi jurusita, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. berijazah paling rendah Sekolah Menengah Umum atau yang sederajat;
f. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai jurusita pengganti; dan
g. sehat jasmani dan rohani.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi jurusita pengganti, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. syarat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e,
dan huruf g, dan;
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan
agama.
28. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40
(1) Jurusita pengadilan agama diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul
ketua pengadilan yang bersangkutan.
(2) Jurusita pengganti diangkat dan diberhentikan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan.
30. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41
(1) Sebelum memangku jabatannya, jurusita atau jurusita pengganti wajib mengucapkan sumpah
menurut agama Islam di hadapan ketua pengadilan yang bersangkutan.
(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau
tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga".
"Saya bersumpah, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak
sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau
pemberian".
"Saya bersumpah bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan segala undang-undang serta peraturan perundangundangan
lainnya yang berlaku bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia".
"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur,
seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan
kewajiban saya sebaikbaiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang jurusita atau
jurusita pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
31. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undangundang, jurusita tidak boleh merangkap
menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan perkara yang di dalamnya is
sendiri berkepentingan.
(2) Jurusita tidak boleh merangkap advokat.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh jurusita selain jabatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.
32. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 44
Panitera pengadilan tidak merangkap sekretaris pengadilan.
33. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 45
Untuk dapat diangkat menjadi sekretaris, wakil sekretaris pengadilan agama, dan pengadilan tinggi
agama seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. berijazah paling rendah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;
f. berpengalaman di bidang administrasi peradilan; dan
g. sehat jasmani dan rohani.
34. Ketentuan Pasal 46 dihapus.
35. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 47
Sekretaris dan wakil sekretaris pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah
Agung.
36. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 48
(1) Sebelum memangku jabatannya, sekretaris, dan wakil sekretaris mengucapkan sumpah menurut
agama Islam di hadapan ketua pengadilan yang bersangkutan.
(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk diangkat menjadi sekretaris/wakil sekretaris
akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, negara, dan pemerintah.
"Saya bersumpah bahwa saya, akan menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian,
kesadaran, dan tanggung jawab".
"Saya bersumpah bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara,
pemerintah, martabat sekretaris/wakil sekretaris serta akan senantiasa mengutamakan
kepentingan negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan".
"Saya bersumpah bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau
perintah harus saya rahasiakan".
"Saya bersumpah bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk
kepentingan negara".
37. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 49
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.
38. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 50
(1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
(2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya
antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan
agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
39. Di antara Pasal 52 dan Pasal 53 disisipkan satu pasal bait yakni Pasal 52A, yang berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 52A
Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun
Hijriyah.
40. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 90
(1) Biaya perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, meliputi:
a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai yang diperlukan untuk perkara tersebut;
b. biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya pengambilan sumpah yang diperlukan
dalam perkara tersebut;
c. biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan lain yang
diperlukan pengadilan dalam perkara tersebut; dan
d. biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah pengadilan yang berkenaan
dengan perkara tersebut.
(2) Besarnya biaya perkara diatur oleh Mahkamah Agung.
41. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 105
(1) Sekretaris pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi umum pengadilan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja
sekretariat diatur oleh Mahkamah Agung.
42. Di antara Pasal 106 dan BAB VII disisipkan satu pasal barn yakni Pasal 106A, yang berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 106A
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku peraturan perundang-undangan pelaksana Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 20 Maret 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Maret 2006
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 22










PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2006
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG PERADILAN AGAMA
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan dalam
Pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilari yang
berada di bawah Mahkamah Agung bersama badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan
Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Peradilan Agama merupakan salah
satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum
dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi
syari'ah. Dengan penegasan kewenangan Peradilan Agama tersebut dimaksudkan untuk
memberikan dasar hukum kepada pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu
tersebut, termasuk pelanggaran atas Undang-Undang tentang Perkawinan dan peraturan
pelaksanaannya serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syar'iyah dalam melaksanakan
kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan ganun.
Dalam Undang-Undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama
diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat,
khususnya masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syari'ah. Dalam
kaitannya dengan perubahan Undang-Undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan
umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: "Para
Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang
dipergunakan dalam pembagian warisan", dinyatakan dihapus.
Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan
tuntutan reformasi di bidang hukum, telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
sebagaimana terakhir telah diganti menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Demikian pula halnya telah dilakukan perubahan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan
adanya pengadilan khusus yang dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan dengan
undang-undang. Oleh karena itu, keberadaan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan
Agama perlu diatur pula dalam Undang-Undang ini.
Penggantian dan perubahan kedua Undang-Undang tersebut secara tegas telah
mengatur pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari semua lingkungan peradilan ke
Mahkamah Agung. Dengan demikian, organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di
lingkungan Peradilan Agama yang sebelumnya masih berada di bawah Departemen Agama
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama perlu disesuaikan.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Pengalihan ke Mahkamah Agung telah dilakukan. Untuk memenuhi ketentuan dimaksud perlu
pula diadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 2
Yang dimaksud dengan "rakyat pencari keadilan" adalah setiap orang balk warga
negara Indonesia maupun orang acing yang mencari keadilan pada pengadilan
di Indonesia.
Angka 2
Pasal 3 A
Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama adalah pengadilan
syari'ah Islam yang diatur dengan Undang-Undang. Mahkamah Syar'iyah di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dibentuk berdasarkan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang oleh Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 15 ayat (2)
disebutkan bahwa: "Peradilan Syari'ah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama
sepanjang kewenangan-nya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan
merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang
kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan Umum".
Angka 3
Pasal 4
Ayat (1)
Pada dasarnya tempat kedudukan pengadilan agama berada di ibukota
kabupaten dan kota, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten
atau kota, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 11
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 12
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 13
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 14
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 15
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 16
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 17
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "sakit jasmani atau rohani terus-menerus"
adalah sakit yang menyebabkan yang bersangkutan ternyata tidak
mampu lagi melakukan tugas kewajibannya dengan baik.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "tidak cakap" adalah misalnya yang
bersangkutan banyak melakukan kesalahan besar dalam
menjalankan tugasnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "tindak pidana kejahatan" adalah tindak
pidana yang ancaman pidananya paling singkat 1 (satu) tahun.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela" adalah
apabila hakim yang bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan
tindakannya baik di dalam maupun di luar pengadilan merendahkan
martabat hakim.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "tugas pekerjaannya" adalah semua tugas
yang dibebankan kepada yang bersangkutan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan dipidana
karena melakukan tindakan pidana kejahatan, yang bersangkutan tidak
diberi kesempatan untuk membela diri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 20
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 21
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 25
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 27
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 28
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 29
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 30
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 31
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 32
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 33
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 34
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 35
Ketentuan ini berlaku juga bagi wakil panitera, panitera muda, dan panitera
pengganti.
Angka 26
Pasal 36
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 37
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 39
Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 40
Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 41
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 42
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 44
Cukup jelas.
Angka 33
Pasal 45
Cukup jelas.
Angka 34
Pasal 46
Cukup jelas.
Angka 35
Pasal 47
Cukup jelas.
Angka 36
Pasal 48
Cukup jelas.
Angka 37
Pasal 49
Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari'ah,
melainkan juga di bidang ekonomi syari'ah lainnya.
Yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam" adalah
termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan din
dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai halhal yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.
Huruf a
Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah hal-hal yang diatur dalam
atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku
yang dilakukan menurut syari'ah, antara lain:
1. izin beristri lebih dari seorang;
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21
(dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam
garis lurus ada perbedaan pendapat;
3. dispensasi kawin;
4. pencegahan perkawinan;
5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. pembatalan perkawinan;
7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri;
8. perceraian karena talak;
9. gugatan perceraian;
10. penyelesaian harta bersama;
11. penguasaan anak-anak;
12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana
bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya;
13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada
bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14. putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. pencabutan kekuasaan wali;
17. penunjukan orang lain sebagai wall oleh pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang wall dicabut;
18. penunjukan seorang wall dalam hal seorang anak yang belum cult-up
umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
19. pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang
ada di bawah kekuasaannya;
20. penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam;
21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk
melakukan perkawinan campuran;
22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan
menurut peraturan yang lain.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masingmasing
ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalap
tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang
penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masingmasing
ahli waris.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan
suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum,
yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pembegan suatu benda secara
sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada
orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "wakaf' adalah perbuatan seseorang atau
sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harts benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk
jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh
seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai
dengan ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada yang berhak
menerimanya.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan
sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa
makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau
menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan
karena Allah Subhanahu Wata'ala.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "shadagah" adalah perbuatar; seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum
secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu
dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan
usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi:
a. bank syari'ah;
b. lembaga keuangan mikro syari'ah.
c. asuransi syari'ah;
d. reasuransi syari'ah;
e. reksa dana syari'ah;
f. obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah;
g. sekuritas syari'ah;
h. pembiayaan syari'ah;
i. pegadaian syari'ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan
k. bisnis syari'ah.
Angka 38
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini memberi wewenang kepada pengadilan agama untuk
sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait
dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 apabila subjek sengketa
antara orangorang yang beragama Islam.
Hal ini menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu
penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau
keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan
dengan adanya gugatan di pengadilan agama.
Sebaliknya apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau
keperdataan lain tersebut bukan yang menjadi subjek bersengketa di
pengadilan agama, sengketa di pengadilan agama ditunda untuk menunggu
putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan Peradilan
Umum.
Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah
mengajukan bukti ke pengadilan agama bahwa telah didaftarkan gugatan di
pengadilan negeri terhadap objek sengketa yang sama dengan sengketa di
pengadilan agama.
Dalam hat objek sengketa lebih dari satu objek dan yang tidak terkait dengan
objek sengketa yang diajukan keberatannya, pengadilan agama tidak perlu
menangguhkan putusannya, terhadap objek sengketa yang tidak terkait
dimaksud.
Angka 39
Pasal 52A
Selama ini pengadilan agama diminta oleh Menteri Agama untuk
memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat
atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan
awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama
mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu)
Ramadhan dan 1 (satu) Syawal.
Pengadilan agama dapat memberikan keterangan atau nasihat mengenai
perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.
Angka 40
Pasal 90
Cukup jelas.
Angka 41
Pasal 105
Cukup jelas.
Angka 42
Pasal 106A
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4611

Tidak ada komentar: