Mengenai Saya

Foto saya
Science without religion is blind and Religion without science is lame

Jumat, 29 April 2011

> KIAT MENGOBATI PENYAKIT HATI

oleh Akbar Mardani

Cara pertama untuk mengobati penyakit hati, menurut Al-Ghazali, adalah dengan mencari guru yang mengetahui penyakit hati kita. Ketika kita datang kepada guru tersebut, kita harus datang dengan segala kepasrahan. Kita tidak boleh tersinggung jika guru itu memberitahukan penyakit hati kita.



Umar Ibn Al-Khattab berkata, “Aku menghargai sahabat-sahabatku yang menunjukkan aib-aibku sebagai hadiah untukku.”



Seorang guru harus mencintai kita dengan tulus dan begitu pula sebaliknya, kita harus mencintai guru kita dengan tulus. Apa pun yang dikatakan guru, kita tidak menjadi marah. Kita juga harus mencari guru yang lebih sedikit penyakit hatinya daripada diri kita sendiri.



Kedua, mendapatkan sahabat yang jujur. Sahabat adalah orang yang membenarkan bukan yang `membenar-benarkan’ kita. Sahabat yang baik adalah yang membetulkan kita, bukan yang menganggap apapun yang kita lakukan itu betul.



Ketiga, jika sulit mendapatkan sahabat yang jujur, kita bisa mencari musuh dan mempertimbangkan ucapan-ucapan musuh tentang diri kita. Musuh dapat menunjukkan aib kita dengan lebih jujur ketimbang sahabat kita sendiri. Keempat, memperhatikan perilaku orang lain yang buruk dan kita rasakan akibat perilaku buruk tersebut pada diri kita. Dengan cara itu, kita tidak akan melakukan hal yang sama. Hal ini sangat mudah karena kita lebih sering memperhatikan perilaku orang lain yang buruk daripada perilaku buruk kita sendiri.



Sebuah kisah dari Jalaluddin Rumi akan menutup tulisan ini; Alkisah, di sebuah kota ada seorang pria yang menanam pohon berduri di tengah jalan. Walikota sudah memperingatkannya agar memotong pohon berduri itu. Setiap kali diingatkan, orang itu selalu mengatakan bahwa ia akan memotongnya besok. Namun sampai orang itu tua, pohon itu belum dipotong juga. Seiring dengan waktu, pohon berduri itu bertambah besar. Ia menutupi semua bagian jalan. Duri itu tidak saja melukai orang yang melalui jalan, tapi juga melukai pemiliknya. Orang tersebut sudah sangat tua. Ia menjadi amat lemah sehingga tidak mampu lagi untuk menebas pohon yang ia tanam sendiri.



Di akhir kisah itu Rumi memberikan nasihatnya, “Dalam hidup ini, kalian sudah banyak sekali menanam pohon berduri dalam hati kalian. Duri-duri itu bukan saja menusuk orang lain tapi juga dirimu sendiri. Ambillah kapak Haidar, potonglah seluruh duri itu sekarang sebelum kalian kehilangan tenaga sama sekali.”



Yang dimaksud Rumi dengan pohon berduri dalam hati adalah penyakit- penyakit hati dalam ruh kita. Bersamaan dengan tambahnya umur, bertambah pula kekuatannya. Tak ada lagi waktu yang lebih tepat untuk menebang pohon berduri di hati kita itu selain saat ini. Esok hari, penyakit itu akan semakin kuat sementara tenaga kita bertambah lemah. Tak ada daya kita untuk menghancurkannya.

Jumat, 15 April 2011

> Informasi Haji

http://arrafiiyah-arrafiiyah.blogspot.com
http://haji.kemenag.go.id
http://tentangumrah.wordpress.com/2009/03/09/kumpulan-materi-haji-dan-umrah
http://www.findtoyou.com/powerpoint/materi+haji.html
http://www.hajiumroh.com

> UU No 41 th 2004 tangan wakaf

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 2004
TENTANG
WAKAF
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensl dan manfaat
ekonoml perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan untuk
memajukan kesejahteraan umum;
b. bahwa wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan dilaksanakan
dalam masyarakat, yang pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar dalam
berbagai peraturan perundang-undangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b,
dipandang perlu membentuk Undang-Undang tentang Wakaf;
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 29, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan persetujuan bersama
DEWAN PERWAKlLAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG WAKAF.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah.
2. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
3. Ikrar Wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau
tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.
4. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untukdikelola dan
dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
5. Harta Benda Wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau
manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang
diwakafkan oleh Wakif .
6. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, selanjutnya disingkat PPAIW, adalah pejabat
berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk membuat akta ikrar wakaf.
7. Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga independen untuk mengembangkan
perwakafan di Indonesia.
8. Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas
Presiden beserta para menteri.
9. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang agama.
www.bpkp.go.id
BAB II
DASAR-DASAR WAKAF
Bagian Pertama
Umum
Pasal 2
Wakaf sah apabila dilaksanakan menurut syariah.
Pasal 3
Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan.
Bagian Kedua
Tujuan dan Fungsi Wakaf
Pasal 4
Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya.
Pasal 5
Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk
kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Bagian Ketiga
Unsur Wakaf
Pasal 6
Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut:
a. Wakif;
b. Nazhir;
c. Harta Benda Wakaf;
d. Ikrar Wakaf;
e. peruntukan harta benda wakaf;
f. jangka waktu wakaf.
Bagian Keempat
Wakif
Pasal 7
Wakif meliputi:
a. perseorangan;
b. organisasi;
c. badan hukum.
Pasal 8
(1) Wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a hanya dapat
melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan:
a. dewasa;
b. berakal sehat;
c. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan
d. pemilik sah harta benda wakaf.
(2) Wakif organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b hanya dapat
melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta
benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang
bersangkutan.
(3) Wakif badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c hanya dapat
melakukan. wakaf apabila memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan
harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum
yang bersangkutan.
www.bpkp.go.id
Bagian Kelima
Nazhir
Pasal 9
Nazhir meliputi:
a. perseorangan;
b. organisasi; atau
c. badan hukum.
Pasal 10
(1) Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a hanya dapat menjadi
Nazhir apabila memenuhi persyaratan:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. dewasa;
d. amanah;
e. mampu secara jasmani dan rohani; dan
f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
(2) Organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b hanya dapat menjadi Nazhir
apabila memenuhi persyaratan :
a. pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir
perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
b. organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau
keagamaan Islam.
(3) Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c hanya dapat menjadi
Nazhir apabila memenuhi persyaratan:
a. penguru badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir
perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ); dan
b. badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan
perundang.undangan yang berlaku; dan
c. badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan,
kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.
Pasal 11
Nazhir mempunyai tugas:
a. rnelakukan pengadministrasian harta benda wakaf;
b. mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan
peruntukannya;
c. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;
d. melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
Pasal 12
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana.dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir dapat
menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda
wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen).
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir memperoleh
pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.
Pasal 14
(1) Dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Nazhir harus
terdaftar pada Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Nazhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Pasal
10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
www.bpkp.go.id
Bagian Keenam
Harta Benda Wakaf
Pasal 15
Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh Wakif
secara sah.
Pasal 16
(1) Harta benda wakaf terdiri dari:
a. benda tidak bergerak; dan
b. benda bergerak.
(2) Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;
b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud
pada huruf a;
c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang.undangan yang berlaku;
e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang.undangan yang berlaku.
(3) Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang
tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:
a. uang;
b. logam mulia;
c. surat berharga;
d. kendaraan;
e. hak atas kekayaan intelektual;
f. hak sewa; dan
g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang.undangan yang berlaku.
Bagian Ketujuh
Ikrar Wakaf
Pasal 17
(1) Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan PPAIW dengan
disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
(2) Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan dan/atau
tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.
Pasal 18
Dalam hal Wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak dapat hadir
dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang dibenarkan oleh hukum, Wakif dapat
menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi.
Pasail 19
Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif atau kuasanya menyerahkan surat dan/atau
bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW.
Pasal 20
Saksi dalam ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan:
a. dewasa;
b. beragama Islam;
c. berakal sehat;
d. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
www.bpkp.go.id
Pasal 21
(1) Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf .
(2) Akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. nama dan identitas Wakif;
b. nama dan identitas Nazhir;
c. data dan keterangan harta benda wakaf;
d. peruntukan harta benda wakaf;
e. jangka waktu wakaf .
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Peruntukan Harta Benda Wakaf
Pasal 22
Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf 1 harta benda wakaf hanya dapat
diperuntukan bagi:
a. sarana dan kegiatan ibadah;
b. sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;
c. bantuan kepada fakir miskin anak terlantar, yatim piatu, bea siswa;
d. kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau
e. kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
(1) Penetapan peruntukan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
dilakukan oleh Wakif pada pelaksanaan ikrar wakaf .
(2) Dalam hal Wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf Nazhir dapat
menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan
fungsi wakaf .
Bagian Kesembilan
Wakaf dengan Wasiat
Pasal 24
Wakaf dengan wasiat baik secara lisan maupun secara tertulis hanya dapat dilakukan
apabila disaksikan oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.
Pasal 25
Harta benda wakaf yang diwakafkan dengan wasiat paling banyak 1/3 (satu pertiga) dari
jumlah harta warisan setelah dikurangi dengan utang pewasiat, kecuali dengan
persetujuan seluruh ahli waris.
Pasal 26
(1) Wakaf dengan wasiat dilaksanakan oleh penerima wasiat setelah pewasiat yang
bersangkutan meninggal dunia.
(2) Penerima wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak sebagai kuasa wakif .
(3) Wakaf dengan wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan tata cara perwakafan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 27
Dalam hal wakaf dengan wasiat tidak dilaksanakan oleh penerima wasiat, atas
permintaan pjhak yang berkepentingan, pengadilan dapat memerintahkan penerima
wasiat yang bersangkutan untuk melaksanakan wasiat.
www.bpkp.go.id
Bagian Kesepuluh
Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang
Pasal 28
Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah
yang ditunjuk oleh Menteri.
Pasal 29
(1) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
dilaksanakan oleh Wakif dengan pernyataan kehendak Wakif yang dilakukan secara
tertulis.
(2) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
dalam bentuk sertifikat wakaf uang.
(3) Sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dan
disampaikan oleh lembaga keuangan syariah kepada Wakif dan Nazhir sebagai bukti
penyerahan harta benda wakaf .
Pasal 30
Lembaga keuangan syariah atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf berupa
uang kepada Menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkannya
Sertifikat Wakaf Uang.
Pasal 31
Ketentuan lebih lanjut mengenai wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
PENDAFTARAN DAN PENGUMUMAN HARTA BENDA WAKAF
Pasal 32
PPAIW atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi yang
berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani.
Pasal 33
Dalam pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, PPAIW
menyerahkan:
a. salinan akta ikrar wakaf;
b. surat-surat dan/atau bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya.
Pasal 34
Instansi yang berwenang menerbitkan bukti pendaftaran harta benda wakaf.
Pasal 35
Bukti pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 disampaikan
oleh PPAIW kepada Nazhir.
Pasal 36
Dalam hal harta benda wakaf ditukar atau diubah peruntukannya Nazhir melalui PPAIW
mendaftarkan kembali kepada Instansi yang berwenang dan Badan Wakaf Indonesia atas
harta benda wakaf yang ditukar atau diubah peruntukannya itu sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dalam tata cara pendaftaran harta benda wakaf.
Pasal 37
Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengadministrasikan pendaftaran harta benda
wakaf.
www.bpkp.go.id
Pasal 38
Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengumumkan kepada masyarakat harta benda
wakaf yang telah terdaftar.
Pasal 39
Ketentuan lebih lanjut mengenai PPAIW, tata cara pendaftaran dan pengumuman harta
benda wakaf diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PERUBAHAN STATUS HARTA BENDA WAKAF
Pasal 40
Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang:
a. dijadikan jaminan;
b. disita;
c. dihibahkan;
d. dijual;
e. diwariskan;
f. ditukar; atau
g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Pasal 41
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f dikecualikan apabila harta
benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai
dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan
setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf
Indonesia.
(3) Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat
dan nilai tukar sekurang. kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.
(4) Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada
ayat (1 ), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN
HARTA BENDA WAKAF
Pasal 42
Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan,
fungsi, dan peruntukannya.
Pasal 43
(1) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh Nazhir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah.
(2) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan secara produktif.
(3) Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dimaksud pada
ayat (1) diperlukan penjamin, maka digunakan lembaga penjamin syariah.
Pasal 44
(1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir dilarang
melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin tertulis
dari Badan Wakaf Indonesia.
www.bpkp.go.id
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila harta benda
wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan yang dinyatakan
dalam ikrar wakaf.
Pasal 45
(1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir diberhentikan dan
diganti dengan Nazhir lain apabila Nazhir yang bersangkutan:
a. meninggal dunia bagi Nazhir perseorangan;
b. bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang.undangan
yang berlaku untuk Nazhir organisasi atau Nazhir badan hukum;
c. atas permintaan sendiri;
d. tidak melaksanakan tugasnya sebagai Nazhir dan/atau melanggar ketentuan
larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang.undanganyang berlaku;
e. dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
(2) Pemberhentian dan penggantian Nazhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia.
(3) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh Nazhir lain
karena pemberhentian dan penggantian Nazhir, dilakukan dengan tetap
memperhatikan peruntukan harta benda wakaf yang ditetapkan dan tujuan serta fungsi
wakaf.
Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 45 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VI
BADAN WAKAF INDONESIA
Bagian Pertama
Kedudukan dan Tugas
Pasal 47
(1) Dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, dibentuk
Badan Wakaf Indonesia.
(2) Badan Wakaf Indonesia merupakan lembaga independen dalam melaksanakan
tugasnya.
Pasal 48
Badan Wakaf Indonesia berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan dapat membentuk perwakilan di Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota sesuai dengan
kebutuhan.
Pasal 49
(1) Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan
harta benda wakaf;
b. melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional
dan internasional;
c. memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta
benda wakaf;
d. memberhentikan dan mengganti Nazhir;
e. memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;
f. memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan
kebijakan di bidang perwakafan.
www.bpkp.go.id
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan Wakaf
Indonesia dapat bekerjasama dengan instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah,
organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dipandang
perlu.
Pasal 50
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Badan Wakaf
Indonesia memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri dan Majelis Ulama Indonesia.
Bagian Kedua
Organisasi
Pasal 51
(1) Badan Wakaf Indonesia terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan.
(2) Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unsur pelaksana
tugas Badan Wakaf Indonesia.
(3) Dewan Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unsur
pengawas pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia.
Pasal 52
(1) Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan Badan Wakaf Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51, masing-masing dipimpin oleh 1 (satu) orang Ketua dan 2
(dua) orang Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota.
(2) Susunan keanggotaan masing-masing Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan
Badan Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh para
anggota.
Bagian Ketiga
Anggota
Pasal 53
Jumlah anggota Badan Wakaf Indonesia terdiri dari paling sedikit 20 (dua puluh) orang
dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal dari unsur masyarakat.
Pasal 54
(1) Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Wakaf Indonesia, setiap calon anggota
harus memenuhi persyaratan:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. dewasa;
d. amanah;
e. mampu secara jasmani dan rohani;
f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum;
g. memiliki pengetahuan, kemampuan, dan/atau pengalaman di bidang perwakafan
dan/atau ekonomi, khususnya di bidang ekonomi syariah; dan
h. mempunyai komitmen yang tinggi untuk mengembangkan perwakafan nasional.
(2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan mengenai
persyaratan lain untuk menjadi anggota Badan Wakaf Indonesia ditetapkan oleh
Badan Wakaf Indonesia.
Bagian Keempat
Pengangkatan dan Pemberhentian
Pasal 55
(1) Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(2) Keanggotaan Perwakilan Badan Wakaf Indonesia di daerah diangkat dan
diberhentikan oleh Badan Wakaf Indonesia.
www.bpkp.go.id
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan Badan
Wakaf Indonesia.
Pasal 56
Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun
dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 57
(1) Untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diusulkan
kepada Presiden oleh Menteri.
(2) Pengusulan pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia kepada Presiden
untuk selanjutnya dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan calon keanggotaan Badan Wakaf Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Badan Wakaf Indonesia, yang
pelaksanaannya terbuka untuk umum.
Pasal 58
Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia yang berhenti sebelum berakhirnya masa jabatan
diatur oleh Badan Wakaf Indonesia.
Bagian Kelima
Pembiayaan
Pasal 59
Dalam rangka pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia, Pemerintah wajib membantu
biaya operasional.
Bagian Keenam
Ketentuan Pelaksanaan
Pasal 60
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, tugas, fungsi, persyaratan, dan tata
cara pemilihan anggota serta susunan keanggotaan dan tata kerja Badan Wakaf Indonesia
diatur oleh Badan Wakaf Indonesia.
Bagian Ketujuh
Pertanggungjawaban
Pasal 61
(1) Pertanggungjawaban pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia dilakukan melalui
laporan tahunan yang diaudit oleh lembaga audit independen dan disampaikan kepada
Menteri.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan kepada
masyarakat.
BAB VII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 62
(1) Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai
mufakat.
(2) Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil,
sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan.
www.bpkp.go.id
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 63
(1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan wakaf
untuk mewujudkan tujuan dan fungsi wakaf.
(2) Khusus mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri
mengikutsertakan Badan Wakaf Indonesia.
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan dengan memperhatikan saran dan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia.
Pasal 64
Dalam rangka pembinaan, Menteri dan Badan Wakaf Indonesia dapat melakukan kerja
sama dengan organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang
dipandang perlu.
Pasal 65
Dalam pelaksanaan pengawasan, Menteri dapat menggunakan akuntan publik.
Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk pembinaan dan pengawasan oleh Menteri dan
Badan Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Pertama
Ketentuan Pidana
Pasal 67
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual,
mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf
yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin
menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menghibah peruntukan harta benda wakaf tanpa
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 400.000.000,00
(empat ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil
pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 68
(1) Menteri dapat mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran tidak didaftarkannya
harta benda wakaf oleh lembaga keuangan syariah dan PPAIW sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 32.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang wakaf bagi
lembaga keuangan syariah;
www.bpkp.go.id
c. penghentian sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan PPAIW.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 69
(1) Dengan berlakunya Undang-Undang ini, wakaf yang dilakukan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum dtundangkannya
Undang-Undang ini, dinyatakan sah sebagai wakaf menurut Undang-Undang ini.
(2) Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan dan diumumkan paling
lama 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 70
Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perwakafan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru
berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 71
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 27 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Oktober 2004
MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PROF. DR. YUSRIL IHZA MAHENDRA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 159.
www.bpkp.go.id
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 2004
TENTANG
WAKAF
I. UMUM
Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara
lain adalah memajukan kesejahteraan umum. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu
menggali dan mengembangkan potensi yang terdapat dalam pranata keagamaan yang
memiliki manfaat ekonomis.
Salah satu langkah strategjs untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu
meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan
menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan
ekonomi yang berpotensi, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum,
sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.
Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan
tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara
sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara
melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya karena kelalaian atau
ketidakmampuan Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf
tetai karena juga sjkap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status
harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan umum
sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.
Berdasarkan pertimbangan di atas dan untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam
rangka pembangunan hukum nasional perlu dibentuk Undang-Undang tentang
Wakaf. Pada dasarnya ketentuan mengenai perwakafan berdasarkan syariah dan
peraturan perundang-undangan dicantumkan kembali dalam Undang-Undang ini,
namun terdapat pula berbagai pokok pengaturan yang baru antara lain sebagai
berikut:
1. Untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi harta
benda wakaf, Undang-Undang ini menegaskan bahwa perbuatan hukum wakaf
wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta
diumumkan yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai wakaf dan harus
dilaksanakan. Undang-Undang ini tidak memisahkan antara wakaf ahli yang
pengelolaan dan pemanfaatan harta benda wakaf terbatas untuk kaum kerabat
(ahli waris) dengan wakaf-khairi yang dimaksudkan untuk kepentingan
masyarakat umum sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.
2. Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum cenderung terbatas
pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, menurut Undang-
Undang ini Wakif dapat pula mewakafkan sebagian kekayaannya berupa harta
benda wakaf bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud yaitu uang, logam
mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda
bergerak lainnya.
Dalam hal benda bergerak berupa uang, Wakif dapat mewakafkan melalui
Lembaga Keuangan Syariah.
Yang dimaksud dengan Lembaga Keuangan Syariah adalah badan hukum
Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang bergerak di bidang keuangan syariah, misalnya badan hukum di
bidang perbankan syariah.
Dimungkinkannya wakaf benda bergerak berupa uang melalui Lembaga
Keuangan Syariah dimaksudkan agar memudahkan Wakif untuk mewakafkan
uang miliknya.
www.bpkp.go.id
3. Peruntukan harta benda wakaf tidak semata.mata untuk kepentingan sarana ibadah
dan sosial tetapi juga diarahkan untuk memajukan kesejahteraan umum dengan
cara mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf. Hal itu
memungkinkan pengelolaan harta benda wakaf dapat memasuki wilayah kegiatan
ekonomi dalam arti luas sepanjang pengelolaan tersebut sesuai dengan prinsip
manajemen dan ekonomi Syariah.
4. Untuk mengamankan harta benda wakaf dari campur tangan pihak ketiga yang
merugikan kepentingan wakaf, perlu meningkatkan kemampuan profesional
Nazhir.
5. Undang-Undang ini juga mengatur pembentukan Badan Wakaf Indonesia yang
dapat mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan kebutuhan. Badan tersebut
merupakan lembaga independen yang melaksanakan tugas di bidang perwakafan
yang melakukan pembinaan terhadap Nazhir, melakukan pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional,
memberikan persetujuan atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf,
dan memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan
kebijakan di bidang perwakafan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Yang dimaksud dengan perseorangan, organisasi dan/atau badan hukum adalah
perseorangan warga negara Indonesia atau warga negara asing, organisasi Indonesia
atau organisasi asing dan/atau badan hukum Indonesia atau badan hukum asing.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Yang dimaksud dengan perseorangan, organisasi dan/atau badan hukum adalah
perseorangan warga negara Indonesia, organisasi Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Dalam rangka pendaftaran Nazhir, Menteri harus proaktif untuk mendaftar para
Nazhir yang sudah ada dalam masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
www.bpkp.go.id
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Yang dimaksud benda bergerak lain sesuai dengan syariah dan peraturan yang
berlaku, antara lain mushaf, buku, dan kitab.
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Penyerahan surat-surat atau dokumen kepemilikan atas harta benda wakaf oleh Wakif
atau kuasanya kepada PPAIW dimaksudkan agar diperoleh kepastian keberadaan
harta benda wakaf dan kebenaran adanya hak Wakif atas harta benda wakaf
dimaksud.
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Yang dimaksud dengan pengadilan adalah pengadilan agama.
Yang dimaksud dengan pihak yang berkepentingan antara lain para ahli waris, saksi,
dan pihak penerima peruntukan wakaf.
Pasal 28
Yarig dimaksud dengan Lembaga Keuangan Syariah adalah badan hukum Indonesia
yang bergerak di bidang keuangan syariah.
Pasal 29
Ayat (1)
Pernyataan kehendak Wakif secara tertulis tersebut dilakukan kepada Lembaga
Keuangan Syariah dimaksud.
Ayat (2)
Cukup jelas
www.bpkp.go.id
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasai 30
Cukup jelas
Pasai 31
Cukup jelas
Pasal 32
Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah adalah Badan Pertanahan Nasional,
Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain uang adalah instansi
yang terkait dengan tugas pokoknya, instansi yang berwenang di bidang wakaf benda
bergerak selain uang yang tidak terdaftar (unregistered goods) adalah Badan Wakaf
Indonesia.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah adalah Badan Pertanahan Nasional.
Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain uang adalah instansi
yang terkait dengan tugas pokoknya.
Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain uang yang tidak
terdaftar (unregistered goods) adalah Badan Wakaf Indonesia.
Yang dimaksud dengan bukti pendaftaran harta benda wakaf adalah surat keterangan
yang dikeluarkan oleh instansi Pemerintah yang berwenang yang menyatakan harta
benda wakaf telah terdaftar dan tercatat pada negara dengan status sebagai harta
benda wakaf.
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah adalah Badan Pertanahan Nasional.
Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain uang adalah instansi
yang terkait dengan tugas pokoknya.
Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain uang yang tidak
terdaftar (unregistered goods) adalah Badan Wakaf Indonesia.
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Yang dimaksud dengan mengumumkan harta benda wakaf adalah dengan
memasukan data tentang harta benda wakaf dalam register umum. Dengan
dimasukannya data tentang harta benda wakaf dalam register umum, maka terpenuhi
asas publisitas dari wakaf sehingga masyarakat dapat mengakses data tersebut.
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara produktif antara
lain dengan cara pengumpulan, investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan,
perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi,
pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan,
perkantoran, sarana pendidikan ataupun sarana kesehatan, dan usaha-usaha yang tidak
bertentangan dengan syariah. Yang dimaksud dengan lembaga penjamin syariah
www.bpkp.go.id
adalah badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas suatu
kegiatan usaha yang dapat dilakukan antara lain melalui skim asuransi syariah atau
skim lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Pembentukan perwakilan Badan Wakaf Indonesia di daerah dilakukan setelah Badan
Wakaf Indonesia berkonsultasi dengan pemerintah daerah setempat.
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasai 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak
ketiga (mediator) yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa. Dalam hal
mediasi tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa
kepada badan arbitrase syariah.
Dalam hal badan arbitrase syariah tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka
sengketa tersebut dapat dibawa ke pengadilan agama dan/atau mahkamah syar'iyah.
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
www.bpkp.go.id
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4459

>UU no 38 th 1999 tentang Zakat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 38 TAHUN 1999
TENTANG
PENGELOLAAN ZAKAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa negara Republik Indonesia menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
beribadat menurut agamanya masing-masing;
b. bahwa penunaian zakat merupakan kewajiban umat Islam Indoneia yang mampu dan hasil
pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang potensial bagi upaya mewujudkan
kesejahteraan masyarakat;
c. bahwa zakat merupakan pranata keagamaan untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia dengan memperhatikan masyarakat yang kurang mampu;
d. bahwa upaya penyempurnaan sistem pengelolaan zakat perlu terus ditingkatkan agar
pelaksanaan zakat lebih berhasil guna dan berdaya guna serta dapat
dipertanggungjawabkan;
e. bahwa berdasarkan hal-hal tersebut pada butir a, b, c, dan d perlu dibentuk Undangundang
Pengelolaan Zakat
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 29, dan Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok
Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional
sebagai Haluan Negara;
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3400);
4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Derah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839.
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimkasud dengan :
1. Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap
pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat.
2. Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang musli atau badan yang dimiliki oleh
orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak
menerimanya.
3. Muzakki adalah orang atau badan yang dimiliki oleh orang muslim yang berkewajiban
menunaikan zakat.
4. Mustahiq adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat.
5. Agama adalah agama Islam.
6. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang
agama.
Pasal 2
Setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh
orang muslim berkewajiban menunaikan zakat.
Pasal 3
Pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan dan pelayanan kepada
muzakki, mustahiq dan amil zakat.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 4
Pengelolaan zakat berasaskan iman dan takwa, keterbukaan dan kepastian hukum sesuai denga
Pancasila dan Undang-undang Dasaar 1945.
Pasal 5
Pengelolaan zakat bertujuan :
1. meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan
agama;
2. meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
3. meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat.
BAB III
ORGANISASI PENGELOLAAN ZAKAT
Pasal 6
(1) Pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah.
(2) Pembentukan badan amil zakat :
a. nasional oleh Presiden atas usul Menteri;
b. daerah propinsi oleh gubernur atas usul kepala kantor wilayah departemen agama
propinsi;
c. daerah kabupaten atau daerah kota oleh bupati atau wali kota atas usul kepala kantor
departemen agama kabupaten atau kota;
d. kecamatan oleh camat atas usul kepala kantor urusan agama kecamatan.
(3) Badan amil zakat di semua tingkatan memiliki hubungan kerja yang bersifat koordinatif,
konsultatif dan informatif.
(4) Pengurus badan amil zakat terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah yang memenuhi
persyaratan tertentu.
(5) Organisasi badan amil zakat terdiri atas unsur pertimbangan, unsur pengawas dan unsur
pelaksana.
Pasal 7
(1) Lembaga amil zakat dikukuhkan, dibina, dan dilindungi oleh pemerintah.
(2) Lembaga amil zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan
yang diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 8
Badan amil zakat sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 dan lembaga amil zakat sebagaimana
dimaksud pada Pasal 7 mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan dan
mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.
Pasal 9
Dalam melaksanakan tugasnya, badan amil zakat dan lembaga amil zakat bertanggung jawab
kepada pemerintah sesuai dengan tingkatannya.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja badan amil zakat ditetapkan
dengan keputusan menteri.
BAB IV
PENGUMPULAN ZAKAT
Pasal 11
(1) Zakat terdiri atas zakat mal dan zakat fitrah.
(2) Harta yang dikenai zakat adalah :
a. emas, perak dan uang;
b. perdagangan dan perusahaan;
c. Hasil pertanian, perkebunan dan perikanan;
d. Hasil pertambangan;
e. Hasil peternakan;
f. Hasil pendapatan dan jasa;
g. tikaz
(3) Penghitungan zakat mal menurut nishab, kadar dan waktunya ditetapkan berdasarkan
hukum agama.
Pasal 12
(1) Pengumpulan zakat dilakukan oleh badan amil zakat dengan cara menerima atau mengambil
dari muzakki atas dasar pemberitahuan muzakki.
(2) Badan amil zakat dapat bekerja sama dengan bank dalam pengumpulan zakat harta
muzakki yang berada di bank atas permintaan muzakki.
Pasal 13
Badan amil zakat dapat menerima harta selain zakat seperti infaq, shadaqah, wasiat waris dan
kafarat.
Pasal 14
(1) Muzakki melakukan penghitungan sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya berdasarkan
hukum agama.
(2) Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri hartaya dan kewajiban zakatnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), muzakki dapat meminta bantuan kepada badan amil zakat atau
badan amil zakat memberikan bantuan kepada muzakki untuk menghitungnya.
(3) Zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan
dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
Lingkup kewenangan pengumpulan zakat oleh badan amil zakat ditetapkan dengan keputusan
menteri.
BAB V
PENDAYAGUNAAN ZAKAT
Pasal 16
(1) Hasil pengumpulan zakat didayagunakan untuk mustahiq sesuai dengan ketentuan agama.
(2) Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahiq
dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif.
(3) Persyaratan dan prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur dengan keputusan menteri.
Pasal 17
Hasil penerimaan infaq, shadaqah, wasiat, waris dan kafarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 didayagunakan terutama untuk usaha yang produktif.
BAB VI
PENGAWASAN
Pasal 18
(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas badan amil zakat dilakukan oleh unsur pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5).
(2) Pimpinan unsur pengawas dipilih langsung oleh anggota.
(3) Unsur pengawas berkedudukan di semua tingkatan badan amil zakat.
(4) Dalam melakukan pemeriksaan keuangan badan amil zakat, unsur pengawas dapat meminta
bantuan akuntan publik.
Pasal 19
Badan amil zakat memberikan laporan tahunan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai
dengan tingkatannya.
Pasal 20
Masyarakat dapat berperan serta dalam pengawasan badan amil zakat dan lembaga amil zakat.
BAB VII
SANKSI
Pasal 21
(1) Setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat atau mencatat dengan tidak
benar harta zakat, infaq, shadaqah, wasiat, hibah, waris dan kafarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8, Pasal 12, Pasal 13 dalam Undang-undang ini diancam dengan hukuman
kurungan selama-lamanya tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
(2) Tindak pidana yang dimaksud pada ayat (1) di atas merupakan pelanggaran.
(3) Setiap petugas badan amil zakat dan petugas lembaga amil zakat yang melakukan tindak
pidana kejahatan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB VIII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Pasal 22
Dalam hal muzakki berada atau menetap di luar negeri, pengumpulan zakatnya dilakukan oleh
unit pengumpul zakat pada perwakilan Republik Indonesia, yang selanjutnya diteruskan kepada
badan amil zakat nasional.
Pasal 23
Dalam menunjang pelaksanaan tugas badan amil zakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,
pemerintah wajib membantu operasional badan amil zakat.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 24
(1) Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan zakat masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru
berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Selambat-lambatnya dua tahun sejak diundangkannya Undang-undang ini, setiap organisasi
pengelolaan zakat yang telah ada wajib menyesuaikan menurut ketentuan Undang-undang
ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS
NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MULADI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 164
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 38 TAHUN 1999
TENTANG
PENGELOLAAN ZAKAT
I. UMUM
Memajukan kesejahteraan umum merupakan salah satu tujuan nasional negara Republik
Indonesia yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Untuk
mewujudkan tujuan nasional tersebut, bangsa Indonesia senantiasa melaksanakan
pembangunan yang bersifat fisik materiil mental spiritual, antara lain melalui pembangunan di
bidang agama yang mencakup terciptanya suasana kehidupan beragama yang penuh
keimanan dan ketakwaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa, meningkatnya akhlak
mulia, terwujudnya kerukunan hidup umat beragama yang dinamis sebagai landasan
persatuan dan kesatuan bangsa, dan meningkatnya peran serta masyarakat dalam
pembangunan nasional. Guna mencapai tujuan tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya,
antara lain dengan menggali dan memanfaatkan dana melalui zakat.
Zakat sebagai rukun Islam merupakan kewajiban setiap muslim yang mampu untuk
membayarnya dan diperuntukan bagi mereka yang berhak menerimanya. Dengan
pengelolaan yang baik, zakat merupakan sumber dana potensial yang dapat dimanfaatkan
untuk memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat.
Agar dapat menjadi sumber dana yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat
terutama untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan
sosial, perlu adanya pengelolaan zakat secara profesioanal dan bertanggung jawab yang
dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban
memberukan perlindungan, pembinaan dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq dan
pengelola zakat. Untuk maksud tersebut, perlu adanya Undang-undnag Pengelolaan Zakat
yang berasaskan iman dan takwa dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, kemaslahatan,
keterbukaan dan kepastian hukum sebagai pengamalan Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945.
Tujuan pengelolaan zakat adalah meningkatnya kesadaran masyarakat dalam penunaian dan
dalam pelayanan ibadah zakat, meningkatnya fungsi dan perananan pranata keagamaan
dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, serta
meningkatnya hasi guna dan daya guna zakat.
Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat juga mencakup pengelolaan infaq, shadaqah,
wasiat, waris, hibah, dan kafarat dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pengawasan agar menjadi pedoman bagi muzakki dan mustahiq, baik perseorangan maupun
badan hukum dan/atau badan usaha.
Untuk menjamin pengelolaan zakat sebagai amanah agama, dalam Undang-undang ini
ditentukan adanya unsur pertimbangan dan unsur pengawas yang terdiri atas ulama, kaum
cendikia, masyarakat dan pemerintah serta adanya sanksi hukum terhadap pengelola.
Dengan dibentuknya Undang-undang tentang Pengelolaan zakat, diharapkan dapat
ditingkatkan kesadaran muzakki untuk menunaikan kewajiban zakat dalam rangka
menyucikan diri terhadap harta yang dimilikinya, mengangkat derajat mustahiq, dan
meningkatnya keprofesionalan pengelola zakat, yang semuanya untuk mendapatkan ridha
Allah SWT.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Yang dimaksud dengan warga negara Indonesia adalah warga negara Indonesia yang
berada atau menetap baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Yang dimaksud dengan
mampu adalah mampu sesuai dengan ketentuan agama.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan amil zakat adalah pengeola zakat yang diorganisasikan dalam suatu
badan atau lembaga.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pemerintah adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pemerintah pusat membentuk badan amil zakat Nasional yang berkedudukan di ibu kota
negara. Pemerintah daerah membentuk badan amil zakat daerah yang berkedudukan di ibu
kota propinsi, kabupaten atau kota dan kecamatan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Badan amil zakat kecamatan dapat membentuk unit pengumpul zakat di desa atau di
kelurahan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan masyarakat ialah ulama, kaum cendekia dan tokoh masyarakat
setempat. Yang dimaksud dengan memenuhi persyaratan tertentu antara lain memiliki sifat
amanah, adil, berdedikasi, profesional, dan berintegritas tinggi.
Ayat (5)
Unsur pertimbangan dan unsur pengawas terdiri atas para ulama, kau cendekia, tokoh
masyarakat dan wakil pemerintah. Unsur pelaksana terdiri atas unit administrasi, unit
pengumpul, unit pendistribusi, dan unit lain sesuai dengan kebutuhan. Untuk meningkatkan
layanan kepada masyarakat, dapat dibentuk unit pengumpul zakat sesuai dengan kebutuhan
di instansi pemerintah dan swasta, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Pasal 7
Ayat (1)
Lembaga amil zakat adalah institusi pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk atas
prakarsa masyarakat dan oleh masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Agar tugas pokok lebih berhasil guna dan berdaya guna, badan amil zakat perlu melakukan
tugas lain, seperti penyuluhan dan pemantauan.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Zakat mal adalah baigan harta yang disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki
oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak
menerimanya. Zakat fitrah adalah sejumlah bahan makanan pokok yang dikeluarkan pada
bulan Ramadhan oleh setiap orang muslim bagi dirinya dan bagi orang yang ditanggungnya
yang memiliki kelebihan makanan untuk sehari pada hari raya Idul Fitri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Nishab adalah jumlah minimal harta kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya. Kadar
zakat adalah besarnya perhitungan atau presentase zakat yang harus dikeluarkan. Waktu
zakat dapat terdiri atas haul atau masa pemilikan harta kekayaan selama dua belas bulan
Qomariah, tahun Qomariah, panen atau pada saat menemukan tikaz.
Pasal 12
Ayat (1)
Dalam melaksanakan tugasnya, badan amil zakat harus bersifat proaktif melalui kegiatan
komunikasi, informasi dan edukasi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan bekerja sama dengan bank dalam pengumpulan zakat adalah
memberi kewenangan kepada bank berdasarkan persetujuan nasabah selaku muzakki untuk
memungut zakat harta simpanan muzakki yang kemudian diserahkan kepada badan amil
zakat.
Pasal 13
Dalam ketentuan yang dimaksud dengan :
infaq adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan di luar zakat untuk
kemaslahatan umum.
Shadaqah adalah harta yang dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh
orang muslim, di luar zakat untuk kemaslahatan umum.
Hibah adalah pemberian uang atau barang oleh seorang atau badan yang dilaksanakan pada
waktu orang itu hidup kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat.
Wasiat adalah pesan untuk memberikan suatu barang kepada badan ail zakat atau lembaga
amil zakat, pesan itu baru dilaksanakan sesudah pemberi wasiat meninggal dunia dan
sesudah diselesaikan penguburannya dan pelunasan utang-utangnya jika ada.
Waris adalah haarta tinggalan seorang yang beragama islam, yang diserahkan kepada badan
amil zakat atau lembaga amil zakat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Rafaat adalah dendda wajib yang dibayar kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat
oleh orang yang melanggar ketentuan agama.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pengurangan zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak dimaksudkan agar wajib pajak
tidak terkena beban ganda, yakni kewajiban membayar zakat dan pajak. Kesadaran
membayar zakat dapat memacu kesadaran membayar pajak.
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Mustahiq delapan ashnaf ialah fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, shabilillah, dan
ibnussabil yang di dalam aplikasinya dapat meliputi orang-orang yang paling tidak berdaya
secara ekonomi seperti anak yatim, orang jompo, penyandang cacat, orang yang menuntut
ilmu, pondok pesantren, anak terlantar, orang yang terlilit utang, pengungsi yang terlantar
dan korban bencana alam.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 17
Pendayagunaan infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris dan kafarat diutamakan untuk usaha
yang produktif agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pengadministrasian keuangannya dipisahkan dari pengadministrasian keuangan zakat.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Peran serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk :
a. memperoleh informasi tentang pengelolaan zakat yang dikelola oleh badan amil zakat
dan lembaga amil zakat;
b. menyampaikan saran dan pendapat kepada badan amil zakat dan lembaga amil zakat;
c. memberikan laporan atas terjadinya penyimpangan pengelolaan zakat.
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Selama ini ketentuan tentang pengelolaan zakat diatur dengan keputusan dan instruksi
menteri. Keputusan tersebut adalah keputusan bersama menteri dalam negeri Republik
Indonesia dan menteri agama Republik Indonesia Nomor 29 dan 47 Tahun 1991 tentang
Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan shadaqah diikuti dengan instruksi menteri agama
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1991 tentang Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat,
Infaq dan Shadaqah dan instruksi menteri dalam negeri Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1998 tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3885

>UU No 17 tentang haji

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 1999
TENTANG
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ES A
PRESIDEN REPUBIIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa negara Republik Indonesia menjamin kemerdekaan warga negaranya untuk beribadah menurut
agamanya masing-masing;
b. bahwa ibadah baji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam yang
mampu menunaikannya;
c. bahwa upaya penyempumaan sistem dan manajemen penyelenggaraan ibadah baji perlu terus ditingkatkan agar
pelaksanaan ibadah haji berjalan aman, tertib, dan lancar sesuai dengan tuntunan agama;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c perlu dibentuk Undang-undang
tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji;

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi
Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara;
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun
1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
4. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 33,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3474);
5. Undang-undang Non1or 14 Tahun 1992 tentang La1u Lintas dan Angkutan Ja1an (r..embaran Negara Tahun
1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3480);
6. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3481);
7. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pe1ayaran (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 98,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3493);
8. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
Dengan persetujuan

DEW AN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG P ENYELE NGGARAAN II IBADAH HAJI .
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
1. Warga negara adalah warga negara Republik Indonesia.
2. Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia.
3. Ibadah haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam yang mampu
menunaikannya.
4. Penyelenggaraan ibadah haji adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan
pelaksanaan ibadah haji.
5. Calon jemaah haji adalah warga Negara yang beragama Islam, memenuhi syarat, dan telah dan telah
mendaftarkan diri untuk menunaikan ibadah haji sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
6. Jemaah haji adalah jemaah yang sedang atau yang telah selesai menunaikan ibadah haji pada musim haji tahun
yang bersangkutan.
7. Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang selanjutnya disebut BPIH, adalah sejumlah dana yang harus dibayar
oleh calon jemaah haji untuk menunaikan ibadah haji.
8. Pembinaan ibadah haji adalah rangkaian kegiatan yang mencakup penerangan, penyuluhan, dan pembimbingan
tentang ibadah haji.
9. Pelayanan kesehatan adalah pemeriksaan, perawatan, dan pemeliharaan kesehatan calon jemaah haji dan jemaah
haji.
10. Paspor haji adalah paspor yang diberikan kepada calon jemaah haji dalam menunaikan ibadah haji.
11. Akomodasi adalah tempat penginapan atau pengasramaan sebagai penampungan sementara pada waktu jemaah
haji di tempat embarkasi dan/atau di tempat debarkasi dan pemondokan selama berada di Arab Saudi.
12. Transportasi adalah pengangkutan jemaah haji mulai dari tempat embarkasi, se1ama berada di Arab Saudi, dan
pemu1angan kembali ke tempat embarkasi asal di Indonesia.
13. Musim haji adalah jangka waktu tenentu yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan
ibadah haji.
14. Penyelenggara Ibadah Haji Khusus adalah penyelenggara ibadah haji dengan pelayanan khusus.
15. Ibadah umrah adalah umrah yang di1aksanakan di luar musim haji.
16. Dana Abadi Umat adalah sejunilah dana yang diperoleh dari hasil efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji
dan dari sumber lain.
17. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang agama.
Pasal 2
Setiap warga negara yang beragama Islam memptmyai hak untuk menunaikan ibadah haji.
Pasal 3
Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dengan menyediakan fasilitas,
kemudahan, keamanan, dan kenyamanan yang diperlukan oleh setiap warga negara yang menunaikan ibadah haji.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 4
Penyelenggaraan ibadah haji berdasarkan asas keadilan memperoleh kesempatan, perlindungan, dan kepastian
hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 5
Penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan yang sebaikbaiknya
melalui sistem dan manajemen penyelenggaraan yang baik agar pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan
dengan aman, tertib, lancar, dan nyaman sesuai dengan tuntunan agama serta jemaah haji dapat melaksanakan
ibadah secara mandiri sehingga diperoleh haji mabrur.

BAB III
PENGORGANISASIAN
Pasal 6
(1) Penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab Pemerintah di bawah
koordinasi Menteri.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan koordinasi dan/atau
bekerja sama dengan departemen/lembaga/instansi terkait dan Pemerintah Arab Saudi.
(3) Penyelenggara ibadah haji adalah Pemerintah dan/atau masyarakat.
(4) Persyaratan penye1enggara dan jenis kegiatan penye1enggaraan ibadah haji yang dapat di1aksanakan oleh
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan keputusan Menteri.
Pasal 7
Koordinasi penyeIenggaraan ibadah haji diIaksanakan :
a. di tingkat pusat oleh Menteri;
b. di tingkat daerah oleh gubernur/kepala daerah tingkat I untuk tingkat propinsi dan bupati/walikotamadya daerah
tingkat II untuk tingkat kabupaten/kotamadya;
c. di Arab Saudi oleh Kepala PerwakiIan Republik Indonesia.
Pasal 8
(1) Menteri dapat membentuk panitia penyelenggara ibadah haji di tingkat Pusat, di tingkat daerah, dan di Arab
Saudi sesuai dengan kebutuhan.
(2) Dalam rangka penye1enggaraan ibadah haji, Menteri menunjuk petugas operasional yang menyertai jemaah
haji, yang terdiri atas :
a. Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia, yang disingkat TPIHI;
b. Tim Kesehatan Haji Indonesia, yang disingkat TKHI;
c. Tim Pemandu Haji Indonesia yang disingkai TPHI.

BAB IV
BIAYA PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
Pasal 9
(1) Besarnya BPIH ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia.
(2) BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk keperluan penyelenggaraan ibadah haji .
(3) Pengadministrasian BPIH diatur dengan keputusan Menteri.
Pasal 10
(1) Pembayaran BPIH dilakukan kepada rekening Menteri melalui bank-bank pemerintah dan/atau bank swasta
yang ditunjuk oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan Gubernur Bank Indonesia.
(2) Penerimaan pembayaran BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di1akukan dengan memperhatikan
ketentuan kuota yang telah ditetapkan.
(3) Pengembalian BPIH diberikan kepada calon jemaah haji dalam ha1 :
a. meninggal dunia sebelum berangkat menunaikan ibadah haji;
b. batal keberangkatannya karena alasan kesehatan atau a1asan lain yang sah.
(4) Tata cara pengemba1ian dan jumlah BP1H yang dikembalikan diatur melalui keputusan Menteri.
Pasal 1l
(1) Dalam rangka pengelolaan Dana Abadi Umat sebagaimana dimaksud dalam Pasat 1 butir 16 secara lebih
berdaya guna dan berhasil guna untuk kemaslahatan umat, Pemerintah membentuk Badan Penge1ola Dana
Abadi Umat yang diketuai oleh Menteri.
(2) Badan Pengelola Dana Abadi Umat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas, Dewan Pengawas dan
Dewan Pelaksana. yang keanggotaannya ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri.
(3) Badan Pengelola Dana Abadi Umat mempunyai tugas pokok :
a. merencanakan. Mengorganisasikan, mengelola, dan memanfaatkan dana abadi umat;
b. menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya setiap tahun kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas Badan Pengelola Dana Abadi Umat ditetapkan oleh
Menteri.

BAB V
PENDAFTARAN
Pasal 12
(1) Setiap warga negara yang akan menunaikan ibadah haji diwajibkan untuk mendaftarkan diri kepada instansi
yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Tata cara dan persyaratan serta jangka waktu pendaftaran pada setiap musimhaji ditetapkan oleh Menteri
Pengaturan warga negara di luar negeri yang hendak menunaikan ibadah haji diatur lebih lanjut dengan
keputusan Menteri.
Pasal 14
(1) Dalam rangka pengaturan kuota nasional, Menteri menetapkan kuota untuk setiap propinsi dengan
memperhatikan prinsip keadilan dan proporsional.
(2) Gubemur/kepala daerah tingkat I se1aku koordinator menetapkan kuota untuk kabupaten/kotamadya.
(3) Dalam hal kuota nasiona1 tidak terpenuhi pada hari penutupan pendaftaran, Menteri dapat memperpanjang
masa pendaftaran dengan menggunakan kuota bebas secara nasiona1.
Pasal 15
(1) Menteri berkewajiban menetapkan po1a dan tata cara pembinaan ca1on jemaah haji dan jemaah haji.
(2) Menteri berkewajiban menerbitkan pedoman manasik dan panduan perja1anan ibadah haji.
(3) Pembinaan di1akukan demi keselamatan, ke1ancaran, ketertiban, dan kesejahteraan jemaah haji serta demi
kesempurnaan ibadah haji tanpa memungut biaya tambahan di luar BPIH yang te1ah ditetapkan.

BAB VI
KESEHATAN
Pasal 16
(1) Pembinaan dan pelayanan kesehatan haji, baik pada saat persiapan maupun pe1aksanaan penyelenggaraan
ibadah haji, di1akukan oleh Menteri yang mang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang
kesehatan.
(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri yang ruang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kesehatan.
BAB VIII
KEIMIGRAS IAN
Pasal 17
(1) Setiap warga negara yang akan menunaikan ibadah haji menggunakan paspor haji yang dikeluarkan oleh
Menteri.
(2) Menteri dapat menunjuk pejabat untuk dan/atau atas namanya menandatangani paspor haji.
BAB IX
TRANSPORTASI
Pasal 18
Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perhubungan mengkoordinasikan dan
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan penyelenggaraan transportasi jemaah haji yang meliputi pemberangkatan
dari tempat embarkasi ke Arab Saudi dan pemulangan ke tempat embarkasi asal di Indonesia.
Pasal 19
Pelaksanaan transportasi jemaah haji di Arab Saudi di bawah koordinasi dan tanggung jawab Menteri.
Pasal 20
Penunjukan pelaksana transportasi jemaah haji dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan keselamatan,
efisiensi, dan kenyananan.
BAB X
BARANG BAWAAN
Pasal 21
(1) Jemaah haji dapat membawa barang bawaan ke luar negeri dan/atau dari luar negeri sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
(2) Pemeriksaan atas barang bawaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri yang ruang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang keuangan.
BAB XI
AKOMODASI
Pasal 22
(1) Menteri berkewajiban menyediakan akomodasi bagi jemaah haji tanpa biaya tambahan di luar BPIH.
(2) Pengadaan akomodasi bagi jemaah haji dilakukan dengan memperhatikan syarat.syarat kesehatan, kenyaman,
kemudahan, dan keamanan jemaah haji beserta barang bawaannya.
BAB XII
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI KHUSUS
Pasal 23
(1) Dalam upaya meningkatkan penyelenggaraan ibadah haji bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan
khusus, dapat diselenggarakan pelayanan ibadah haji khusus.
(2) Penyelenggara Ibadah Haji Khusus ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 24
(1) Penyelenggara Ibadah Haji Khusus wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. hanya menerima pendaftaran dan melayani calon jemaah haji yang menggunakan paspor haji;
b. menyediakan petugas pembimbing ibadah dan kesehatan;
c. melapor kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi pada saat datang di Arab Saudi dan pada
saat akan kembali ke Indonesia;
d. memberangkatkan dan memulangkan jemaahnya sesuai dengan ketentuan penyelenggaraan ibadah haji
khusus dan perjanjian yang disepakati kedua belah pihak meliputi hak dan kewajiban masing-masing.
(2) Ketentuan tentang penyelenggaraan ibadah haji khusus diatur lebih lanjut dengan keputusan Menteri.
(3) Penyelenggara Ibadah Haji Khusus yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan;
b. pencabutan izin penyelenggara;
c. pencabutan izin usaha.
BAB XIII
PENYELENGGARAAN PER.JALANAN IBADAH UMRAH
Pasal 25
(1) Perjalanan ibadah umrah dapat dilakukan secara perseorangan atau rombongan.
(2) Perjalanan ibadah umrah dapat :
a. diurus sendiri; atau
b. diuruskan oleh penyelenggara perja1anan ibadah umrah.
(3) Penyelenggara perjalanan ibadah umrah ada1ah masyarakat dan ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 26
(1) Penyelenggara perja1anan ibadah umrah wajib:
a. menyediakan petugas pembimbing ibadah dan kesehatan;
b. melapor kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi pada saat datang di Arab Saudidan pada saat
akan kembali ke Indonesia;
c. memberangkatkan dan memulangkan jemaahnya sesuai dengan ketentuan perja1anan ibadah umrah dan
perjanjian yang disepakati kedua belah pihak meliputi hak dan kewajiban masing-masing.
(2) Ketentuan tentang penyelenggaraan perja1anan ibadah umrah diatur lebih lanjut dengan keputusan Menteri.
(3) Penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat djkenai sanksi administratif berupa :
a. peringatan;
b. pencabutan izin penyeltnggara;
c. pencabutan izin usaha.
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA.
Pasal 27
(1) Barangsiapa yang dengan sengaja bertindak sebagai penerima pembayaran BPIH sebagaimana dimaksud dalam
Pasa1 10 ayat (1) dan/atau bertindak sebagai penerima pendaftaran ca1on haji sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1), padaha1 dia tidak berhak untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Barangsiapa yang dengan sengaja bertindak sebagai penyelenggara perjalanan ibadah umrah dengan
mengumpulkan dan/atau memberangkatkan jemaah sebagaimana dimaksud dalam Pasa1 25 ayat (3), padahal
dia tidak berhak untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda pa1ing
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 28
(1) Penye1enggara ibadah haji khusus yang tidak me1aksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasa1 24
ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
(2) Penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud da1am
Pasa1 26 ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 29
(1) Hal-ha1 yang belum diatur dalam undang-undang ini akan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan
1ainnya.
(2) Dengan berlakunya undang-undang ini, segala ketentuan mengenai penyelenggaraan ibadah haji dan
penye1enggaraan perjalanan ibadah umrah yang bertentangan dengan undang-undang ini dinyatakan tidak
berlaku.
(3) Pada saat mu1ai berlakunya undang-undang ini, Ordonansi Haji (Pelgrims Ordonnantie Staatsblaad Tahun
1922 Nomor 698) termasuk segala perubahan dan tambahannya dinyatakan tidak berlaku.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
Undang-undang ini mu1ai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal. 3 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
AKBAR TANDJUNG
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 53
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 1999
TENTANG
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
I. UMUM
Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam yang memenuhi kriteria istitha
' ah, antara lain mampu secara materi, fisik, dan mental. Bagi bangsa Indonesia, penyelenggaraan ibadah haji
merupakan tugas nasional karena di samping menyangkut kesejahteraan lahir-batin jemaah haji, juga menyangkut
nama baik dan martabat bangsa Indonesia di luar negeri, khususnya di Arab Saudi. Mengingat pelaksanaannya
bersifat massal dan berlangsung dalam jangka waktu yang terbatas, penyelenggaraan ibadah haji memerlukan
manajemen yang baik agar tertib, aman, dan lancar.
Peningkatan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan terhadap jemaah haji diupayakan melalui penyempurnaan
sistem dan manajemen penyelenggaraan ibadah haji. Penyempurnaan sistem dan manajemen tersebut dimaksudkan
agar calon jemaah haji/jemaah haji lebih siap dan mandiri dalam menunaikan ibadah haji sesuai dengan tuntunan
agama sehingga diperoleh haji mabrur. Upaya peningkatan dan penyempurnaan tersebut dilaksanakan dari tahun ke
tahun agar tidak terulang kembali kesalahan dan/atau kekurangan yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Untuk tercapainya maksud tersebut, diperlukan suasana yang kondusif bagi warga negara yang akan melaksanakan
ibadah haji. Suasana kondusif tersebut dapat dicapai apabila pihak penyelenggara ibadah haji mampu memberikan
pembinaan, pelayanan, dan perlindungan kepada calon jemaah haji dan jemaah haji. Pembinaan meliputi
pembimbingan, penyuluhan, dan penerangan; pelayanan meliputi pelayanan administrasi, transportasi, kesehatan,
dan akomodasi; perlindungan meliputi perlindungan keselamatan dan keamanan, perlindungan memperoleh
kesempatan untuk menunaikan ibadah haji, serta penetapan BPIH yang terjangkau oleh calon jemaah haji.
Sehubungan dengan itu, penyelenggara ibadah haji berkewajiban melaksanakan pembinaan, pelayanan, dan
perlindungan secara baik dengan menyediakan fasilitas dan kemudahan yang diperlukan calon jemaah haji/jemaah
haji.
Mengingat penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional dan menyangkut martabat serta nama baik
bangsa, kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji merupakan tanggung jawab Pemerintah.
Keikutsertaan masyarakat da1am penyelenggaraan ibadah haji merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistan
dan manajemen penyelenggaraan ibadah haji.
Berkaitan erat dengan penyelenggaraan ibadah haji adalah penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah. Mengingat
minat masyarakat untuk menunaikan ibadah umrah cukup besar serta da1am rangka untuk memberikan pembinaan,
pelayanan, dan perlindungan kepada calon jemaah umrah dan/atau jemaah umrah, maka undang-undang ini juga
mengatur penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah.
Selama ini peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan ibadah haji sebagaimana tercantum dalam
Pelgrims Ordonnantie 1922 termasuk perubahan serta tambahannya dan Pelgrims Verordening tahun 1938, dan
berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelenggaraan ibadah haji dan penyelenggaraan
perjalanan ibadah umrah, antara lain :
1. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1960 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji;
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 1964 tentang Penye1enggaraan Urusan Haji secara
Interdepartemental;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1969 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji oleh
Pemerintah;
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 1981 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 1983 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah
Umrah;
6. Keputusan PresidenRepublikIndonesia Nomor 62 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah
Umrah;
sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, untuk
menjamin kualitas pembinaan, pelayanan, dan perlindungan yang merupakan kebutuhan mendasar dalam
penyelenggaraan ibadah haji dan peraturan perundang-undangan yang berlaku selama ini perlu disesuaikan dan
ditingkatkan menjadi undang-undang. Dengan demikian, Undang-undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
sudah saatnya untuk diwujudkan.
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Pe1aksanaan hak untuk menunaikan ibadah haji didasarkan pada prinsip keadilan dan pemerataan yang diatur lebih
lanjut dengan keputusan Menteri.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pemerintah dapat membentuk Badan Penyelenggara lbadah Haji sesuai dengan kebutuhan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasa1 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)" .
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Penunjukan Tim Kesehatan Haji Indonesia dilakukan oleh Menteri atas usul menteri yang ruang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya meliputi bidang kesehatan.
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dilaksanakan setiap tahun oleh komisi di dalam DPR-RI
yang membidangi agama.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Menteri pada rekening Menteri adalah menteri sebagai lembaga, yang dalam
pelaksanaannya Menteri dapat menunjuk pejabat di lingkungan tugas dan wewenangnya bertindak untuk dan/atau
atas namanya.
Pertimbangan oleh Gubemur Bank Indonesia dimaksudkan dalam rangka memberikan jaminan keamanan BPIH
yang disetorkan oleh calon jemaah haji pada bank-bank pemerintah dan/atau bank swasta nasional yang ditunjuk
sehingga dapat memberikan kepastian keberangkatan bagi calon jemaah haji.
Ayat (2)
Yang dimaksud kuota adalah kuota nasional yang merupakan batas rnaksimal jumlah jemaah haji Indonesia pada
tahun yang bersangkutan.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan meninggal dunia sebelum berangkat menunaikan ibadah haji adalah meninggal dunia
sebelum bertolak dari tempat embarkasi menuju Arab Saudi.
Huruf b
Apabila daJam pemeriksaan kesehatan yang dilakukan pada saat akan berangkat temyata calon jemaah haji
menderita suatu penyakit yang diperkirakan dapat mengganggu pelaksanaan ibadah haji atau sedang dalam keadaan
hamil, batal keberangkatannya.
Yang dimaksud dengan batal karena alasan lain yang sah di antaranya karena mengundurkan diri memberikan
identitas palsu, dan/atau dicekal.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengelolaan Dana Abadi Umat secara lebih berdaya guna dan berhasil guna untuk
kemaslahatan umat adalah segala sesuatu yang dapat menunjang kemajuan dan/atau kesejahteraan umat, antara lain
di bidang pendidikan dan dakwah, kesehatan, sosial, ekonomi, pembangunan sarana dan prasarana ibadah, serta
penyelenggaraan ibadah haji.
Ayat (2)
Susunan keanggotaan Badan Pengelola Dana Abadi Umat terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat.
Susunan keanggotaan Dewan Pengawas terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah.
Susunan keanggotaan Dewan Pelaksana terdiri atas unsur pemerintah.
Menteri perlu mendengarkan pertimbangan lembaga atau organisasi Is1am dalam mengusulkan susunan
keanggotaan Badan Pengelola Dana Abadi Umat.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada ayat ini adalah komisi di dalam DPRRI
yang membidangi agama.
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kuota nasional adalah jum1ah maksimal warga negara yang dapat mendaftarkan diri untuk
menunaikan ibadah haji pada tahun yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan kuota propinsi adalah jumlah maksimal penduduk pada suatu propinsi yang dapat
mendaftarkan diri untuk menunaikan ibadah haji pada tahun yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan prinsip keadilan dan proporsional dalam menetapkan kuota propinsi adalah prinsip
penetapan kuota oleh Menteri dengan memperhatikan jum1ah pendaftar pada tahun- tahun sebelumnya dan jumlah
penduduk pada setiap propinsi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kuota kabupaten/kotamadya adalah jumlah maksimal penduduk pada suatu
kabupaten/kotamadya yang dapat mendaftarkan diri untuk menunaikan ibadah haji pada tahun yang bersangkutan.
Dalam menetapkan kuota kabupaten/kotamadya, gubernur/kepala daerah tingkat 1 memperhatikan prinsip keadilan
dan proporsional, yaitu memperhatikan jum1ah pendaftar pada tahun-tahun sebelumnya dan jumlah penduduk pada
setiap kabupaten/kotamadya.
Ayat (3)
Yang dimaksud pendaftaran dengan menggunakan kuota bebas secara nasional adalah pendaftaran yang tidak terikat
lagi pada ketentuan kuota propinsi dan/atau kabupaten/kotamadya dalam hal kuota nasional belum terpenuhi.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Paspor haji merupakan dokumen resmi negara yang dikeluarkan oleh Menteri bagi warga negara yang berada di
wilayah Indonesia dan berlaku untuk menunaikan ibadah haji.
Penggunaan paspor selain paspor haji dimungkinkan bagi warga negara yang akan menunaikan ibadah haji dan
penggunaan paspor tersebut selanjutnya diatur oleh Menteri dengan tetap memperhatikan kuota nasiona1.
Warga negara Indonesia yang menetap di luar negeri dalam menunaikan ibadah haji menggunakan paspor selain
paspor haji.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasa1 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tanpa biaya tambahan di luar BPIH adalah tanpa biaya tambahan yang dikenakan kepada
jemaah haji untuk akomodasi karena biaya tersebut sudah termasuk di dalam perhitungan komponen BPIH.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Laporan itu dimaksudkan agar Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi dapat mengetahui dan mengawasi
penyelenggara perjalanan ibadah umrah sehingga jemaah umrah terlindungi dari tindakan penyelenggara perjalanan
umrah yang tidak bertanggung jawab.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penyelenggara ibadah haji khusus adalah penanggung jawab; pengurus dan/atau pemilik
penyelenggara ibadah haji khusus.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penyelenggara perjalanan ibadah umrah adalah pengurus dan/atau pemilik penyelenggara
perjalanan ibadah umrah .
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3832

Sabtu, 09 April 2011

Pembagian Waris Menurut Islam

Pembagian Waris Menurut Islam

> ILMU WARIS (FARAIDH)


Pentingnya ilmu Faraidh

Ilmu Faraidh termasuk ilmu yang paling mulia tingkat bahayanya, paling tinggi kedudukannya, paling besar ganjarannya, oleh karena
pentingnya, bahkan sampai Allah sendiri yang menentukan takarannya, Dia terangkan jatah harta warisan yang didapat oleh setiap ahli waris, dijabarkan kebanyakannya dalam beberapa ayat yang jelas, karena harta dan pembagiannya merupakan sumber ketamakan bagi manusia, sebagian besar dari harta warisan adalah untuk pria dan wanita, besar dan kecil, mereka yang lemah dan kuat, sehingga tidak terdapat padanya kesempatan untuk berpendapat atau berbicara dengan hawa nafsu.
Oleh sebab itu Allah-lah yang langsung mengatur sendiri pembagian serta rincianya dalam Kitab-Nya, meratakannya diantara para ahli waris sesuai dengan keadilan serta maslahat yang Dia ketahui.
- Manusia memiliki dua keadaan: keadaan hidup dan keadaan mati, kebanyakan hukum yang ada dalam ilmu Faraidh berhubungan dengan mati, maka Faraidh bisa dikatakan setengah dari ilmu yang ada, seluruh orang pasti butuh kepadanya.
- Pada zaman Jahiliyyah dahulu, mereka hanya membagikan harta untuk orang-orang dewasa tanpa memberi kepada anak-anak, kepada laki-laki saja tidak kepada wanita, sedangkan Jahiliyyah pada zaman ini memberikan jatah kepada para wanita apa-apa yang bukan hak mereka dari kedudukan, pekerjaan maupun harta, sehingga bertambahlah kerusakan, sedangkan Islam telah berbuat adil kepada wanita dan memuliakannya, memberikan hak yang sesuai untuk mereka seperti pemberian kepada lainnya.
- Ilmu Faraidh : Ilmu yang diketahui dengannya siapa yang berhak mendapat waris dan siapa yang tidak berhak, dan juga berapa ukuran untuk setiap ahli waris.
- Pembahasannya : Seluruh peninggalan, yaitu apa yang ditinggalkan oleh Mayit baik itu berupa harta ataupun lainnya.
- Hasilnya : Penyampaian seluruh hak kepada mereka yang berhak menerimanya diantara ahli waris.
- Faridhah : adalah jatah tertentu sesuai syari'at bagi setiap ahli waris, seperti : sepertiga, seperempat dan lainnya.
- Hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan ada lima, dilaksanakan berurutan jika semua itu ada, sebagaimana dibawah ini :
1- Dikeluarkan dari harta waris untuk penyelesaian kebutuhan mayit, seperti kain kafan dan lainnya.
2- kemudian hak-hak yang berhubungan dengan barang yang ditinggalkan, seperti hutang dengan sebuah jaminan barang dan semisalnya.
3- Kemudian pelunasan hutang, baik itu yang berhubungan dengan Allah seperti zakat, kafarat dan semisalnya, ataupun yang berhubungan dengan manusia.
4- Kemudian pelaksanakan wasiat.
5- kemudian pembagian waris –dan inilah yang dimaksud dalam ilmu ini-
- Rukun waris ada tiga :
1- Al-Muwarrits, yaitu mayit.
2- Al-Warits, yaitu dia yang masih hidup setelah meninggalnya Al-Muwarrits.
3- Alhaqqul Mauruts, yaitu harta peninggalan
- Penyebab waris ada tiga :
1- Nikah dengan akad yang benar, hanya dengan akad nikah maka suami bisa mendapat harta warisan istrinya dan istripun bisa mendapat jatah dari suaminya.
2- Nasab (keturunan), yaitu kerabat dari arah atas seperti kedua orang tua, keturunan seperti anak, ke arah samping seperti saudara, paman serta anak-anak mereka.
3- Perwalian, yaitu ashobah yang disebabkan kebaikan seseorang terhadap budaknya dengan menjadikannya merdeka, maka dia berhak untuk mendapatkan waris jika tidak ada ashobah dari keturunannya atau tidak adanya ashab furudh.
Penghalang waris ada tiga :
1- Perbudakan : Seorang budak tidak bisa mewarisi dan tidak pula mendapat waris, karena dia milik tuannya.
2- Membunuh tanpa dasar : Pembunuh tidak berhak untuk mendapat waris dari orang yang dibunuhnya.
3- Perbedaan agama : seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafirpun tidak mewarisi Muslim.
Dari Usamah bin Zaid r.a bahwa Nabi SAW bersabda :
" لا يرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم " متفق عليه
"Orang Muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafirpun tidak mewarisi orang Muslim" Muttafaq alaihi[1].
- Seorang istri yang di ceraikan dengan talak ruju' masih tetap mendapatkan jatah waris antara dia dengan suaminya selama masih dalam iddahnya.
- Seorang istri jika di cerai suaminya dengan talak bain, jika suaminya dalam keadaan sehat maka tidak ada perwarisan diantara keduanya, sedangkan jika dalam keadaan sakit parah dan tidak ada sangkaan kalau dia menceraikan dengan tujuan agar istrinya tidak mendapat waris, maka dalam keadaan seperti inipun istrinya tidak berhak untuk mendapat waris, akan tetapi jika diperkirakan kalau dia menceraikannya dengan tujuan agar istrinya tidak mendapat waris maka sesungguhnya dia berhak untuk mendapatkannya.
- Macam-macam waris :
1- Waris dengan fard : yaitu jika seorang ahli waris mendapat jatah tertentu, seperti: setengah, seperempat (ataupun lainnya).
2- Waris dengan Ta'shib: yaitu seorang ahli waris yang mendapat jatah yang tidak terbatasi.
Furudh yang terdapat dalam Al-Qur'an ada enam: Setengah, Seperempat, Seperdelapan, Dua pertiga, Sepertiga, Seperenam, adapun sepertiga dari sisa ditetapkan oleh ijtihad.
Secara rinci Laki-laki yang berhak mendapat waris ada lima belas, mereka adalah:
Putra serta putranya (cucu) dan seterusnya dari keturunan laki-laki, ayah serta kakek dan seterusnya dari orang tua laki-laki, saudara kandung, saudara satu ayah, saudara satu ibu, putra saudara kandung serta putra saudara satu ayah dan seterusnya dari keturunan laki-laki mereka, suami, paman kandung dan keatasnya, paman satu ayah dan keatasnya, putra paman kandung serta putra paman satu ayah dan keturunan mereka yang laki-laki, orang yang memerdekakan dan asobahnya.
Laki-laki selain dari mereka termasuk Dzawil Arham, seperti: saudara-saudara ibu (paman dari ibu), putra saudara satu ibu, paman satu ibu, putra paman satu ibu dan lainnya.
Secara rinci wanita yang berhak mendapat waris ada sebelas, mereka adalah:
Putri, putri dari anak laki (cucu) dan keturunannya selama ayahnya dari anak laki, ibu, nenek dari ibu dan keatasnya dari ibu mereka, nenek (ibunya ayah) dan keatasnya dari ibu mereka, neneknya ayah, saudari kandung, saudari satu ayah, saudari satu ibu, istri dan wanita yang memerdekakan budak.
Wanita selain dari mereka termasuk dari Dzawil Arham, seperti para saudari ibu (bibi) dan lainnya.
Allah berfirman:
] للرجال نصيب مما ترك الوالدان والأقربون وللنساء نصيب مما ترك الوالدان والأقربون مما قلّ منه أو كثر نصيبًا مفروضا [
"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan" (An-Nisaa: 7)








1- ASHAB FURUDH

- Waris ada dua macam: Fardhu dan Ta'shib, para ahli waris menurut keduanya terbagi menjadi empat bagian:
1- Dia yang hanya mendapat waris dengan fardhu saja, mereka ada tujuh: ibu, saudara satu ibu, saudari satu ibu, nenek dari fihak ibu, nenek dari fihak ayah, suami dan istri.
2- Dia yang hanya mendapat waris dengan ta'shib saja, mereka ada dua belas: putra, cucu laki dari putra dan keturunannya, saudara kandung, saudara satu ayah, putra saudara kandung serta putra saudara satu ayah dan keturunannya, paman kandung serta paman satu ayah dan ayah mereka, putra paman kandung serta putra paman satu ayah dan keturunannya, laki-laki yang memerdekakan dan wanita yang memerdekakan.
3- Dia yang terkadang mendapat waris dengan fardhu, terkadang dengan ta'shib dan terkadang dari kedua-duanya, mereka ada dua: ayah dan kakek, satu dari keduanya mendapat jatah fardhu seperenam jika mayit memiliki keturunan, dan menjadi ta'shib sendirian jika mayit tidak memiliki keturunan, serta menjadi fardhu dan ta'shib jika hanya terdapat keturunan mayit yang wanita, itupun jika tersisa setelah ashabul furudh lebih dari seperenam, contoh: seseorang meninggal dengan meninggalkan (satu putri, ibu dan ayah), maka permasalahannya dari enam: untuk putri setengah, ibu seperenam, dan sisanya dua untuk ayah sebagai fardhu dan ta'shib.
4- Dia yang terkadang mendapat waris dengan fardhu, terkadang dengan ta'shib dan tidak berkumpul pada keduanya, mereka ada empat: satu orang putri atau lebih, putri anak laki (cucu) satu orang atau lebih dan yang dibawahnya dari anak laki, saudari kandung satu orang atau lebih, dan saudari satu ayah satu orang atau lebih, mereka mendapat waris dengan fardhu ketika tidak ada yang menjadikan mereka ashobah, yaitu saudara laki-laki mereka, jika ada saudara laki-laki maka mereka akan menjadi ashobah, seperti putra dengan putri, saudara dengan saudari, maka para putri serta saudari menjadi ashobah.
- Ashabul furudh ada sebelas orang, mereka: suami, istri satu orang atau lebih, ibu, ayah, kakek, nenek satu orang atau lebih, anak perempuan, putri anak laki (cucu wanita dari anak laki), saudari kandung, saudari satu ayah, saudara satu ibu baik laki maupun wanita, pembagian waris mereka seperti berikut ini:

1- Bagian Waris Suami
1- Suami mendapat jatah waris setengah dari peninggalan istrinya jika si istri tidak memiliki keturunan, yang dimaksud keturunannya adalah: "anak-anaknya, baik itu putra maupun putri, cucu dari putranya sampai kebawah" adapun cucu dari putri mereka termasuk dari keturunan yang tidak mendapat waris.
2- Suami mendapat jatah waris seperempat dari istrinya jika si istri memiliki keturunan, baik itu keturunan darinya ataupun dari suami lain.
Allah berfirman:
] ولكم نصف ما ترك أزواجكم إن لم يكن لهن ولد فإن كان لهن ولد فلكم الربع مما تركن من بعد وصية يوصين بها أو دين .. [
"Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.." (QS. An-Nisaa: 12).

2- Bagian Waris Istri
1- Seorang istri mendapat seperempat dari peninggalan suaminya jika si suami tidak memiliki keturunan.
2- Istri mendapat waris seperdelapan dari suami jika dia (suami) memiliki keturunan, baik itu darinya ataupun dari istrinya yang lain.
- berkumpul beberapa orang istri dalam seperempat atau seperdelapan jika mereka lebih dari satu orang. Allah berfirman:
] ولهن الربع مما تركتم إن لم يكن لكم ولد فإن كان لكم ولد فلهن الثمن مما تركتم من بعد وصية توصون بها أو دين .. [
"Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.." (QS. An-Nisaa: 12).

3- Bagian Waris Ibu
1- Ibu mendapat sepertiga peninggalan dengan tiga syarat: Mayit tidak memiliki keturunan, tidak adanya sejumlah saudara, baik laki-laki maupun wanita, serta permasalahannya tidak termasuk dari Umariyatain (permasalahan dua Umar).
2- Ibu mendapat jatah seperenam: jika mayit memiliki keturunan, atau adanya sejumlah saudara, baik laki-laki maupun wanita.
3- Ibu mendapat jatah sepertiga dari sisa harta dalam permasalahan Umariyatain, dan disebut pula permasalahan Ghorowiatain, kedua permasalahan tersebut adalah:
1- Istri, ibu dan ayah: permasalahannya dari empat: untuk istri seperempat yaitu satu, untuk ibu sepertiga dari sisa harta yaitu satu, dan sisanya yang dua untuk ayah.
2- Suami, ibu dan ayah: permasalahan dari enam: untuk suami setengah, yaitu tiga, untuk ibu sepertiga dari sisa yaitu satu dan sisanya yang dua lagi untuk ayah.
- Ibu diberi bagian sepertiga dari sisa harta; agar apa yang dia dapat tidak melebihi bagian ayah, padahal keduanya satu derajat bagi si mayit, agar bagian laki-laki menjadi dua kali lebih banyak dari wanita.
Allah berfirman:
] ... ولأبويه لكل واحد منهما السدس مما ترك إن كان له ولد فإن لم يكن له ولد وورثه أبواه فلأمه الثلث فإن كان له إخوة فلأمه السدس من بعد وصية يوصي بها أو دين .. [
"… Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.." (QS.An-Nisaa: 11).

4- Bagian Waris Ayah
1- Ayah mendapat waris seperenam secara fardhu dengan syarat adanya keturunan laki-laki bagi si mayit, seperti putra ataupun cucu dari putranya.
2- Ayah mendapat waris sebagai ashobah jika si mayit tidak memiliki keturunan.
3- Ayah mendapat waris dengan fardhu dan ta'shib sekaligus jika terdapat keturunan mayit yang wanita, seperti: putrinya atau putri dari putranya (cucu), dalam keadaan ini ayah berhak mendapat seperenam sebagai fardhu dan juga mendapatkan sisa harta sebagai ashobah.
- Saudara-saudara kandung atau satu ayah ataupun satu ibu, seluruhnya jatuh (tidak mendapat waris) dengan keberadaan ayah atau kakek.

5- Bagian Waris Kakek
- Kakek yang berhak untuk mendapat waris adalah dia yang tidak terdapat diantara dirinya dengan mayit seorang wanita, seperti ayahnya ayah, besarnya apa yang dia dapat sama seperti ayah kecuali dalam permasalahan Umariatain (dua Umar), sesungguhnya ibu dalam kedua permasalahan ini akan mendapatkan sepertiga harta walaupun ada kakek, sedangkan ketika bersama ayah, ibu akan menerima sepertiga dari sisa setelah diambil oleh jatah suami atau istri, sebagaimana yang telah lalu.
1- Kakek akan mendapat waris seperenam secara fardhu dengan dua syarat: adanya keturunan mayit, tidak adanya ayah.
2- Kakek akan mewarisi sebagai ashobah jika mayit tidak memiliki keturunan, tidak ada ayah.
3- Kakek akan mewarisi dengan fardhu dan ta'shib bersamaan ketika ada keturunan mayit yang wanita, seperti putri dan putrinya putra (cucu).

6- Bagian Waris Nenek
- Nenek yang berhak untuk mendapat waris: adalah ibunya ibu, ibunya ayah, ibunya kakek dan begitulah seterusnya dengan asal wanita, dua orang dari arah ayah dan satu dari arah ibu.
- Secara mutlak tidak ada jatah waris untuk seluruh nenek jika ada ibu, sebagaimana pula tidak ada waris secara mutlak untuk kakek ketika ada ayah.
- Waris yang didapat oleh satu orang nenek ataupun lebih adalah seperenam (mutlak) dengan syarat tidak ada ibu.

7- Bagian Waris anak-anak putri
1- Satu orang putri ataupun lebih akan mendapat waris dengan ta'shib jika ada bersama mereka saudara laki-laki, dengan hitungan untuk laki-laki seperti jatah dua orang wanita.
2- Seorang putri mendapat waris setengah harta dengan syarat tidak adanya muasshib baginya, yaitu saudara laki-lakinya, tidak ada yang menyertainya, yaitu saudarinya yang lain.
3- Dua orang putri ataupun lebih berhak mendapat waris dua pertiga dengan syarat jumlah mereka dua orang atau lebih, tidak ada muasshib bagi mereka, yaitu saudara laki-laki mereka.
- Allah berfirman:
يوصيكم الله في أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين فإن كن نساء فوق اثنتين فلهن ثلثا ما ترك وإن كانت واحدة فلها النصف..
"Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta.. " (An-Nisaa: 11)

8- Bagian Waris Cucu (Cucu Dari Anak Laki-Laki)
1- Seorang cucu perempuan dari anak laki ataupun lebih dari satu akan mendapat waris sebagai ta'shib jika ada bersamanya saudara laki-laki mereka yang sederajat dengannya, yaitu putranya putra (cucu laki).
2- Binti Ibn mendapat waris setengah harta dengan syarat tidak ada muasshibnya, yaitu saudara laki-lakinya, tidak ada yang menyertainya, yaitu saudarinya yang lain, tidak ada keturunan mayit yang lebih tinggi derajatnya, seperti putra ataupun putri mayit.
3- Dua orang binti ibn ataupun lebih akan mendapat waris dua pertiga dengan syarat jumlah mereka dua orang atau lebih, tidak adanya muasshib mereka, yaitu saudara laki-laki mereka, tidak adanya keturunan yang derajatnya lebih tinggi dari mereka.
4- Satu orang atau lebih dari binti ibn mendapat waris seperenam dengan syarat tidak adanya muasshib mereka, yaitu saudara laki-laki mereka, tidak ada keturunan mayit yang lebih tinggi derajat darinya kecuali satu orang putri yang berhak mendapat setengah harta peninggalan, karena mereka tidak akan mengambil seperenam kecuali dengan keberadaannya, begitu pula hukumnya dengan putrinya cucu bersama cucu perempuan dari anak laki, dst.

9- Bagian Waris Saudari Kandung
1- Seorang saudari kandung mendapat waris setengah dari harta dengan syarat tidak ada yang menyertainya dari saudari lainnya, tidak ada muasshib, yaitu saudaranya, tidak ada asli waris, yaitu ayah atau kakek si mayit, tidak ada keturunan.
2- Beberapa saudari kandung mendapat bagian dua pertiga dengan syarat jumlah mereka dua orang atau lebih, mayit tidak memiliki keturunan, tidak ada asal waris yang pria, tidak ada muasshib mereka, yaitu saudara mereka.
3- Seorang saudari kandung ataupun lebih akan menjadi ashobah jika ada bersama mereka muasshibnya, yaitu saudara laki, dengan pembagian untuk laki-laki sama dengan dua bagian wanita, atau ketika mereka bersama keturunan mayit yang wanita seperti putri mayit.
Allah berfirman:
] يستفتونك قل الله يفتيكم في الكلالة إن امرؤ هلك ليس له ولد وله أخت فلها نصف ما ترك وهو يرثها إن لم يكن لها ولد فإن كانتا اثنتين فلهما الثلثان مما ترك .. [
"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.." (An-Nisaa: 176)

10- Bagian Waris Saudari se-Ayah
1- Saudari satu ayah mendapat bagian setengah harta dengan syarat tidak ada yang menyertainya dari saudari selainnya, tidak ada muasshib, yaitu saudara laki-lakinya, tidak ada asal waris dari laki-laki, tidak ada keturunan mayit, tidak ada saudara kandung, baik laki-laki maupun wanita.
2- Saudari satu ayah berhak mendapat dua pertiga bagian dengan syarat jumlah mereka dua orang atau lebih, tidak ada muasshib, yaitu saudara laki-laki mereka, tidak ada asli waris laki, tidak ada keturunan, tidak ada saudara kandung, baik laki-laki maupun wanita.
3- Seorang saudari satu ayah atau lebih akan mendapat bagian seperenam dengan syarat adanya seorang saudari kandung mayit yang mendapat bagian setengah dengan fardhu, tidak ada muasshib baginya, tidak ada keturunan mayit, tidak ada asli waris laki-laki, tidak ada saudara kandung, baik itu satu orang ataupun lebih.
4- Seorang saudari satu ayah ataupun lebih akan mendapat waris sebagai ta'shib jika ada bersama mereka muasshibnya, yaitu saudara laki-laki mereka, maka pembagiannya untuk satu orang laki-laki sama dengan dua orang wanita, atau mungkin juga jika mereka ada bersama keturunan mayit yang wanita, seperti putri mayit.

11- Bagian Waris Saudara Se-Ibu
- Saudara satu ibu tidak dibedakan antara laki-laki dan wanitanya, laki-laki mereka tidak menta'shibkan wanitanya, bahkan mereka mendapat bagian dengan merata (sama).
1- Saudara satu ibu, baik laki-laki maupun wanita mendapat bagian seperenam dengan syarat si mayit tidak memiliki keturunan, tidak ada asli waris yang laki-laki, dia hanya satu orang.
2- Saudara satu ibu, baik itu laki-laki ataupun wanita mendapat bagian sepertiga dengan syarat jumlah mereka lebih dari satu orang, mayit tidak memiliki keturunan, tidak ada asli waris yang laki-laki. Allah berfirman:
] وإن كان رجل يورث كلالة أو امرأة وله أخ أو أخت فلكل واحد منهما السدس فإن كانوا أكثر من ذلك فهم شركاء في الثلث من بعد وصية يوصى بها أو دين غير مضار وصية من الله والله عليم حليم [
"Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun" (An-Nisaa: 12)

Permasalahan Ahlul Furudh

- Permasalah Faraidh berdasarkan apa yang ada didalamnya dari furudh terbagi menjadi tiga:
1- Apabila bagian (siham) yang ada didalamnya sama dengan asli masalah, yang demikian dinamakan al-adilah.
Contoh: suami dan saudari, masalahnya dari dua, untuk suami setengah, yaitu satu dan untuk saudari juga setengah, yaitu satu.
2- Apabila bagian yang ada didalamnya lebih sedikit dari asli masalah, yang seperti ini dinamakan an-naqisoh, apa yang tersisa darinya diberikan kepada ashabul furudh selain dari suami istri, apabila ashabul furudh tidak menghabiskan harta peninggalan dan tidak ada ashobah, maka mereka lebih berhak atas pembagian dan mengambil sesuai dengan bagian masing-masing.
Contoh: istri dan putri, asal masalah dari delapan, untuk istri seperdelapan: satu, dan untuk putri tujuh, sebagai fardhu dan bagian sisa.
3- Apabila bagian yang ada lebih banyak dari asli masalah, yang seperti ini dinamakan aailah.
Contoh: suami dan dua orang saudari (bukan satu ibu), jika suami diberi setengah, maka tidak akan cukup bagian untuk kedua orang saudari tersebut, yaitu dua pertiga, maka asli masalah yang enam dirubah menjadi tujuh, untuk suami setengah, yaitu tiga, dan untuk kedua saudari dua pertiga, yaitu empat, sehingga kekurangan mencakup seluruhnya, sesuai dengan bagian masing-masing.


2- ASHOBAH

- Ashobah adalah mereka yang mendapat waris dengan tanpa batasan.
- Ashobah terbagi menjadi dua: 1- Ashobah binnasab 2- Ashobah bissabab

1- Ashobah binnasab terbagi menjadi tiga bagian:

1- Ashobah binnafsi
Mereka adalah seluruh ahli waris laki-laki kecuali (suami, saudara satu ibu, orang yang memerdekakan), rinciannya adalah: putra, cucu (putranya putra) dan seterusnya kebawah, ayah, kakek dan seterusnya keatas, saudara kandung, saudara satu ayah, putra saudara kandung dan seterusnya kebawah, putra saudara satu ayah dan seterusnya kebawah, paman kandung, paman satu ayah, putra paman kandung dan seterusnya kebawah, putra paman satu ayah dan seterusnya kebawah.
- Jika hanya ada satu orang saja diantara mereka, maka dia akan mendapat seluruh harta, dan jika berkumpul dengan ashabul furudh, dia akan mengambil apa yang tersisa setelah ashabul furudh, dan jika ashabul furudh telah mengambil seluruh harta peninggalan, maka dia tidak mendapat harta.
- Tingkatan ashobah ini sebagiannya lebih dekat dari sebagian lainnya, secara berurutan mereka ada lima: Bunuwah (anak dan keturunannya), kemudian ubuwwah (ayah dan keatasnya), kemudian ukhuwah (saudara dan keturunannya), kemudian a'mam (paman dan keturunannya), kemudian wala (perwalian/yang memerdekakan).
- Jika terdapat dua ashobah atau lebih, maka akan ada beberapa keadaan:
1- Keadaan pertama: Jika keduanya berkumpul dalam satu tingkat, derajat dan kekuatan, seperti dua orang putra, dua orang saudara atau dua orang paman, dalam keadaan ini keduanya akan berbagi harta secara merata.
2- Keadaan kedua: Jika keduanya berkumpul dalam tingkatan dan derajat akan tetapi berbeda dalam kekuatannya, seperti jika berkumpul antara paman kandung dan paman satu ayah, maka yang lebih kuat akan lebih dikedepankan, oleh karenanya hanya paman kandung yang akan menerima waris, sedangkan paman satu ayah tidak.
3- Keadaan ketiga: Jika keduanya berkumpul dalam satu tingkatan akan tetapi berbeda dalam derajatnya, seperti bertemunya putra dan cucu (cucu laki dari putra), maka yang lebih dekat derajatnyalah yang akan dikedepankan, sehingga harta peninggalan hanya akan didapat oleh putra.
4- Keadaan keempat: Jika keduanya berbeda tingkatan, maka yang tingkatannya terdekat yang akan dikedepankan dalam waris, walaupun derajatnya sangat jauh dari mayit jika dibandingkan dengan tingkatan yang jauh walaupun derajatnya dekat (dari mayit), maka cucu (putra dari anak laki) lebih diutamakan dari ayah.

2- Ashobah bilghoir
Mereka ada empat: Satu orang putri atau lebih dengan satu orang putra atau lebih, satu orang cucu (putri dari putra) atau lebih dengan satu orang cucu (putranya putra) atau lebih, satu orang saudari kandung atau lebih dengan satu orang saudara kandung atau lebih, satu orang saudari satu ayah atau lebih dengan satu orang saudara satu ayah atau lebih, pembagian waris diantara mereka adalah jatah satu orang laki-laki sama dengan jatah dua orang wanitanya, mereka mendapatkan apa yang tersisa setelah ashabul furudh, dan jika ashabul furudh telah mengambil seluruh harta maka merekapun tidak akan mendapatkan apa-apa.

3- Ashobah ma'alghoir
Mereka ada dua kelompok: Satu orang saudari kandung atau lebih bersama satu orang putri atau lebih atau bersama satu orang cucu (putrinya putra) atau lebih ataupun juga bersama keduanya, lalu satu orang saudari satu ayah atau lebih bersama satu orang putri atau lebih atau bersama satu orang cucu (putrinya putra) atau lebih ataupun juga bersama keduanya, disini saudari perempuan selalu bersama putri atau cucu (putrinya putra) menjadi ashobah bersama, bagi mereka adalah apa yang tersisa setelah ashabul furudh, dan jika ashabul furudh telah mengambil seluruh harta, maka merekapun tidak akan mendapat apa-apa.

2- Ashobah bissabab: Mereka adalah laki-laki atau perempuan yang memerdekakan budak, dan keashobahan mereka dinisbatkan kepada diri mereka masing-masing.
1- Allah berfirman:
] وإن كانوا إخوة رجالا ونساء فللذكر مثل حظ الأنثيين يبين الله لكم أن تضلوا والله بكل شيء عليم [
"Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" An-Nisaa: 176
2- Dari Ibnu Abbas r.a, dia berkata: telah bersabda Rosulullah SAW:
" ألحقوا الفرائض بأهلها فما بقي فهو لأولى رجل ذكر " متفق عليه
"Berikanlah jatah harta peninggalan kepada orang yang berhak atasnya, dan apa yang masih tersisa berikanlah kepada dia yang lebih berhak dari golongan laki-laki" H.R Bukhori[2]


3- AL-HAJB

- Al-Hajb: adalah Larangan terhadap dia yang berhak mendapat waris dari jatah warisnya secara keseluruhan atau dari jatah terbesarnya.
- Al-Hajb termasuk dari bab Faraidh terpenting dan terbesar, barang siapa yang tidak mengetahuinya maka bisa jadi dia akan melarang hak seseorang untuk sampai kepadanya, atau mungkin juga dia akan memberikan harta kepada dia yang tidak berhak atasnya, padahal pada keduanya terdapat dosa serta kedzoliman.
- Ada tiga keadaan jika seluruh ahli waris berkumpul:

1- Jika seluruh laki-laki berkumpul, maka yang akan mendapat waris diantara mereka hanyalah tiga: Ayah, Putra dan Suami.
Permasalahan mereka dari duabelas: untuk ayah seperenam yaitu dua, untuk suami seperempat yaitu tiga, dan sisanya tujuh untuk putra sebagai ashobah.
2- Jika seluruh wanita berkumpul, maka yang akan mendapat waris diantara mereka hanyalah lima: Putri, Cucu (putrinya putra), Ibu, Istri, Saudari kandung, selain mereka akan jatuh dan tidak mendapat waris.
Permasalahannya dari duapuluh empat: untuk istri seperdelapan yaitu tiga, untuk ibu seperenam yaitu empat, untuk putri setengah yaitu duabelas, sisanya satu untuk saudari kandung sebagai ashobah.
3- Jika berkumpul seluruh laki-laki dan wanita, maka yang akan mendapatkan waris diantara mereka hanyalah lima: Ibu, Ayah, Putra, Putri, dan salah satu Suami atau Istri.
1- Jika bersama mereka ada istri, maka permasalahannya dari duapuluh empat: untuk ayah seperenam yaitu empat, untuk ibu seperenam yaitu empat, untuk istri seperdelapan yaitu tiga, dan sisanya untuk putra dan putri sebagai ashobah, untuk laki-laki seperti bagian untuk dua orang wanita.
2- Jika bersama mereka ada suami, maka permasalahannya dari duabelas: untuk ayah seperenam yaitu dua, untuk ibu seperenam yaitu dua, untuk suami seperempat yaitu tiga, dan sisanya untuk putra dan putri sebagai ashobah, untuk laki-laki seperti bagian untuk dua orang wanita.

Macam-Macam Al-Hajb

- Al-Hajb terbagi menjadi dua bagian:

1- Al-Hajb bilwasf: yaitu seorang ahli waris yang disifati sebagai salah satu yang terlarang dari bagian waris, dia adalah: perbudakan, pembunuhan atau perbedaan agama, hal ini mencakup seluruh ahli waris, siapa yang saja yang memiliki salah satu dari sifat tersebut, maka dia tidak mewarisi dan keberadaannya seperti tidak ada.
2- Al-Hajb bissyahsi: -inilah yang dimaksud disini- yaitu jika sebagian dari ahli waris terhalangi oleh ahli waris lainnya, bagian ini terbagi menjadi dua: Hajb Nuqson dan Hajb Hirman, penjelasannya sebagai berikut:
1- Hajb Nuqson: Yaitu penghalangan seseorang dari bagian terbesarnya, bagian yang dia dapat akan berkurang disebabkan oleh dia yang menutupinya, permasalahan ini terbagi tujuh: empat intiqol (perpindahan) dan tiga izdiham (berdesak-desakan), adapun intiqol:
1- Berpindahnya dia yang di Hajb dari fardhu kepada fardhu yang lebih sedikit, mereka ada lima: suami-istri, ibu, cucu (putrinya putra), saudari satu ayah, contohnya adalah seperti perpindahan suami dari seperempat menjadi seperdelapan.
2- Perpindahan dari ashobah kepada fardhu yang lebih sedikit bagiannya, ini khusus hanya dalam permasalahan ayah dan kakek saja.
3- Perpindahan dari fardhu kepada ashobah yang bagiannya lebih kecil, ini berkaitan dengan mereka yang termasuk dari kelompok yang mendapat jatah setengah: putri, cucu (putrinya putra), saudari kandung dan saudari satu ayah, hal ini terjadi jika ada bersama setiap dari mereka saudaranya yang laki-laki.
4- Perpindahan dari ashobah kepada ashobah yang lebih sedikit bagiannya, ini berhubungan dengan ashobah ma'alghoir, maka saudari kandung ataupun yang satu ayah ketika bersama putri ataupun cucu (putrinya putra) akan mengambil sisa yaitu setengah, padahal jika bersama saudara laki-lakinya, dia akan mengambil seluruh sisa bersama dan pembagiannya bagi laki-laki sama seperti dua bagian wanita.
5- Sedangkan izdiham akan terjadi dalam fardhu, dan ini terjadi dalam tujuh golongan dari ahli waris, mereka adalah: kakek, istri, sejumlah putri dan cucu (putrinya putra), beberapa orang saudari kandung, beberapa orang saudari satu ayah, dan beberapa orang saudara satu ibu.
6- Izdiham dalam ashobah: ini akan terjadi pada mereka yang menjadi penyebab ashobah, seperti putra, saudara, paman dan semisalnya.
7- Izdiham dalam Aul: ini akan terjadi pada ashabul furudh jika mereka saling berdesakan.
2- Hajb Hirman: Seseorang menjatuhkan orang lain dari waris secara keseluruhan, ini akan terjadi pada seluruh ahli waris kecuali enam: ayah, ibu, suami, istri, putra dan putri.
- Beberapa kaidah dalam hajb hirman bissyahsi:
1- Setiap ahli waris dari ushul (atas) menjatuhkan dia yang berada lebih atas darinya, jika mereka satu jenis, oleh karena itu ayah akan menjatuhkan kakek dan ibu menjatuhkan nenek, begitulah seterusnya.
2- Setiap ahli waris dari keturunan yang laki-laki akan menjatuhkan dia yang berada dibawahnya, baik itu satu jenis ataupun tidak, seorang putra akan menjatuhkan seluruh cucu, baik itu cucu laki-laki ataupun wanita, sedangkan keturunan wanita, dia tidak akan menjatuhkan kecuali dia yang berada dibawahnya, itupun jika dia telah mengambil duapertiga, maka akan jatuhlah seluruh wanita yang berada dibawahnya, kecuali jika dijadikan ashobah bersama saudara laki-lakinya, bagi mereka apa yang masih tersisa dari harta.
3- Setiap ahli waris baik itu yang ushul ataupun keturunan, dia akan menjatuhkan seluruh hawasyi (arah samping), baik itu laki-laki ataupun wanita, tanpa terkecuali.
Hawasyi: mereka adalah seluruh saudara atau saudari, baik itu yang kandung ataupun satu ayah beserta keturunan mereka yang laki-laki, saudara-saudara satu ibu, paman, baik kandung ataupun satu ayah beserta keturunan laki-laki mereka. Adapun wanita, baik itu ushul ataupun keturunan, mereka tidaklah menjatuhkan hawasyi kecuali hanya keturunan saja, mereka adalah: putri dan putrinya putra (cucu) yang menjatuhkan saudara satu ibu.
4- Hawasyi sebagian mereka bersama sebagian lainnya, setiap dari mereka yang menjadi ashobah maka dia akan menjatuhkan siapa saja yang berada dibawahnya, baik itu dari segi arah, kedekatan ataupun kekuatan.
Saudara satu ayah akan jatuh oleh saudara kandung ataupun saudari kandung yang menjadi ashobah ma'alghoir, putra saudara kandung akan jatuh oleh keberadaan saudara kandung, saudari kandung yang menjadi ashobah ma'alghoir, saudara satu ayah dan saudari satu ayah yang menjadi ashobah ma'alghoir, putra saudara satu ayah akan jatuh oleh empat kelompok diatas dan oleh putra saudara kandung.
Paman kandung akan jatuh oleh lima kelompok diatas dan oleh putra saudara satu ayah, paman satu ayah akan jatuh oleh enam kelompok diatas dan oleh paman kandung, putra paman kandung akan jatuh oleh tujuh kelompok diatas dan oleh paman satu ayah, putra paman satu ayah akan jatuh oleh delapan kelompok diatas dan oleh putra paman kandung, adapun saudara-saudara satu ibu mereka akan jatuh oleh keturunan ahli waris serta oleh ushul waris yang laki-laki.
5- Ushul tidak ada yang bisa menjatuhkan mereka kecuali ushul juga, keturunanpun tidak bisa dijatuhkan kecuali oleh keturunan pula, sebagaimana yang telah lalu, sedangkan hawasyi akan dijatuhkan oleh ushul, keturunan dan hawasyi lainnya –sebagaimana yang telah lalu-.
6- Berdasarkan hajb hirman, ahli waris terbagi menjadi empat bagian:
Kelompok pertama bisa menjatuhkan namun tidak bisa dijatuhkan, mereka adalah kedua orang tua serta putra dan putri, kelompok kedua bisa dijatuhkan tapi tidak bisa menjatuhkan, mereka saudara-saudara satu ibu, kelompok ketiga tidak bisa menjatuhkan dan tidak bisa pula dijatuhkan, mereka adalah suami dan istri, kelompok keempat adalah mereka yang bisa menjatuhkan dan bisa dijatuhkan, mereka adalah ahli waris selain dari yang telah disebut diatas.
7- Orang yang memerdekakan budak, baik itu laki-laki ataupun wanita akan jatuh oleh setiap ashobah dari kerabat mayit.

4- TA'SILUL MASAIL

- Asli dari setiap permasalahan akan berbeda sesuai dengan perbedaan ahli waris, jika mereka seluruhnya hanya ashobah, maka asli masalahnya sesuai dengan jumlah setiap bagian dari mereka, untuk laki-laki seperti dua bagian wanita, seperti jika seseorang meninggal dan hanya meninggalkan satu putra dan satu putri, maka asli masalahnya dari tiga, untuk putra dua dan untuk putri satu.
- Jika dalam permasalahan terdapat seorang ashabul furudh dan ashobah, maka asli masalahnya diambil dari ashabul furudh tersebut, seperti jika seseorang meninggal dan meninggalkan seorang istri dan satu putra, maka permasalahannya dari delapan, untuk istri seperdelapan, yaitu satu dan sisanya untuk putra sebagai ashobah.
- Jika dalam permasalahan terdapat beberapa ashabul furudh saja, atau ada ashobah bersama mereka, maka dilihat antara ashabul furudh dengan nisab yang empat, yaitu (mumatsalah, mudaholah, muwafaqoh dan mubayanah) kemudian hasilnya dijadikan asli masalah, pada furudh seperti setengah, seperempat, seperenam, sepertiga, seperdelapan dan dua pertiga, jika terjadi mutamatsilan (dua yang serupa) maka cukuplah dengan salah satunya, jika mutadahilan (saling masuk) maka cukup dengan yang terbesar, jika mutawafiqon, maka perkecilan dari salah satunya dikalikan dengan yang lainnya, dan jika mutabayinan, maka keduanya dikalikan langsung, contohnya seperti berikut ini:
Mumatsalah (1/3 dan 1/3), mudaholah (1/6 dan 1/2), muwafaqoh (1/8 dan 1/6), mubayanah (2/3 dan 1/4) dst.
- Asli masalah untuk ashabul furudh ada tujuh: dua, tiga, empat, enam, delapan, duabelas dan duapuluh empat.
- Jika harta masih tersisa setelah ashabul furudh dan tidak terdapat ashobah, maka dia harus dibagikan kepada ashabul furudh, selain suami dan istri, contoh suami dan putri, permasalahan dari empat: untuk suami seperempat yaitu satu dan sisanya untuk putri sebagai fardhu dan rod .. dst.

5- PEMBAGIAN TARIKAH (Harta Pusaka)

- Tarikah: Apa yang ditinggalkan mayit dari harta ataupun lainnya.
- Peninggalan akan dibagikan kepada ahli waris dengan menggunakan salah satu dari beberapa cara berikut ini:
1- Nisbah: Yaitu dengan cara menyandarkan bagian setiap waris kepadanya, lalu memberikan hasilnya dari peninggalan sesuai dengan hitungannya, jika seseorang meninggal dan meninggalkan (istri, ibu dan paman) lalu harta peninggalannya sebesar seratus duapuluh, maka asli masalahnya dari duabelas, untuk istri seperempat yaitu tiga, untuk ibu sepertiga yaitu empat dan sisanya untuk paman yaitu lima. Bagian istri dari asli masalah adalah seperempatnya, maka dia berhak atas seperempat peninggalan yaitu tigapuluh, bagian ibu sepertiganya, maka dia akan mendapat empatpuluh, bagian paman yang lima menurut asli masalah adalah seperempat dan seperenamnya, maka dia mendapat limapuluh.
2- Cara berikutnya adalah dengan cara mengalikan bagian setiap waris dengan peninggalan, kemudian hasilnya dibagi oleh asli masalah, maka akan keluarlah bagian yang akan didapatnya, dalam permasalahan lalu, istri mendapat seperempat yaitu tiga, kalikanlah dengan peninggalan (120) hasilnya adalah (360) lalu bagilah dengan asli masalah (12) sehingga menjadikan bagiannya dari peninggalan adalah (30) begitulah seterusnya.
3- Berikutnya adalah dengan cara membagi peninggalan terhadap asli masalah, nilai yang dihasilkannya dikalikan oleh bagian setiap waris dalam permasalahan, hasil yang didapat adalah bagian yang akan diperoleh oleh setiap ahli waris.
Dalam permasalahan lalu, peninggalan (120) dibagi oleh asli masalah (12), maka akan diperoleh hasil (10), hasil ini dikalikan oleh bagian setiap waris, maka bagian ibu dalam masalah tersebut mendapat sepertiga yaitu empat, kita kalikan dengan sepuluh (10 x 4 = 40), demikianlah hasil yang didapatnya dari peninggalan, dst.
- Jika pada waktu pembagian waris ada kerabat mayit yang tidak mendapat waris namun dia hadir, ada juga anak-anak yatim, ataupun orang miskin, hendaklah mereka diberi dari harta peninggalan sebelum dibagi.
Allah berfirman:
] وإذا حضر القسمة أولوا القربى واليتامى والمساكين فارزقوهم منه وقولوا لهم قولا معروفا [
"Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik". (An-Nisaa: 8)


6- MIROTS (BAGIAN) DZAWIL ARHAM

- Dzawil Arham: Mereka adalah seluruh kerabat dekat yang tidak mendapat waris, tidak dengan fardhu dan tidak pula dengan ashobah.
- Dzawil arham akan mendapat waris dengan dua syarat: Tidak adanya ashabul furudh selain suami-istri, tidak adanya ashobah.
- Pembagian waris terhadap dzawil arham dilakukan dengan cara melihat kedudukan, setiap dari mereka menduduki tempat yang menjadi penghubungnya, kemudian barulah hasilnya dibagikan terhadap mereka, maka apapun bagian yang didapat oleh penghubung, itulah yang akan mereka dapat, rinciannya sebagai berikut:
1- Putra dari putri (cucu), putranya cucu putri, mereka menempati kedudukan ibu mereka.
2- Putri saudara dan putrinya keponakan, kedudukan mereka sama seperti kedudukan ayahnya, putra saudara satu ibu kedudukannya sama dengan kedudukan saudara satu ibu, putra saudari secara mutlak kedudukannya sama seperti kedudukan ibu mereka.
3- Saudara ibu baik yang laki ataupun wanita dan ayahnya ibu, kedudukannya sama seperti ibu.
4- Saudari ayah dan paman satu ibu menduduki kedudukan ayah.
5- Nenek yang jatuh (mereka yang tidak berhak waris) baik itu dari arah ayah ataupun ibu, seperti ibu ayahnya ibu (neneknya ibu) dan ibu ayahnya kakek (neneknya ayah), yang pertama menduduki kedudukan nenek dari arah ibu dan kedua menduduki kedudukan nenek dari arah ayah.
6- Kakek yang jatuh (mereka yang tidak berhak waris), baik itu dari arah ayah ataupun ibu, seperti ayahnya ibu dan ayah ibunya ayah (ayahnya nenek), yang pertama menduduki kedudukan ibu dan kedua menduduki kedudukan nenek (ibunya ayah).
7- Setiap dari dia yang berhubungan dengan ini, maka dia akan menduduki kedudukan orang yang menjadi penghubungnya, seperti bibinya saudari ayah dan bibinya saudari ibu dst.
- Arah dzawil arham hanya tiga: bunuwwah (keturunan), ubuwwah (keatas) dan umumah (paman).


7- MIROTS (BAGIAN) AL-HAML

- Al-Haml: Adalah janin yang masih berada dalam perut ibunya.
- Al-Haml akan mendapat waris setelah dia terlihat mengeluarkan suara, ketika mayit meninggal dia sudah berada dalam janin walaupun hanya berbentuk air mani, suaranya bisa dengan teriakan, karena haus, menangis ataupun semisalnya.
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: " ما من بني آدم مولودٌ إلاّ يمسّه الشيطان حين يولد فيستهلّ صارخا من مسّ الشيطان غير مريم وابنها ". متفق عليه
Dari Abu Hurairoh r.a: bahwasanya Rosulullah SAW bersabda: "Tidak ada seorangpun keturunan Adam yang dilahirkan kecuali dia akan disentuh oleh setan pada saat dilahirkan, sehingga dia akan berteriak mengeluarkan suara yang disebabkan oleh sentuhan setan tersebut, kecuali Maryam dan putranya"[3]
- Barang siapa yang meninggalkan ahli waris dan terdapat padanya haml, ada dua keadaan bagi mereka:
1- Mereka menunggu sampai janin dilahirkan dan jelas kelaminnya, barulah kemudian dilakukan pembagian waris.
2- Atau bisa juga mereka meminta untuk dibagikan harta peninggalan sebelum dia dilahirkan, dalam keadaan seperti ini akan disisakan untuk janin dari harta waris sebesar bagian dua orang putra atau dua orang putri, setelah dilahirkan dia akan mengambil bagiannya, sedangkan sisanya akan dikembalikan kepada dia yang berhak, siapa saja yang tidak terhajb (terhalangi) oleh janin, maka dia akan mengambil seluruh bagiannya, contohnya adalah nenek, dan siapa yang sekiranya akan berkurang olehnya, maka dia akan mengambil bagian terkecil, contohnya seperti istri dan ibu, dan siapa saja yang sekiranya akan jatuh olehnya, maka dia tidak akan mengambil bagian sedikitpun, contohnya seperti saudara.


8- MIROTS (BAGIAN) HUNTSA MUSYKIL (BANCI)

- Huntsa Musykil adalah dia yang berkelamin ganda (memiliki kelamin pria dan wanita)
- Huntsa Musykil jika tidak jelas keadaannya, maka dia akan mendapat setengah bagian laki-laki dan setengah bagian wanita.
- Apabila huntsa tersebut bisa diharapkan untuk diketahui kejelasan kelaminnya, maka dia harus ditunggu sampai ada kejelasannya, jika mereka tidak mau menunggu dan meminta agar harta peninggalan dibagi, maka hendaklah diberikan kepada dia ataupun lainnya dengan bagian terkecil, kemudian sisanya dibiarkan terlebih dahulu sampai terbukti keadaannya. Pertama-tama buatlah permasalahan dengan menganggap dia itu seorang pria, kemudian buatlah permasalahan baru dengan menjadikannya seorang wanita, setelah itu berikanlah kepada huntsa ataupun ahli waris lainnya bagian terkecil, sedangkan sisa harta hendaklah dibiarkan sampai keadaannya bisa dibedakan.
- Diketahui kejelasan keadaan huntsa oleh beberapa perkara:
Kencing atau keluarnya air mani dari salah satu kelamin, jika kencing dari keduanya maka hendaklah melihat kepada yang lebih dahulu keluar, akan tetapi jika berbarengan, maka hendaklah melihat dari segi banyaknya, kecondongannya terhadap lawan jenis, tumbuhnya jenggot, haid, hamil, tumbuhnya dua buah susu, keluarnya air susu dari dadanya, dlsb.

9- MIROTS (BAGIAN) MAFQUD

- Mafqud: Adalah dia yang terputus beritanya, keadaannya tidak diketahui, apakah dia masih hidup ataukah meninggal.
- Mafqud memiliki dua keadaan: meninggal dan hidup, pada keduanya ada pembahasan hukum khusus, hukum yang berhubungan dengan istrinya, hukum yang berhubungan dengan warisannya dari orang lain, warisan orang lain darinya, serta warisan bersama antara dia dengan yang lainnya, jika tidak bisa dipastikan keadaannya antara hidup dan mati, maka haruslah ditentukan waktu tertentu untuk membuktikan kenyataannya dan juga kesempatan untuk mencarinya, ketentuan waktu tersebut diserahkan kepada ijtihad seorang hakim.
- Keadaan mafqud:
1- Jika mafqud sebagai orang yang diwarisi, apabila waktu menunggu yang telah ditentukan habis dan keadaannya belum diketahui, maka dia dihukumi telah meninggal, lalu harta pribadinya dibagikan, begitu pula dengan harta miliknya yang dihasilkan dari warisan orang lain terhadapnya, seluruhnya dibagikan kepada ahli warisnya yang ada ketika dia dihukumi meninggal, dan tidak diberikan kepada mereka yang telah meninggal pada masa penantian.
2- Jika mafqud menjadi salah seorang yang mendapat waris dan tidak ada orang lain padanya, maka harta tersebut untuk sementara dibiarkan sampai ada kejelasan tentangnya, atau habis masa penantiannya, jika ada ada ahli waris lain bersamanya dan mereka menuntut agar harta tersebut dibagikan, hendaklah seluruhnya diperlakukan dengan mendapat bagian terkecil, sementara sisanya dibiarkan sampai ada kejelasan tentangnya, jika hidup maka dia akan mengambil bagiannya dan jika meninggal maka harta yang ada dibagikan kepada mereka yang berhak.
Pertama kali hendaklah dibuat sebuah permasalahan yang dianggap padanya kalau mafqud hidup, kemudian dibuat sebuah permasalahan kedua dengan menganggapnya sebagai mayit, barang siapa yang mendapat waris pada dua keadaan tersebut dengan bagian berbeda, maka hendaklah diberikan kepadanya bagian terkecil, barang siapa yang pada keduanya mendapat bagian yang sama, maka diberikan haknya secara penuh, sedangkan dia yang hanya mendapat bagian pada salah satunya saja, maka dia tidak diberikan harta sedikitpun, lalu apa yang masih tersisa dari harta dibiarkan untuk sementara sampai ada kejelasan tentang keadaan mafqud.
10- MIROTS (BAGIAN) GHORQO, HADMA DAN SEMISALNYA
- Yang dimaksud disini: Sekelompok ahli waris yang meninggal bersama dalam sebuah kejadian tertentu, seperti tenggelam, kebakaran, peperangan, runtuhnya gedung, kecelakaan mobil, pesawat, kereta api dan semisalnya.
- Keadaan mereka: mereka memiliki lima keadaan:
1- Diketahui dengan pasti kalau salah seorang dari mereka meninggal belakangan, maka dia berhak untuk mendapat waris dari dia yang meninggal lebih dahulu, dan tidak sebaliknya.
2- Diketahui jika mereka seluruhnya meninggal berbarengan, maka mereka tidak akan saling mewarisi satu dengan lainnya.
3- Tidak diketahui bagaimana mereka meninggal, apakah meninggalnya satu persatu? Ataukah berbarengan? Maka mereka tidak akan saling mewarisi.
4- Diketahui jika meninggalnya mereka berurutan, akan tetapi tidak diketahui dengan pasti siapa yang meninggal terakhir diantara mereka, maka dalam keadaan inipun mereka tidak akan saling mewarisi.
5- Diketahui siapa yang terakhir meninggal, namun kemudian dilupakan, maka dalam keadaan inipun mereka tidak akan saling mewarisi.
Dalam empat keadaan terakhir mereka tidak saling mewarisi, dengan demikian harta dari setiap mereka hanya dibagikan kepada ahli warisnya yang masih hidup saja, tidak dengan mereka yang meninggal berbarengan.

11- MIROTS (BAGIAN) AL-QOTIL (PEMBUNUH)

- Barang siapa yang membunuh langsung orang yang mewarisinya atau ikut secara langsung dalam pembunuhannya ataupun menjadi penyebabnya tanpa hak, maka dia tidak berhak untuk mendapat warisan darinya, pembunuhan dengan tidak hak: dia yang terjamin oleh beberapa ketentuan, diyat ataupun kafarat, seperti pembunuhan dengan disengaja dan yang mirip dengan disengaja ataupun kesalahan dalam membunuh, serta apa saja yang mirip dengan kesalahan mebunuh, seperti pembunuhan dengan sebab, pembunuhan anak kecil, orang tidur dan orang gila.
Orang yang membunuh dengan sengaja tidak berhak untuk mendapat waris, hikmah darinya adalah: keterburu-buruan untuk mendapat waris, dan siapa saja yang menyegerakan sesuatu sebelum saatnya tiba, maka dia akan dihukum dengan tidak mendapatkannya, sedangkan pembunuhan yang tidak sengaja, pelarangannya dari waris sebagai bentuk penutupan terhadap ancaman dan penjagaan terhadap penumpahan darah; agar tidak dijadikan penyebab atas ketamakan dalam menumpahkan darah.
- Jika pembunuhan dalam bentuk qisos, had ataupun pembelaan diri dan semisalnya, hal seperti ini tidak menghalangi seseorang dari mendapat waris.
- Orang murtad tidak mewarisi siapapun dan tidak pula mendapat waris, jika dia meninggal dalam keadaan murtad, maka seluruh harta miliknya diserahkan kepada baitul mal kaum muslimin.

12- MIROTS (BAGIAN) LAIN AGAMA

- Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafirpun tidak mewarisi Muslim; dikarenakan oleh perbedaan agama mereka, orang kafir itu seperti mayit dan mayit tidak bisa mewarisi.
- Orang-orang kafir sebagian mereka mewarisi sebagian lainnya, jika mereka satu agama, dan tidak saling mewarisi jika berlainan agama, karena agama ini bermacam-macam, yahudi merupakan sebuah agama, nasrani agama, majusi agama dan begitulah seterusnya.
- Orang-orang yahudi akan saling mewarisi sesama mereka, orang-orang nasrani dan majusipun demikian, sama halnya dengan agama-agama yang lainnya, sehingga seorang yahudi tidak mungkin akan mewarisi dari nasrani, begitu pula dengan agama lainnya.

13- WARIS (BAGIAN) WANITA

- Islam telah memuliakan wanita, menghargainya serta memberinya bagian dari waris yang sesuai dengan keadaannya, sebagaimana berikut ini:
1- Terkadang dia mendapat bagian yang sama dengan pria, sebagaimana yang terjadi dengan saudara dan saudari satu ibu, ketika bergabung mereka akan menerima bagian yang sama.
2- Terkadang dia mendapat bagian yang sama atau lebih sedikit dari pria, sebagaimana yang terjadi dengan ayah dan ibu, jika terdapat bersama keduanya putra mayit yang laki atau laki dan perempuan, maka setiap dari ayah dan ibu akan menerima seperenam, dan jika yang ada hanya keturunan mayit yang perempuan saja, maka untuk ibu seperenam dan untuk ayah seperenam beserta sisa harta ketika tidak ada ashobah.
3- Terkadang wanitapun akan mendapat setengah dari bagian laki-laki, dan inilah yang lebih umum.
Penyebabnya: bahwa Islam telah mewajibkan kepada laki-laki beberapa beban dan kewajiban dari hartanya, pada saat hal tersebut tidak diharuskan terhadap wanita, seperti pembayaran mahar (mas kawin), menyediakan rumah, memberi nafkah kepada istri dan anak, membayar diyat, sementara wanita tidak diwajibkan bagi mereka untuk memberi nafkah, tidak terhadap dirinya dan tidak pula terhadap anak-anaknya.
Oleh sebab itu semua, Islam telah memuliakan wanita ketika meniadakan seluruh beban tersebut darinya, dan membebankannya kepada laki-laki, kemudian memberikan setengah bagian dari apa yang didapat oleh laki-laki, sehingga hartanya semakin bertambah, sementara harta laki-laki akan berkurang oleh nafkah terhadap dirinya, istrinya dan juga anak-anaknya, inilah dia bentuk keadilan diantara dua jenis kelamin yang berbeda, karena sesungguhnya Rob kalian tidak akan pernah berbuat kedzoliman terhadap hamba-Nya, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.


1- Allah berfirman:
] الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم ... [
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…". (An-Nisaa: 34)
2- Firman Allah:
] إن الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم تذكرون [
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran". (An-Nahl: 90)

________________________________________
H.R Muttafaq Alaih, Riwayat Bukhori nomer (6764) dan Muslim nomer (1614) [1]
Riwayat Bukhori nomor (6732) dan Muslim nomor (1615). [2]
Muttafaq 'Alaih, riwayat Bukhori nomor (3431) dan lafadz darinya, Muslim nomor (2366) [3
http://www.hukumwaris.com/about-joomla/117-2010-05-09-10-49-12.html