Mengenai Saya

Foto saya
Science without religion is blind and Religion without science is lame

Rabu, 11 Februari 2009

> Kaidah Nahi dalam Ushul Fiqih

Pendahuluan

Dalam matematika, kita mengenal theorema phytagoras, dalam fisika lebih banyak lagi hukum yang kita kenal dan diakui sebagai kaidah umum yang berlaku dalam suatu bidang tertentu dari cabang ilmu fisika. Dalam kimia pun demikian, kita mengenal adanya hukum kekekalan massa dan masih banyak hukum atau teori lain yang berlaku.
Hukum atau teori tadi dikembangkan oleh para ilmuwan melalui serangkaian percobaan dan pengujian sehingga diperoleh kesimpulan umum yang kemudian diakui sebagai kaidah dalam ilmu tersebut. Sampai adanya teori baru yang lebih ‘kuat’, teori-teori tersebut akan tetap digunakan sebagai kaidah yang diakui dan dijadikan sebagai dasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Tidak kita ragukan lagi bahwa kaidah-kaidah tersebut memberikan banyak manfaat bagi manusia terutama yang secara langsung bersentuhan dengan kehidupan manusia. Banyak hal di dunia ini yang dihasilkan sebagai pengembangan dari suatu teori tertentu seperti listrik, atom, dll. Dari situ kita bisa melihat betapa kaidah/teori/hukum dalam suatu bidang keilmuan tertentu memiliki peran yang sangat penting bagi manusia, dalam hal-hal duniawi tentunya.
Lalu, apakah Islam juga memiliki kaidah-kaidah seperti itu? Kaidah-kaidah atau hukum-hukum yang menjadi dasar bagi pengamalan syariat Islam?
Kaidah-Kaidah Ushul Fiqih

Dalam ilmu keduniaan saja, kaidah-kaidah itu ada apalagi di dalam ilmu-ilmu syariat (Islam) sudah barang tentu juga ada. Seperti halnya dalam ilmu-ilmu duniawi, kaidah pokok dalam syariat Islam juga memiliki peran yang sangat penting, bahkan lebih penting dari peran kaidah-kaidah pada ilmu duniawi karena kaidah-kaidah ini menjadi dasar bagi kita agar dapat mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan benar.
Kaidah-kaidah syariat ini juga dihasilkan dari penelitian para ‘ulama baik terhadap al-Qur’an, as-Sunnah (hadits), atsar para shahabat, maupun pendapat-pendapat dari berbagai ‘ulama Islam dari zaman ke zaman. Karena merupakan hasil penelitian, maka ilmu-ilmu itu memiliki sifat dinamis atau berkembang dari masa ke masa, kecuali untuk ‘aqidah yang sifatnya baku dan tidak akan berubah sampai akhir zaman. Prinsip-prinsip atau kaidah utama ini lebih dikenal dengan istilah ushuluddin dan semua telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Siapapun tidak berhak untuk mengadakan sesuatu yang baru, yang tidak ada contoh sebelumnya, apalagi sampai mengatakan hal tersebut bagian dari agama.
Meskipun dinamis, tetapi Islam juga memiliki kaidah yang dipegang oleh para ‘ulama ketika mengeluarkan sebuah hukum atau dalam bahasa syariatnya istinbath. Dalam beberapa hal, kaidah-kaidah ini sangat penting untuk diketahui, tidak saja oleh para ‘ulama itu sendiri, akan tetapi juga oleh umat Islam secara umum terutama kaidah-kaidah yang sifatnya pokok (ushul).

Di bawah ini saya akan tuliskan beberapa kaidah ushul fiqh yang berkaitan dengan larangan dalam Islam yang saya ambil dari kitab Mausuu’ah : al Manaahiyyisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah yang ditulis oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al Hilali dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Ensiklopedi Larangan : Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebenarnya saya ingin menuliskan lebih dahulu kaidah-kaidah ushuluddin, tapi saya belum punya buku rujukannya. Selain itu, saya juga teringat sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang artinya :
“Tinggalkanlah sesuatu yang aku tidak anjurkan kepadamu. Kebinasaan umat terdahulu ialah karena mereka banyak bertanya dan selalu menyelisihi Nabi mereka. Jadi, apabila aku melarangmu dari sesuatu, tinggalkanlah, dan apabila aku perintahkan sesuatu kepadamu, lakukanlah semampumu” (HR Bukhari No. 7288 dan Muslim No. 1337).

Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh : Larangan ( NAHI ) dalam Islam
ا لــنـهـي هـو طــلـب ا لــكــفّ عـن فــعــل مـن ا لأ عــلى ا لى ا لأ د نى
Laranga adalah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dari orang yang lebih tinggi derajatnya kepada yang rendah.

Bentuk – Bentuk nahi
1. Fiil nahi 17 : 32
2. Fiil mudori 56 : 79
3. lafal-lafal larangan حـرم – ا حــذ ر – ا تــر ك - خـطـر – نـهـى – د ع – ذ ر


KAidahkaidah NAHI
ا لأ صــل فـى ا لــنــهـى لـلــتــحــر يــم
Asal pada larangan menunjukan arti haram

ا لــنــهــى عـن ا لــشــيـئ أ مــر بــضــد ه
Larangan terhadap sesuatu berarti perintah kebalikannya.

ا لأ صــل فـى ا لــنــهــى يــقــتــضـى ا لــفــســا د مــطــلــقـا
Asal larangan akan mengakibatkan kerusakan secara mutlak

ا لأ صــل فـى ا لــنــهـى يــقــتــضـى ا لــــتـكــر ا ر مـطــــلــقــا
Asal dalam larangan menghendaki adanya pengulangan seanjang masa.

Perkara-perkara yang dilarang adalah seluruh perkara yang telah turun larangan atasnya. Larangan adalah lawan dari perintah, yakni tuntutan untuk menahan diri dari satu perbuatan.
1. Bentukdan makna lain dalam larangan adalah :
1. Laa naahiyah (la yang menunjukan larangan),
2. Peringatan dengan menggunakan kata iyyaaka,
3. Ultimatum dan ancaman atas satu perbuatan,
4. Celaan atas pelakunya dan keharusan membayar kaffarah akibat melakukannya,
5. Perkataan laa yanbaghi (tidak sepatutnya),
6. Perkataan tersebut dalam bahasa al-Qur’an dan bahasa Rasul adalah untuk larangan secara syar’i maupun logika,
7. Lafazh maa kaana lahum kadza (tidak sepatutnya mereka melakukan ini) atau lam yakun lahum (seharusnya mereka tidak boleh melakukan ini),
8. Ancaman hukuman hadd atas pelakunya,
9. Lafazh : laa yahillu (tidak halal) atau laa yashluhu (tidak baik),
10. Pemberian sifat rusak dan bathil atas suatu perbuatan, misalnya perbuatan itu adalah tipu daya syaitan, perbuatan syaitan, Allah tidak menyukai dan idak meridhainya, tidak merestui pelakunya, tidak berbicara dan tidak melihatnya.
2. Pada asalnya, statemen syari’at yang berisi larangan terhadap suatu perkara hukumnya adalah perkara itu harus ditinggalkan secara mutlak. Berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang artinya : “Jika aku melarang kalian dari suatu perkara maka tinggalkanlah” (Muttafaq ‘alaih).
3. Boleh jadi larangan itu bukanlah karena perbutan itu sendiri, namun karena faktor mafsadah (kerusakan) yang diakibatnya. Ini merupakan konsekuensi kaidah Saddudz Dzaraa’i atau dalam kata lain : ‘Tidakan pencegahan terhadap penyebab timbulnya mafsadah’. Kaidah ini termasuk kaidah yang sangat agung dalam syariat. Akan tetapi, perkara yang dilarang berdasarkan kaidah ini adakalanya dibolehkan untuk sebuah maslahat yang lebih besar. Sebagai contoh : Dibolehkan melihat calon istri untuk tujuan meminang dan sejenisnya. Melihat wanita bukan mahram diharamkan karena dapat menyeret kepada mafsadah (kerusakan). Dan apabila maslahat yang lebih besar lagi daripadanya, maka itu artinya perkara tersebut tidak menyeret kepada kerusakan.
4. Konsekuensi sebuah perkara terlarang (haram) adalah larangan terhadap seluruh perkara yang mengarah kepadanya. Termasuk di dalamnya adalah pengharaman terhadap al hiil (tipu daya atau pengicuhan) yang bermuara pada perkara yang diharamkan.
5. Larangan terhadap sesuatu juga berarti larangan terhadap perkara yang tidak bisa dilaksanakan (larangan tersebut) kecuali dengan menjauhinya. Jika bercampur antara daging bangkai dengan daging yang disembelih secara syar’i, maka seluruhnya menjadi haram. Daging bangkai haram dimakan karena ia adalah bangkai, dan daging yang disembelih secara syar’i menjadi haram karena terdapat kesamaran padanya. Sebenarnya yang wajib dijauhi hanyalah daging bangkai saja, namun dalam kondisi seperti itu, hal tersebut tidak bisa terlaksana kecuali dengan menjauhi kedua daging itu sekaligus karena adanya kesamaran.
6. Pengharaman sesuatu secara mutlak berarti larangan terhadap setiap bagian-bagiannya. Kaidah menyebutkan bahwa larangan terhadap sesuatu juga berarti larangan terhadap bagiannya selama tidak ada pengecualian yang shahih dan jelas.
7. Larangan itu menunjukan (bahwa) mafsadah yang terdapat pada perkara yang dilarang lebih besar daripada maslahatnya. Asas dasarnya adalah, setiap hamba harus meyakini bahwa apa saja yang Allah perintahkan pasti membawa maslahat dan apa saja yang dilarang oleh-Nya pasti menimbulkan mafsadah dan bencana. Oleh sebab itu, Allah memuji amal shahih dan memerintahkan supaya berlaku baik dan mengadakan perbaikan. Dan Allah melarang berbuat kerusakan, Allah tidak menyukai dan tidak meridhainya.
8. Jika larangan itu tertuju kusus pada sebuah perbuatan, berarti perbuatan itu rusak.
9. Perkara-perkara yang dilarang terdiri atas beberapa tingkatan. Ada yang jelas-jelas haram, ada yang makruh tahrim (makruh bermakna haram) dan ada yang makruh tanzih.
10. Lafazh-lafazh pengharaman terdiri atas beberapa tingkatan, yang paling tinggi adalah perintah untuk meninggalkan sesuatu, kemudian teguran dan celaan terhadap sesuatu, kemudian pengharaman terhadap sesuatu, kemudian makruhnya (dibencinya) sesuatu perbuatan.
11. Pada dasarnya, sebuah larangan dalam statemen syari’at konotasi hukumnya adalah haram. Konotasi hukum ini tidak boleh digeser melainkan dengan adanya pengecualian atau indikasi pengalihan hukum yang kuat.
12. Kata makruh dalam perkataan Allah dan Rasul-Nya dan dalam istilah ulama salaf (dahulu) biasanya digunakan untuk perkara haram, dalilnya adalah firman Allah Subhaanahu wa ta’ala yang artinya : “Semua itu kejahatannya amat dibenci disisi Rabbmu.” (QS al-Israa’ 38).
13. Ulama-ulama mutaakhirin banyak yang keliru, mereka membawakan perkataan-perkataan para ulama yang menyebutkan kata ‘makruh’ kepada pengertian makruh dalam ilmu ushul fiqh yang baru dikenal kemudian. Mereka menafikan hukum haram terhadap perkara-perkara yang dikatakan makruh oleh ulama terdahulu. Kemudian mereka terlalu longgar dalam penggunaan istilah ini, mereka bawakan kepada makruh tanzih! Hal ini menyebabkan banyaknya terjadi kerancuan, kekeliruan yang fatal dan kerusakan yang parah.
14. Makruh, menurut para ulama Ushul Fiqh Kontemporer adalah termasuk di antara lima macam hukum takfili, yaitu sesuatu yang dituntut untuk meninggalkan apa yang terkandung di dalamnya, bukan merupakan suatu kewajiban karena pelakunya tidak dicela. Oleh sebab itu, orang yang meninggalkannya tidaklah dicela.
15. Terus-menerus mengerjakan perkara makruh dapat merusak ‘adaalah (keshalihan) dan mengeluarkan pelakunya dari golongan orang yang berhak mendapat kesaksian baik.
Makna Nahi selain larangan
1. makruh co hdits larang solat dikandang onta
2. harapan, doa 2 : 286
3. petunjuk 5 : 101
4. menghibur ( I’tinas ) 9: 40
5. angan-angan 32: 12
6. biasa ( iltimas ) co jangan main kesana
7. menjelaskan suatu akibat. Co menganggap mati orang jihad fisabililah 3 : 169
8. menjelaskan ( tanbih ) co jangan melarang jika engkau mengerjakan


SUMBER :

kitab Mausuu’ah : al Manaahiyyisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah yang ditulis oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al Hilali dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Ensiklopedi Larangan : Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah.

Drs. Safiudin Shidiq M. Ag. Fikih.Menggali Hukum Islam. Pustaka madani.
Abdul Wahah Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh. Gema Risalah Press. Bandung
Drs. HM. Suparta, MA, Fiqih Mdrasal Aliyah. Karya Toha Putra. Bandung

Tidak ada komentar: