Mengenai Saya

Foto saya
Science without religion is blind and Religion without science is lame

Rabu, 18 Februari 2009

> ILMU TAFSIR

ILMU TAFSIR

Daftar Isi
Pendahuluan
Sejarah Tafsir
Pengertian Tafsir
Persamaan dan Perbedaan Tafsir, Ta’wil, dan Tarjamah
Pembagian Tafsir
Tafsir bi Al Ro’yi
Tafsir bil Ma’tsur
Corak dan Metodologi Tafsir
Metode penalaran; pendekatan dan corak-coraknya
a. Metode tahliliy
b. Metode Mawdhu'iy
Tafsir Dalam Era Globalisasi
Pengertian Fenomenologis Al-qur’an
Pengaruh-Pengaruh Al-qur’an
1. Ideologi
2. Sosial
3. Sains
3. Ekonomi
4. Politik
5.Seni dan Budaya


Pendahuluan
Alqur’an sebagai kitab suci umat Islam yang memiliki tingkat keaslian serta keluasan pembahasan dalam ilmu pengetahuan tidak akan pernah kering dari panafsiran, ibarat lautan tanpa batas yang tidak akan pernah kering di minum oleh zaman, oleh karena itu penafsiran dalam Al Qur’an tidak akan pernah mencapai titik akhir kecuali atas kehendak Alloh, Al Qur’an sendiri diturunkan Alloh sebagai kitab terakhir bagi umat di alam semesta artinya tidak akan ada lagi kitab suci yang akan di turunkan oleh Alloh SWT. Walaupun Alloh mampu untuk menurunkannya, itulah janji Alloh.
Al Qur’an akan selalu di butuhkan oleh segenap umat manusia mulai awal di turunkannya sampai nanti di akhir zaman, sebagai kitab yang menjadi dasar atau undang-undang bagi umatnya tentunya memiliki makna yang abstrak dan berbentuk isyarat-isyarat yang bisa di pahami oleh orang-orang tertentu yang mumpuni. Bagi umat muslim Al Qur’an tempat kembali untuk semua masalah, walaupun sering terjadi penafsiran-penafsiran yang tidak bertangung jawab atas Al Qur’an seperti yang sering kita saksikan saat ini, untuk mengantisipasi hal-hal tersebut adalah tugas kita umat Islam, modal awal dalam masalah ini ialah dengan mengkaji kembali historis dari ilmu penafsiran Al Qur’an dengan begitu wawasan kita tentang penafsiran Al Qur’an akan bertambah luas sehinga mempermudah kita dalam menghadapi perkembangan peradaban manusia serta merta kita bisa memperkecil segala bentuk konflik yang terjadi baik dalam bentuk sosial maupun keilmuan.
Dalam makalah ini kami akan berusaha untuk menelusuri kembali sejarah perkembangan tafsir Al Qur’an, dan juga sedikit membahas mengenai ta’rif, pembagian tafsir, metodologi tafsir serta tokoh-tokoh tafsir (mufassir). Mudah-mudahan bisa mempermudah kita di dalam memahami ilmu tafsir dari kajian historisnya yang akhirnya bisa menambah wawasan kita di dalam memahami Kalamulloh tersebut dari segi sejarah social, budaya, dan teknologi.

1. Sejarah Tafsir
Pada saat Al Qur’an di turunkan, Rosul SAW. yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rosul. Walaupun harus di akui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rosul sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al Qur’an.
Kalau pada masa Rosul para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan seperti Aly bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Ibnu Mas’ud.
Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah Nabi-Nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al Qur’an kepada tokoh-tokoh ahlul kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al Akhbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Israiliyyat.
Disamping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan di atas mempunyai murid-murid para tabi’in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi’in di kota-kota tersebut, seperti: (a) Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu Abbas. (b) Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka’ab. Dan (c) Al Hasan Al Bashri, Amir Al Sya’bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin Mas’ud.
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rosulullah, penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi’in, di kelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bi Al-Ma’tsur. Dan masa ini dapat di jadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.
Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi’in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir.
Pada mulanya usaha pentafsiran ayat-ayat Al Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang di kandung satu kosa kata. Namun sejalan dengan perkembangan zaman yang tak bisa di bendung lagi, Al Qur’an terus memberikan peluang berbagai macam pentafsiran, seperti yang di katakan oleh ‘Abdulloh Darras dalam An-Naba’ Al-Azhim: “Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.” Sehingga muncullah berbagai corak penafsiran antara lain: (a) corak sastra bahasa; (b) corak filsafat dan teologi; (c) corak penafsiran ilmiah; (d) corak fiqih atau hukum; (e) corak tasawuf; (f) corak sastra budaya kemasyarakatan.
Dari segi perkembangan kodifikasi (penulisan) penafsiran dapat di golongkan menjadi tiga periode: Periode I, yaitu pada masa Rosulullah SAW, sahabat, dan permulaan masa tabi’in, di mana tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan. Periode II, bermula dengan kodifikasi hadist secara resmi pada masa pemerintahan ‘Umar ibn Abdul ‘Aziz (99-101 H). Tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan penulisa hadist-hadist, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadist, walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah Tafsir bi Al Ma’tsur. Dan periode III, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh Al Farra’ (w.207 H). dengan kitabnya yang berjudul Ma’ani Al qur’an.
Di lain segi, sejarah perkembangan tafsir dapat pula ditinjau dari sudut metode penafsiran. Walaupun disadari bahwa setiap mufassir mempunyai metode yang berbeda-beda dalam perincianya dengan mufassir lain. Namun secara umum dapat diamati sejak periode ketiga dari penulisan kitab-kitab tafsir sampai tahun 1960, para mufassir menafsirkan ayat-ayat Alqur’an secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunan dalam mushaf. Penafsiran yang yang berdasarkan perurutan mushaf ini dapat menjadikan petunjuk-petunjuk Alqur’an terpisah-pisah , serta tidak disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan menyeluruh. Memang satu masalah dalam Al qur’an sering dikemukakan secara terpisah dan dalam beberapa surat. Ambilah dalam masalah riba, yang dikemukakan dalam surat Al Baqarah, Ali Imron, dan Ar Rum, sehinga untuk mengetahui pandangan Al Qur’an secara menyeluruh dibutuhkan pembahasan yang menyeluruh dan mencakup ayat-ayat tersebut dalam surat yang berbeda-beda. Disadari pula oleh para Ulama’ khususnya AL-Syathibi (w. 1388 M), bahwa setiap surat walaupun permasalahanya berbeda-beda, namun ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah tersebut. Dan pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsirnya, Tafsir Al qur’an Al karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syahibi tersebut Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut. Metode ini diberi nama (maudu’i).

Namun apa yang di tempuh oleh Syalthut belum menjadikan pembahasan mengenai petunjuk Al Qur’an yang dipaparkan secara menyeluruh, karena seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa satu masalah bisa ditemukan dalam berbagai surat. Atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di Mesir dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al Kumiy pada akhir tahun 60 an. Ide ini pada hakekatnya merupakan kelanjutan dari metode Mawdhu’iy mempunyai dua pengertian: pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Al Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menhubungkan persoalan-persoalan yang beranekan ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalah-masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Al Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat Al Qur’an dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk Al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.
Demikian perkembangan penafsiran Al-Qur’an darfi segi metode, yang dalam hal ini ditekankan menyangkut pandangan terhadap pemilihan ayat-ayat yang ditafsirkan (yaitu menurut urut-urutannya).

2. Pengertian tafsir
A. Menurut bahasa
Terjadi perbedaan pendapat, ada yang mengatakan bahwa tafsir berasal dari kata tafsiroh yang berarti yang berarti statoskop, yaitu alat yang dipakai oleh dokter untuk memeriksa orang sakit, yang berfungsi membuka dan menjelaskan, sehingga tafsir berarti penjelasan. Mufasir dengan tafsirnya dapat membuka arti ayat, kisah-kisah dan sebab-sebab turunnya (Az Zarkasyi, II, 1957: 147).
Menurut Syekh Manna’ul Qoththan, kata tafsir mengikuti wazan “taf’il”, dari kata “fasara” yang berarti menerangkan, membukan dan menjelaskan makna yang ma’qul (Manna’ul Qaththan, 1971: 277).
Dari beberapa pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan, bahwa tafsir berarti keterangan, penjelasan atau kupasan yang di pakai untuk menjelaskan maksud dari kata-kata yang sukar.
B. Menurut Istilah:
Pengertian tafsir menurut istilsh ada berbagai pendapat ulama’:
1. Menurut Abu Hayyan
Tafsir adalah menerangkan cara baca lafat-lafat ayat dan i’robnya serta menerangkan segi - segi sastra susunan Al-Qur'an dan isyarat - isyarat ilmiahnya.
2. Menurut Imam Al-Zarkasyi
Tafsir ialah menjelaskan petunjuk- petunjuk Al-Qur'an dan ajaran-ajaran hukum-hukum dan hikmah Allah di dalam mensyariatkan hukum-hukum kepada umat manusia dengan cara yang menarik hati, membuka jiwa, dan mendorong orang untuk mengikuti petunjuk-Nya. Pengertian inilah yang lebih layak disebut sebagai tafsir.
C. Persamaan dan Perbedaan Tafsir, Ta’wil, dan Tarjamah
Titik persamaannya: ketiga-tiganya menerangkan makna ayat- ayat Al-Qur'an. Titik perbedaannnya adalah sebagai berikut:
Tafsir: menjelaskan makna ayat yang kadang - kadang dengan panjang lebar, lengkap dengan penjelasan hukum - hukum dan hikmah yang dapat diambil dari ayat itu sering kali disertai dengan kesimpulan kandungan ayat-ayat tersebut.
Ta’wil: lafadz - lafadz ayat Al-Qur'an itu di alihkan dari arti yang dhohir dan rajih kepada arti lain yang samar dan marjuh / tidak kuat.
Terjemah: hanya mengubah kata - kata ayat dari bahasa arab ke dalam bahasa lain tanpa memberikan penjelasan arti kandungan secara panjang lebar dan tidak menyimpulkan dari isi kandungannya.

3. Pembagian Tafsir

I. Tafsir bi Al Ro’yi
Yaitu cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang di dasarkan atas sumber ijtihad dan pemikiran mufassir terhadap tuntutan kaidah bahasa Arab dan kesusastraannya, teori ilmu pengetahuan setelah dia menguasai sumber-sumber tadi.
Ulama’ berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya metode tafsir bi Al - Ro’yi. Sebagian ulama’ melarang penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan metode ini, sebagian yang lain memperbolehkannya. Rincian dari perbedaan ini hanyalah sebatas pada lafadz bukan hakikatnya. Dan golongan pertama tidak sampai melewati batas-batas ketentuan penafsiran. Sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa tiap-tiap golongan telah melewati batas, dengan alasan bahwa meniadakan ma’na dalam lafadz yang manqul adalah suatu hal yang berlebihan dan membahas penafsiran bagi semua orang adalah suatu perbuatan yang tercela. Akan tetapi kalau kita kaji lebih dalam perbedaan-perbedaan mereka kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa semuanya sepakat tidak di perbolehkannya menafsiri Al-Qur’an hanya dengan mengandalkan pendapat pribadi.
Sedangkan menurut Imam Al-Dzahabi dalam menanggapi permasalahan ini beliau berkata: Tafsir bi Al-Ro’yi ada dua:
1. dengan menggunakan kaidah bahasa arab, akan tetapi tetap mengikuti Al-Kitab dan sunnah serta tetap mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini diperbolehkan.
2. tidak memakai kaidah bahasa arab dan kaidah-kaidah ilmu syari’at serta tidak mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini sangat dibenci dan tidak di terima oleh para ulama’, seperti yang di sampaikan oleh Ibnu Mas’ud: “akan ada suatu kaum yang mengajak untuk memahami Al-Qur’an, akan tetapi mereka tidak mengamalkannya. Maka wajib bagi kalian untuk mendalami Al-Qur’an, dan menjauhi segala bentuk bid’ah”.
Kitab-kitab Tafsir bi Al-Ra’yi yang di Legalkan oleh Ulama’
Perpustakaan islam telah banyak mengoleksi kitab-kitab tafsir bi Al-Ro’yi yang di perbolehkan, yang sebagiannya telah di bukukan pada masa-masa awal termasuk kitab-kitab yang digunakan untuk mengalahkan ahli filsafah dan ahli kalam dan yang lain-lain.
Kitab-kitab tersebut antara lain:
1. Majazul Qur’an li Abi ‘Abidah Mu’ammar bin matsna at-Taimy (w. 210 H)
2. Mafatihul Ghoib li Rozi (w. 606 H)
3. Anwaruttanzil wa Asrorit Ta’wil lil Baidhowi (w. 685 H)
4. Al-Jami’ li Ahkami Al-Qur’an li Al-Qurthubi (w. 671 H)
Dan lain-lain

II. Tafsir bil Ma’tsur

Tafsir bil ma’tsur banyak disebut dalam Al qur’an antara lain penjelasan satu ayat dengan ayat lain, perincian satu ayat dengan ayat lain, seperti yang terjadi dalam hal bacaan , banyak sekali satu bacaan menafsiri bacaan lain. Dan banyak disebut dalam hadist-hadist Nabi seperti banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang disebut secara umum dan penjelasanya ada pada hadist Nabi maupun pendapat-pendapat yang dinukil dari para sahabat, jadi bisa disimpulkan bahwa Tafsir bil Ma’tsur adalah: Metode penafsiran ayat-ayat Al qur’an yang didasarkan atas sumber penafsiran Al qur’an dari Hadist dan riwayat para sahabat.
Adapun sumber penafsiran yang berasal dari Tabi’in terjadi perselisihan, menurut Ibn Jarir dan para pengikutnya dikatakan sebagai tafsir yang menengahi antara keduanya.
Tafsir bil Ma’tsur dibagi menjadi dua:
1. memiliki periwayatan dan dalil-dalil yang sah
2. memiliki periwayatan dan dalil-dalil yang tidak sah
Diantara kitab-kitabnya adalah:
1. Jami’ul Bayan fi Tafsir Alqur’an ibn Jarir (w.310 H)
2. Bahrul Ulum Assamarkandi (w.373H)
3.Tafsir ibn Katsir (w.774 H)
Dan lain-lain.
4. Tokoh-tokoh Tafsir yang Terkenal
I. Abdulloh bin Abbas
Beliau dilahirkan di Syi’bi tiga tahun sebelum hijrah, ada yang mengatakan lima tahun sebelum hijrah, dan wafat di kota Thoif pada tahun 65 H, dan ada yang mengatakan tahun 67 H, dan ‘Ulama’ Jumhur mengatakan beliau wafat pada tahun 68 H.
Beliau telah banyak melahirkan beberapa tafsir yang tidak terhitung jumlahnya, dan tafsiran beliau dikumpulkan dalam sebuah kitab yang diberi nama Tafsir ibnu Abbas. Di dalam kitab ini terdapat beberapa riwayat dan metode yang berbeda-beda, namun yang paling bagus adalah tafsir yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Tholhah Al Hasyimi.
II. Mujahid bin Jabr
Beliau dilahirkan pada tahun 21 H, pada masa ke pemimpinan Umar bin Khattob, dan wafat pada tahun 102/103 H. sedangkan menurut Yahya bin Qhatton, beliau wafat pada tahun 104 H.
Beliau termasuk tokoh tafsir di masa tabi’in sehingga beliau dikatakan tokoh paling ‘alim dalam bidang tafsir di masa tabi’in, dan pernah belajar tafsir kepada Ibnu Abbas sebanyak 30 kali.
III. Atthobari
Nama asli beliau bernama Muhammad bin Jarir, di lahirkan di Baghdad pada tahun 224 H, dan wafat pada tahun 310 H.
Karangan-karangan beliau ialah Jami’ul Bayan Fi Tafsiril Qur’an, Tarikhul Umam Al muluk dan masih banyak lagi yang belum disebutkan.
IV. Ibnu Katsir
Nama asli beliau adalah Isma’il bin Umar Al Qorsyi ibnu Katsir Al Bashri. Di lahirkan pada tahun 705 H. dan wafat pada tahun 774 H. beliau termasuk ahli dalam bidang fiqih, hadist, sejarah, dan tafsir.
Termasuk karangan-karangan beliau ialah Al Bidayah Wan Nihayah Fi Tarikhi, Al Ijtihad Fi Tholabil jihad, Tafsirul Qur’an, dan lain-lainnya.
V. Fakhruddin Ar Rozi
Nama aslinya ialah Muhammad bin Umar bin Al Hasan Attamimi Al Bakri Atthobaristani Ar Rozi Fakhruddin yang terkenal dengan sebutan Ibnul Khotib As Syafi’i.
Beliau dilahirkan di Royyi pada tahun 543 H. dan wafat pada tahun 606 H. di harrot. Beliau mengajar ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pasti, dan juga beliau mendalami ilmu filsafat dan mantiq.
Diantara karangan beliau ialah mafatihul Ghoib fi Tafsirul Qur’an, Al Muhasshol fi Ushulil Fiqh, Ta’jizul Falasifah dan lain-lainya.
Dan masih banyak tokoh-tokoh tafsir yang belum kami sebutkan, karena keterbatasan waktu yang kami miliki untuk menghimpun semuanya.

Perkembangan Metodologi Tafsir
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran islam. Kitab Suci itu, menempati sentral, bukan saja dalam perkembangan limu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat ini.
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju-mundurnya umat. Sekaligus, penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan seta corak pemikiran mereka.
Berikut ini akan dikemukakan selayang pandang tentang perkembangan metode penafsiran, keistimewaan, dan kelemahannya, menurut tinjauan kaca mata kita yang hidup pada abad ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), serta era globalisasi dan informasi.

Corak dan Metodologi Tafsir

1. corak ma’tsur (riwayat)
Bermacam-macam metodologi tafsir dan coraknya telah di perkenalkan dan di terapkan oleh pakar-pakar Al-Qur’an. Kalau kita mengamati metode penafsiran sahabat-sahabat Nabi SAW, ditemukan bahwa pada dasarnya – setelah gagal menemukan penjelasan Nabi saw. – mereka merujuk pada penggunaan bahasa dan syair-syair Arab.
Setelah masa sahabat pun, para tabi’in dan atba’ at-tabi’in, masih mengadalkan metode periwayatan dan kebahasaan seperti sebelumnya.
Kalaulah kita berpendapat bahwa Al-Farra’(w. 310 H) merupakan orang pertama yang mendiktekan tafsirnya Ma’aniy Al-Qur’an, maka dari tafsirnya kita dapat melihat bahwa faktor menjadi landasan yang sangat kokoh. Demikian pula Al-Thabari (w. 310H) yang memadukan antara riwayat dan bahasa.
Keistiwewaannya antara lain adalah:
1. Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Qur’an.
2. Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
3. Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasi terjerumus dalam subjektifitas berlebihan.
Di sisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang mengandalkan metode ini adalah:
1. Terjerumusnya sang mufassir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pesan-pesan pokok Al-Qur’an menjadi kabur di celah uraian itu.
2. Seringkali konteks turunya ayat (uraian asbabal-nuzul atau sisi kronologis turunya ayat-ayat hukum yang di pahami dari uraian nasikh/mansukh ) hampir dapat di katakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
Bahwa mereka mengandalkan bahasa serta menguraikan ketelitian adalah wajar. Karena, di samping penguasaan dan rasa bahasa mereka masih baik, juga karena mereka ingin membuktikan kemu’jizatan Al-Qur’an dari segi bahasanya . Namun, menerapkan metode ini serta membuktikan kemu’jizatan itu untuk masa kini, agaknya sangat sulit karena – jangankan kita di Indonesia ini – orang-orang Arab sendiri sudah kehilangan kemampuan dan rasa bahasa itu. Disamping itu di butuhkan penyeleksian yang cukup ketat terhadap riwayat-riwayat itu. Dan hal itu sangatlah sulit jika diterapkan untuk masa sekarang, sehingga menggunakan metode riwayat membutuhkan pengembangan, di seleksi yang cukup ketat.

Pengembangan ini tentunya dengan menggunakan nalar dan dari penalaran lahir metode tafsir bi ar-ro’yi.
3. Metode penalaran; pendekatan dan corak-coraknya.
a. Metode tahliliy
Banyak cara pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan nalar, sehingga akan sangat luas apabila kita bermaksud menelusuri satu demi satu. Untuk itu, agaknya akan lebih mudah dan efsien, bila bertitik tolak dari pandangan Al-Farmawi yang membagi metode tafsir menjadi empat macam metode, yaitu tahliliy, ijmaliy, muqaran, dan mawdhu'iy.
Yang paling populer dair keempat metode yang disebutkan itu adalah metode tahliliy/tajzi'iy, yaitu :satu metode tafsir yang mufassirnya beusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur'an dari berbagai seginya dengan memperhatiakn runtutan ayat-ayat Al-Qur'an sebagaimana yang tercantum di dalam mushaf.segala seg yang di anggap perlu oleh seorang mufassir tahliliy/tajzi'iy di uraikan, bermula dari kosakata, asbab al-nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat. Metode ini, walaupan di nilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali sau pokok bahasan di uraikan sisinya atau kelanjutannya, pada ayat lain.
Kelemahan lain yang di rasakan dalam metode ini,dan yang masih pelu di cari penyebabnya – apakah pada diri kita atau metode mereka – adalah bahwa bahasan-bahasannya di rasakan sebagai "mengikat" generasi berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka,sehingga uraian yang bersifat teoritis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandngan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat.

b. Metode Mawdhu'iy
"Istanthiq Al-Qur'an" ("Ajaklah Al-Qur'an berbicara" atau "biarkan ia menguraikan maksudnya") –konon itu pesan Ali ibn Abi Thalib.
Pesan ini antara lain mengharuskan penafsir untuk merujuk kepada Al-Qur'an dalam rangka memahami kandungannya. Dari sini lahir metode mawdhu'iy dimana mufassirnya berupaya menghimpun ayat-ayat Al-Qur'an dari berbagai surat dan yang berkaitan dengan persoalan atau topic yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian, penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Tafsir Dalam Era Globalisasi
Dr. Abdul Aziz kamil – mantan Menteri Waqaf dan Urusan Al-Azhar Mesir – menyinggung tentang hal-hal yang menjadi penekanan sementara penulis Islam baik muslim maupun non-muslim tentang apa yang dinamai "Al-Islam Al-Iqlimiy". Hal itu berarti bahwa setiap wilayah (kawasan atau lokasi) mengambil corak dan bentuk yang berbeda dengan lainnya, akibat perbedaan agama dan peradaban yang pernah hidup dan dianut oleh penduduk kawasan tersebut, sehingga pemahamannya terhadap Islam dipengaruhi sedikit atau banyak dengan budaya setempat.
Kalau pendapat diatas dapat di terima, itu berarti bahwa Islam Indonesia dapat berbeda dengan Islam Negara-negara lain, akibat perbedaan budaya dan peradaban.
Dari satu sisi, apa yang di tekankan diatas ada benarnya dan dapat di perkuat dengan kenyataan yang berkaitan dengan Al-Qur'an yang di yakini sebagai berdialog dengan seluruh manusia sepanjang masa. Dan tentunya, pemahaman manusia – termasuk terhadap Al-Qur'an – akan banyak di pengaruhi oleh budaya dan perkembangan masyarakatnya. Bahkan lebih dari itu, dalam Al-qur'an sendiri terdapat perbedaan-perbedaan, akibat perbedaan masyarakat yang di tumuinya. Hal ini dapat di rasakan dari adanya apa yang di namai Al-Ahruf As-Sab'ah yang oleh sementara ulama' dipahami sebagai adanya perbedaan bahasa atau dialek yang di benarkan oleh Allah akibat kesulitan-kasulitan masyarakat (suku) tertentu dalam membacanya bila hanya terbatas satu bahasa saja. Demikian juga, halnya dengan perbedaan qira'at yang di kenal luas dewasa ini.
Namun demikian, hemat kami, tidaklah wajar untuk menonjolkan segi-segi perbedaan tersebut, yang pada akhirnya menciptakan tafsir ala Indonesia, Mesir, atau kawasan lain. Ketidakwajaran ini bukan saja di sebabkan oleh adanya sekian banyak persamaan dalam bidang pandangan hidup umat Islam – akidah, syari'ah, dan akhlak – yang tentunya harus mempengaruhi pemikiran-pemikiran mereka sehingga dapat melahirkan persamaan pandangan dalam banyak bidang. Tetapi juga, dan yamg tidak kurang pentingnya, adalah kita semua hidup dalam era informasi dan globalisasi yang menjadikan dunia kita semakin menyempit dan penduduknya saling mempengaruhi.
Diakui bahwa setiap masyarakat mempunyai kekhususan-kekhususan. Nah, apakah cirri masyarakat Indonesia, yang membedakannya dari masyarakat-masyarakat lain dan yang mungkin akan menjadi bahan pertimbangan untuk meletakkan dasar-dasar penafsiran itu?
Ada yang berpendapat bahwa kekhususan tersebut adalah sebagai masyarakat plural. Tetapi, walaupun hal tersebut benar, hal ini bukan merupakan sesuatu yang khas Indonesia. Masyarakat Mesir, Syiria, dan India misalnya, juga merupakan masyarakat plural di mana berbagai etnis dan agama hidup berdampingan dengan segala suka-dukanya.
Menjadi kewajiban semua umaat Islam untuk "membumikan" Al-Qur'an, menjadikannya menyentuh realitas kehidupan. Kita semua berkewajiban memelihara Al-Qur'an dan salah satu bentuk pemeliharaannya adalah memfungsikannya dalam kehidupan kontemporer yakni dengan memberinya inte-pretasi yang sesuai tanpa mengorbankan kepribadian, budaya bangsa, dan perkembangan positif masyarakat.
BABII
Al-qur’an sebagaimana yang kita ketahui, merupakan sumber seluruh ilmu yang merupakan suatu hikmah dari manapun kita memandangnya. Bukti secara empiris dapat kita temukan dalam berbagai macam ilmu pengetahuan, keadaan sosial masyarakat dan juga peradaban bisa terwarnai oleh Al-qur’an, bahkan sains modern yang baru terpecahkan oleh kalangan intelektual telah disindir oleh Al-qur’an belasan abad yang lalu. Ini mencerminkan betapa Al-qur’an adalah satu-satunya sumber hukum secara aktual, yang pengaruhnya bisa dirasakan oleh berbagai kalangan, baik kalangan awam ataupun kalangan cendikiawan.
Pada pembahasan ini, kami bahas tentang pengaruh Al-qur’an terhadap aspek kehidupan manusia sejak alquran itu di turunkan dan kami paparkan pula, bagaimana Al-qur’an menjadi central bagi pengetahuan dan peradaban. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwasannya alquran di turunkan kepada Rasulullah dan terhadap kondisi masyarakat yang bobrok moralnya serta keadaan masyarakat yang terbelakang, namun demikian keadaan masyarakat arab pada waktu itu sudah cukup maju, hal ini disebabkan perdagangan yang sudah cukup terkenal di daerah-daerah jazirah arab, dan juga masyarakatnya pada waktu itu sangat terkenal dalam budaya sastranya, lebih-lebih masyarakatnya sangat menyukai syaur-syair puji-pujian terhadap dewanya atau hanya sebagai ungkapan kekaguman terhadap keindahan alam, ada juga sebagai gambaran dari perjuangan anggota suku yang sangat pemberani.tempat-tempat yang terkenal sebagai pusat-pusat perlombaan syair adalah pasar-pasar perdagangan.
Jadi sangat tidak mengherankan jika mu’jizat terbesar nabi Muhammad adalah Al-quran, dimana Al-quran adalah pedoman hidup bagi manusia yang disajikan dengan status sastra yang sangat tinggi, hal inipun sebagai tandingan terhadap syair-syair yang sudah berkembang pada saat itu,dan realitanya sampai saat ini tidak pernah ada syair yang bisa mengalahkan keindahan sastra alquran ini sebagai hujjah kuat bahwa nabi Muhammad dengan Al-qur’an sebagai pedoman hidup manusia serta aturan itu benar-benar datangnya dari Allah swt sebagai penguasa tertinggi jagad raya ini. Dan juga kitab suci ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia semenjak Al-qur’an itu di turunkan, terutama terhadap ilmu pengetahuan, peradaban serta akhlak manusia, sepanjang sejarah keemasan pada masa islam yang telah banyak menghasilkan karya yang monumental serta menjadi tonggak sumber pengetahuan sampai saat ini adalah karena pengaruh dari kitab suci ini yang menjadi inspirasi serta sumber yang sangat dalam kandunganya.
Harapan kami dengan adanya tulisan ini bisa menjadikan kita untuk lebih meyadari bahwa agama islam memiliki khazanah keilmuan yang sangat dalam untuk mengembangkan potensi yang ada di alam ini dan untuk menggali alquran sebagai langkah berpijak kita serta merupakan langkah awal untuk membuka cakrawala keilmuan kita, agar kita menjadi seorang muslim yang bijak sekaligus intelek amin…………
A.Pengertian Fenomenologis Al-qur’an
Fenomenologis berasal dari kata phenomenon yang mempunyai arti penampakan realitas dalam kesadaran manusia, fakta-fakta dan gejala-gejalanya, peristiwa-peristiwa adat serta bentuk keadaan yang dapat diamati dan dinilai lewat kacamata ilmiah. Dan logos yang berarti penjelasan atau ilmu.
Adapun istilah fenomenologis secara terminologi adalah suatu ilmu penetuan kesimpulan dari adanya gejala, atau arti lain aliran filsafat yang dipimpin oleh Edmun Husserl (1859-1938) tentang manusia dan kesadarannya, manusia yang tahu dan mengalami, atau pengetahuan yang kita miliki hanya pengetahuan yang dapat dicapai oleh kesadaran manusia.
Sedangkan kajian Al-qur’an dilihat dari segi fenomenologis adalah suatu pendekatan pemahaman Al-qur’an yang didasarkan pada sejauh mana Al-qur’an yang notabenenya sebagai sumber utama agama islam mempengaruhi peradaban islam khususnya dan kepada seluruh umat manusia pada umumnya.

B.Pengaruh-Pengaruh Al-qur’an
1. Ideologi
“Katakanlah ( hai Muhammad );dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah tuhan yang kepadanya bergantung segala sesuatu. Dia tidak beranak, dan tidak pula diperanakkan, dan tak ada apapun yang setara dengannya “.(Qs :.Al-ikhlas,1-4)
“Dialah Allah yang menciptakan segala sesuatu.( Qs :Ar-ra’ad ayat 18 )
“Dia (Allah) tidak terjangkau dengan penglihatan mata, namun Dia (Allah) menjangkau semua penglihatan, dan Dialah yang maha lembut lagi maha mengetahui segala kejadian”.(Qs.Al-an’am,103).
Ayat-ayat tersebut secara garis besar menggambarkan aqidah Ilahiyyah (keyakinan tentang ketuhanan) didalam islam. Itulah aqidah paling sempurna yang dapat diterima akal serta aqidah paling sempurna dalam agama.
Alam semesta adalah makhluk (ciptaan Allah), Allah yang menciptanya dan kembali kepada Allah, lenyap dan adanya alam semesta tergantung pada kehendak Allah. Demikianlah seorang muslim mengimani eksistensi tuhan.Akal tidak dapat mencapai tingkat kepercayaan melebihi tingkat kepercayaan yang ada pada agama islam.
Orang-orang zaman dahulu atau sebagian dari mereka berpendapat bulat bahwa tanda-tanda cakrawala seperti matahari, bulan, bintang, dan planet-planet lainnya adalah kekal dan tidak mungkin punah. Mengapa? Karena menurut mereka, semuanya itu berasal dari cahaya, dan cahaya adalah suatu substansi (jauhar) sederhana. Sedangkan substansi sederhana tidak terdiri dari beberapa unsur, karena itu ia tidak akan rusak atau punah.
Akan tetapi, dalam zaman kita dewasa ini kita dapat menyaksikan kenyataan, bahwa semua materi terdiri dari molekul-molekul atom dapat terbelah dan pecah, dan kemudian menjadi sinar atau cahaya,dari sinar atau cahaya itu terbentuklah elemen (anasir) dari elemen terbentuklah materi dan dari materi terbentuklah warna, rupa, tahap, dan keadaan.Semuanya adalah benda pertama atau materi yang dalam aliran filsafat kuno dikatakan sebagai sumber kerusakan dan kehancuran.
Semua agama mempercayai adanya hubungan antara pencipta dan makhluk ciptaannya. Akan tetapi membedakan hubungan antara Al-khalik dan makhluk-Nya dengan hubungan antara sebab dan musabbab yang bersifat materil, atau hubungan mekanik antara pendahuluan dan kesimpulan didalam analogi, sebab-sebab materil-betapapun hebatnya- tidak melahirkan kepercayaan dan tidak pula menimbulkan ketentraman iman dihati manusia
Al-qur’anulkarim dengan tegas menetapkan hubungan antara Alkhalik yang disembah dan makhluk atau para hamba-Nya yang menyembah. Qur’an tegas pula dalam memberikan dorongan kepada manusia supaya menolong diri sendiri, serta percaya kepada kekuatan yang ada pada mereka sendiri. Disamping itu tentu percaya dan bersandar pada kekuatan Ilahi yang diwujudkan dalam do’a dan sholat. Allah tidak menerima orang yang menyia-nyiakan kesanggupan dan kemampuan kerjanya, tetapi bersamaan dengan itu Allah juga tidak melarang hamba-Nya mengharapkan pertolongan kekuatan Ilahi pada saat ia sudah tidak berdaya lagi. Itulah batas terjauh mengenai kesabaran dan harapan yang di berikan oleh agama kepada manusia
2. Sosial
Al-Quran adalah kitab suci yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW yang mengandung petunjuk bagi umat manusia, Al-Quran diturunkan untuk menjadi pegangan bagi mereka yang ingin mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, tidak di turunkan untuk satu umat atau satu abad, tapi untuk seluruh umat manusia dan untuk sepanjang masa, karena itu luas ajaran-ajarannya adalah sama dengan luasnya manusia.
Ajaran-ajarannya begitu luas serta ditujukan kepada umat manusia dalam perikehidupan yang bagaimanapun juga, bagi kaum yang primitif maupun yang peradapannya tinggi. Bagi yang kaya maupun yang miskin, yang pandai atau yang bodoh, dan pokoknya untuk seluruh golongan masyarakat, meliputi segala lapangan kegiatan masyarakat.
Sewaktu Al-Quran di turunkan sekitar empat belas abad yang lalu, di dunia sudah terdapat banyak agama dan kitab yang dianggap suci oleh pengikutnya. Pada masa itu dunia berada pada jurang kehancuran, masa kebodohan yang sering disebut denagan zaman jahiliah (dark age) sehingga dalam hal ini Al-Quran sebagai kitab suci yang dijaga keotentikannya sangat urgen sekali kedudukannya dalam kehidupan.
Agama islam yang dibawa nabi Muhammad SAW yang berisikan undang-undang dari Allah SWT. Yakni Al-Quran telah membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia terutama bangsa arab dan mengeluarkan dari zaman kebodohan yang gemar menyembah patung menjadi percaya kepada keesaan Allah, hari kebangkitan, hal-hal yang ghaib,dll. Kitab suci Al-Quran benar-benar telah menghidupkan jiwa bangsa arab khususnya dan seluruh dunia umumnya.
Salah satu yang luar biasa dan menarik, seorang umar ibn khattab yang dengan keras menentang islam dapat luluh hatinya dan menyatakan islam hanya dengan membaca salah satu ayat dari alquran. Lalu misalnya lagi ketika perutusan najasi (negus, sebutan raja habsy) yang berkunjung ke madinah, itu terjadi setelah dan rombongan dari mekah hijrah ke madinah. Waktu itu rasullah di hadapan tamu-tamu beliau membacakan surat yasiin, tamu-tamu itu menangis lalu mengikrarkan keislamannya. Mereka bilang: alangkah prsisnya ini dengan yang dulu di turunkan kepada isa.
Pada peristiwa yang lain yaitu seputar surat rasul pada raja negos,rosul mengirim surat kepada raja negos setelah negos memebacanya ia menyuruh ja’far abi thalib untuk membacakan alquran di hadapan para rahib, ja’far memebaca surat maryam, mendengar itu orang-orang menangis dan menyatakan beriman kepada alquran .
Ada satu pengaruh lagi yang menunjol dari alquran, yaitu timbulnya kesadaran akan arti pentingnya disiplin dan ketaatan . islam melalui undang-undang Alloh yaitu Al-Quran meletakkan dasar-dasar umum masyarakat yang mengatur hubungan antara individu dengan individu ,antara individu deangan masyarakat ,antara kelompok masyarakat dengan dengan kelompok lain ,hukum keluarga sampai bernegara .islam pertama mengangkat derajat wanita memeberihak pada wanita ,islam juga ju ga menegakkan ajaran persamaan antara manusia dan memeberantas perbudakan.Al-Quran mengatur tentang HAM (hak asasi manusia ) ,menetapkan adanya keistimewaan yang berbeda-beda diantara manusia ,namun ketidaksamaan itu bukan disebabakan oleh fanatisme ras ,golongan, suku bangsa, ataupun derajat. Dalam hak dan kewajiban semua diatur sama oleh islam (Al-Quran ).
Al-Quran juga menuntut adanya musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan,seperti halnya yang telah dipraktekkan oleh negara dan masyarakat kita yang selalu mengedepankan musyawarah dalam pengambilan keputusan .
Dan perkara lain yang menunjukkan adanya pengaruh Al-Quran dalam kehidupan masyarakat adalah banyaknya halaqoh-halaqoh pengajian Al-Quran dimasyarakat, adanya madrasah-madrasah pendidikan Al-Quran disetiap permulaan dalam sebuah acara seperti pernikahan dll.
3. Sains
Lebih dari satu diadalam Al-qur’an menjelaskan bahwa Allah menundukkan matahari dan bulan bagi manusia. Hal ini memperpanjang harapan mereka dan memenuhi ambisinya dalam menaklukkan ruang angkasa, mendayagunakan energi matahari, serta mencapai bulan, bahkan suatu saat mendarat dimatahari. Allah berfirman
Dan Dia telah menundukkan ( pula ) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar ( dalam orbitnya ) ( Qs.Ibrahim:33 )
Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu, dan bintang-bintang ditundukkan ( untukmu ) dengan perintahnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda ( kekuasaan ) Allah bagi kamu yang memahaminya .(Qs. An-nahl:12)
Selain berbicara tentang matahari dan bulan, gunung juga disebutkan secara eksplisit dalam kitab suci Al-qur’an sebanyak 39 kali, dan secara implisit dalam 10 ayat lainnya.Dari 49 ayat Qur’an tersebut, 22 diantaranya menggambarkan gunung sebagai “ pasak atau tiang pancang yang memancangkan permukaan bumi kebawah dengan aman serta mengokohkannya agar tidak bergetar sama sekali”. Hal ini lalu tersingkap pada penghujung akhir tahun 1960-an oleh pakar keilmuan dalam kerangka kerja teori lempeng tektonik ( plate tetonics ).
Fakta bahwa kitab suci Al-qur’an yang telah diwahyukan 14 abad lalu yang menggambarkan gunung sebagai pasak menyatakan secara tidak langsung bahwa sebagian besar massa gunung berada dibawah permukaan bumi.Dan ilmu-ilmu bumi modern mempunyai bukti-bukti bahwa akar gunung yang terhunjam dalam, dapat mencapai 15 kali ketinggiannya diatas permukaan darat.Kembali, ayat-ayat Al-qur’an menunjukkan peranan utama gunung sebagai “ stabilisator permukaan bumi agar tidak bergetar sama sekali bersama kita”. Teori ini telah diketahui oleh nabi Muhammad SAW pada 14 abad lalu, sebagaimana sabdanya:
“ tatkala Allah menciptakan bumi, ia bergoyang dan menyentak lalu Allah menstabilkannya dengan gunung”.( Hadits Shoheh riwayat Ahmad/124 )
Bahwa gunung tidak saja merupakan peninggian yang terlihat pada permukaan bumi, tetapi perpanjangannya kebawah didalam lapisan kulit bumi ( dalam bentuk tiang pancang atau pasak ) sangat ditekankan. Baik yang tersembunyi didalam tanah maupun batu, untuk memegang salah satu ujung tenda ke permukaan bumi, maka sebagian besar gunung mestilah tersembunyi didalam lapisan perut bumi. Istilah “ tiang pancang “atau “ pasak” atau “akar” digunakan bagi gunung dijelaskan didalam surat An-naba’ ayat 6dan7.
“ bukankah kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan ? dan gunung-gunung sebagai pasak ?.”
Didalam Al-qur’an juga disebutkan proses terjadinya hujan, awan itu bermacam-macam dan sedikit diantaranya adalah awan yang menurunkan hujan menurut pakar observasion ( dengan alat-alat modern ).Salah satu awan tersebut adalah awan tebal ( cumulus clouds ) satu-satunya awan yang terkadang berkembang dengan izin Allah menjadi apa yang disebut dengan awan tebal mengandung hujan ( cumulus rain clouds ).Al-qur’an telah menjelaskan :
“ Tidakkah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan ….(QS.24:43)
Dalam bab Mu’jam Maqoyis Al-lughoh ( angin mengarak awan, angin mengiringnya secara perlahan ), dan dengan semacam itu,Ibnu manshur berkata pada kitab lisan Al-arab, bahwa Al-jauhari telah menafsirkan :aku mengarang sesuatu, yakni apabila aku mendorongnya dengan perlahan. Ibnu katsir berkata: Allah SWT menyebutkan bahwa Dia mengiring awan dengan kekuasaan-Nya, awal pertama kejadiannya dengan lemah ( perlahan-lahan ), itulah makna kata izjaa’un ( mengarak ). Para mufassirin menetapkan bahwa awan didorong oleh angin sedikit demi sedikit dan itu terjadi pada awal pembentukan (kejadian) awan. Apa yang disebutkan Ibnu katsir itulah para pakar meteorologi menetapkan awal kejadian awan tebal (cumulus clouds).
“…kemudian mengumpulkan antara bagian-bagiannya “(Qs.24:43)
Lafadz yang digunakan pada Al-qur’an ini ( allafa ) yang menunjukkan kepada fase kedua pada sistem pembentukan awan tebal( comulus clouds ) yang dibawahnya mengandung makna ilmiah yang dibuktikan oleh para pakar meteorologi.
Pada fase ini, awan-awan yang berbilang-bilang berkumpul agar menjadi satu awan dan pengumpulan antara awan-awan tersebut menjadikannya sebagai satu wujud awan saja.
Kata allafa menurut:
Ibnu al-jauzi:( menyatukan antara satu bagian dan lainnya )
At-thobari: Allah mengumpulkan air, maknanya bahwa ia mengumpulkan pecahan-pecahannya.
Kemudian menjadikannya bertindih-tindih. Kata ar-rukamaa’u secara etimologi adalah meletakkan sesuatu diatas yang lain (file up).
Al Isfahani berkata: kata al ‘ilfu maknanya adalah berkumpul dengan kokoh dan kata al mu’allifu adalah sesuatu yang dikumpulkan (disatukan) dari bagian-bagian yang bermacam-macam dan diatur dengan baik, mendahulukan sesuatu yang mesti didahulukan and mengakhiri sesuatu yang mesti diakhiri.
Pada fase ini, awan-awan berbilang-bilang berkumpul agar menjadi satu awan danpengumpulan antar awan-awan tersebut menjadikannya sebagai satu wujud awan saja
. “ Maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari cela-celanya (QS 24:43)
Kata alwadga (pada ayat tersebut) bermakna hujan, menurut jumhur (mayoritas) mufassirin, Ibnu Katsir berkata makna dari yakhruju min khilalihi adalah keluar dari cela-celanya,inilah yang diisyaratkan oleh ayat tersebut (QS 24:43), yang juga merupakan apa yang telah ditetapkan oleh pakar mereorologi dari fase-fase (prases) turunnya hujan pada awan tebal (cumulus cloud)
Dalam berbagai ayat, Al-Qur’an memberikan indikasi tentang jagat raya dengan segala bagian-bagiannya (langit, bumi, segala benda mati dan mahkluk hidup yang ada, serta serta berbagai fenomena jagat raya lainnya yang multidimensional). Isyarat-isyarat itu menunjukkan bukti ( istidlal ) atas kekuasaan Allah yang tidak terbatas, ilmu dan hikma-Nya yang sangat sempurna dalam menciptakan jagat raya in. Itu semua sebagai hujjah ( argumentasi ) terhadap orang-orang kafir, musyrik dan kaum skeptis, dan sekaligus mengukuhkan hakikat uluhiyah Allah, Rab alm semesta. Atas dasar itulah, maka ayat-ayat Al-Qur,an yang berbicara tentang jagat raya tidak datang lewat berita-berita ilmiah secara langsung, karena dua sebab
1. Bahwa al-Qur’an pada dasarnya adalah kitab hidayah (petunjuk), akidah, ahklak dan muamalah. Hidayah , aqidah, ahklak dan muamalah itu merupakan bagian dari persoalan yang konsep-konsepsinya yang saleh tidak mungkin bisa dicapai oleh seseorang dengan upaya sendiri.
Tetapi didalam mencapainya manusia senantiasa butuh kepada hidayah robbaniyyah dan wahyu samawi (dari langit).
2. Bahwa mengkaji jagat raya, meneliti sunnatullah yang ada dijagat raya, memfungsikan ilmu pengatahuan dan sunnatullah dalam membangun kehidupan, serta menjalankan kewajiban khalifa dimuka bumi, telah meninggalkan kesulitan bagi ijtihad manusia lewat observasi sistematik dan deduksi dialektik dalam tempo yang cukup lama mengingat kontiunitas Sunnatullah keterbatasan manusia dan watak akumulatif ilmu pengetahuan.
Mu’jizat Al-Qur’an masih terus dikisahkan dan ilmu dari waktu- kewaktu menyingkapkan kepada kita tentang berbagai mu’jizat tersebut. Maha benar Allah dengan firmannya:
‘’Kami akan memperlihatkan kepada mereka tentang bukti-bukti kebesaran kami dan dalam diri meraka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa sesungguhnya Al-Qur;an adalah kebenaran’’.(QS 41:53).
‘’Kami telah menurunkan kitab kepadamu yang menjadi penjelasan terhadap segala sesuatu, rahmat dan kabar gembira untuk ummat islam’’.(QS 16:89).
Fakta dan ayat-ayat ini betul-betul diyakini oleh para pendahulu kita dan ilmu menyingkapkan kepada kita salah satu segi keajaiban ilahi dan keajaiban Al-Qur;an dalam ayat-ayat ini. Auf bin Malik bin Abi Auf al-Asyja’i r.a.telah beriman dengan Al-Qur;an Al-Karim dan dengan semua yang telah dibawanya. Diriwayatkan, bahwa pada suatu waktu ia sakit, kepadanya ditanyakan apakah ia akan dirawat. Ia menjawab: “Beri saya air karena Allah telah berfirman :
‘’Dan kami telah menurunkan air yang banyak manfaatnya dari langit …’’.
(QS 50:9).
Beri saya madu karena Allah telah berfirman :
“….Didalamnya terdapat kesembuhan untuk manusia…” (QS 16:69).
Kemudian dia mengatakan supaya diberi minyak zaitun karena Allah SWT telah berfirman:
“Dari pohon zaitun yang banyak manfaatnya.”(QS24:35).
Semua permintaan ini lalu dikabulkan. Ia mencampurkan semua itu dan meminumnya , lalu ia sembu.
Tetapi karena Al-Qur’an itu kalamullah sedangkan yang menciptakan jagat raya adalah Allah dengan segala ilmu hikmah dan kekuasaan-Nya yang mustahil bertentangan dengan realitas penciptan-Nya, maka kandungan ayat-ayat Al-Qur’an yang memaparkan tentang jagat raya dan bagian-bagiannya itu pasti mengandung fakta-fakta ilmia yang baku. Jika kaum muslimin memahami dan memanfaatkan hal itu, niscaya mereka akan menjadi pelopor dalam setiap penemuan ilmiah. Sekurang-kurangnya terdapat 461 ayat kauniyah didalam Al- Qur’an yang membicarakan tentang bumi.
3. Ekonomi
Al-Qur’an diturunkan untuk memberikan hidayah, petunjuk, rahmat dan cahaya. Pada dasarnya inti dari Al-Qur’an adalah mengajarkan aqidah, ibadah dan akhlak ,juga mengandung hukum-hukum secara global. Pertama kali al-Qur,an diturunkan , telah membawa panji-panji keadilan yang mewarnai segala aspek kehidupan, juga dalam bidang bisnis , al-Qur’an menawarkan suatu bursa yang aman dan anti penipuan. Sebagaimana disinggung dalam firman Allah SWT:
‘’Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ( QS. 1:275 ).
Ekonomi islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan, sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syari’at Allah.
Aktifitas ekonomi seperti produksi, distribusi, dan komsumsi ekspor impor ,tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan bertujuan akhir untuk tuhan. Kalau seorang muslim bekerja dalam bidang produksi maka itu tidak lain karena ingin memenuhi perinta Allah. Sebagaimana firman-Nya :
‘’Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah disegala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezki-Nya dan hanya kepadanyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan’’.
Berbicara tentang kajian sistem ekonomi islam ,pada dasarnya sistem ekonomi islam itu dimulai sejak kedatangan islam itu sendiri yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW dari Allah SWT, utamanya sejak agama islam didukung oleh sebuah negara di kota Madinah. Sungguh sebuah fenomena sejarah menarik, ketika Rasulullah SAW telah sampai ke Madinah, pekarjaan pertama yang beliau lakukan setelah membangun mesjid sebagai gedung ibadah, pendidikan dan pemerintahan adalah membangun sebuah pasar untuk kaum muslimin dengan tujuan melepaskan mereka dari menopoli kaum yahudi dan penguasan mereka terhadap ekonomi kota Madinah, lalu Rasulullah SAW pengatur perdagangan sesuai peraturan-peraturan baru seperti kebebasan dagang, keadilan, pelarangan segala bentuk tipudaya, praktek menopoli , ketepatan timbangan dan segala keburukan sistem perdagangan yang ditumbuhkan oleh kaum yahudi dimana hal itu serupa dengan sistem ekonomi kapitalis modern.
Perbedaan islam dengan materialisme ialah bahwa islam tidak pernah memisahkan ekonomi dengan etika, sebagaimana tidak pernah memisahkan antara ilmu dengan ahlak ,politik dengan etika, perang dengan etika dan kerabat sedarah sedaging dengan kehidupan islam. Islam adalah risalah yang diturunkan Allah melalui rasul untuk membenahi akhlak manusia. Nabi SAW bersabda : “ sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan ahklak mulia “.
Islam juga tidak memisahkan agama dengan negara dan materi dengan spiritual sebagaimana yang dilakukan eropa dengan konsep sekularismenya. Islam juga berbeda dengan konsep kapitalisme yang memisahkan ahklak dengan ekonomi
Manusia muslim, indifidu maupun kelompok dalam lapangan ekonomi atau bisnis- disatu sisi diberi kebebasan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya,namun disisi lain ia terikat dengan iman dan etika, sehingga ia tidak bebas mutlak dalam menginvestasikan modalnya atau membelanjakan hartanya.
Dalam sejarah ekonomi modern (barat) , era merkantilisme, ajaran negara sebagai pedagang sama sekali tidak dapat dikatakan sebagai suatu mazhab ekonomi yang sadar akan dirinya sendiri, kerena para tokoh-tokohnya lebih dahulu ahli-ahli politik praktis, ahli-ahli negara dan pedagang –pedagang yang menulis untuk mempertahankan politik yang disukainya atau kepentingan yang meraka perjuangkan. Merkantilisme berkembang di Eropa pada abad ke-16 dan 17, dan tokoh-tokohnya adalah Jean Babtiste Colbert (1619-1683 M), Frederick agung dari Prusia, dan Cromwel dari Inggris, sedangkan aliran Fisiokrasi (abad 18) dengan tokoh-tokohnya Francois Quesnay (1694-1774 M) juga tidak dapat dikatakan sebagai sebuah sistem ekonomi yang utuh, namun sejarah ekonomi baru dapat dikatakan berdiri ditangan Adam Smith (1723-1729 M).
Para pakar ekonomi non muslim mengakui keunggulan sistem ekonomi islam , menurut mereka islam telah sukses menggabunkan etika dan ekonomi, sementara sistem kapitalis dan sosialis memisahkan keduanya.
Menurut J. Perth, kombinasi antara ekonomi dan etika ini bukanlah hal baru didalam islam. Sejak semula islam tidak mengenal pemisahan jasmani dan rohani. Prinsip sekularisme yang dilahirkan kaum protestan dengan resainsnya di eropa tidak dikenal dalam sejarah islam. Sebab, keuniversalan syri’at islam melarang berkembangnya ekonomi tanpa etika. Didalam sejarah islam , kita menemukan praktek- praktek bisnis yang menggabungkan etika dan ekonomi, terutama ketika Al-Qur’an benar-benar dujadikan pedoman utama dalam kehidupan sehari-hari.
Sebenarnya sudah banyak sistem ekonomi yang muncul dalam sejarah ummat manusia. Seperti yang dikenal dalam ekonomi umum , sistem anarkisme,feodalisme, kapitalisme, sosialisme, komunisme, fasisme.Dalam ini nampaknya terdapat kurangnya apresiasi sejarawan barat dalam memandang keberadaan sistem ekonomi islam.

4.Politik
Pengaruh ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW yang terangkum didalam Al-qur’an benar-benar merasuk kepada semua aspek kehidupan manusia, tak pelak lagi bidang politik pun juga sangat terpengaruh oleh ajaran ini. Hal ini dapat dilihat dari sejarah, bahwa bangsa arab sebelum islam, hidup bersuku-suku (kabilah-kabilah) dan berdiri sendiri, satu sama lain kadang-kadang saling bermusuhan. Mereka tidak mengenal rasa ikatan nasional, yang ada pada mereka hanya ikatan kabilah.Dasar perhubungan dalam kabilah itu adalah pertalian darah Rasa Ashabiyah ( kesukuan ) amat kuat dan mendalam pada mereka, serhingga bila mana terjadi salah seorang diantara mereka teraniaya maka seluruh anggota-anggota kabilah itu akan bangkit membelanya. Semboyan mereka “tolong saudaramu baik dia menganiaya / teraniaya”.
Sesudah bangsa arab memeluk agama islam kekabilahan itu ditinggalkan dan timbullah kesatuan persaudaraan dan kesatuan agama yaitu kesatuan umat manusia dibawah satu naungan panji kalimah syahadat. Dasar pertalian darah diganti dengan dasar pertalian agama. Demikian bangsa arab yang sebelumnya hidup bercerai berai ,berkelompok. Berkat agama islam mereka menjadi satu kesatuan bangsa, kesatuan umat yang mempunyai pemerintahan pusat dan mereka tunduk kepada satu hukum yaitu hukum Allah dan Rasul-Nya.
Hal ini amat sejalan dengan apa yang diterangkan Al-qur’an ketika awal daulah islam yaitu tepatnya di Madinah, kedaulatan ini seluruhnya dipegang oleh Rasulullah SAW baik pemerintah maupun keagamaan. Dan daulah ini sangat bersifat moral dan tidak ada kaitannya dengan metode konversional tentang pemaksaan oleh negara. Dalam pandangan ini, kepatuhan kepada negara islam semasa nabi bersifat sukarela. Setelah kematian beliau, bagaimanapun juga “otoritas politik yang memiliki kewenangan memaksa tampaknya tidak dapat dihindarkan meskipun itu kepemimpinan dapat terselesaikan dengan adanya kesepakatan yang layak isu-isu lain segera mengantarkan pada perang saudara dan runtuhnya negara ideal”.
Baru pada periode keempat penerus nabi (khulafaurrosyidiin) sebagai suatu periode dimana hanya terdapat sedikit perbedaan antara yang ideal dengan yang nyata. Namun dari keempat kholifah itu, hanya Abu Bakar (tahun 632-634 H) yangmeninggal dunia dengan wajar. Umar ibn Khottob (634-644 H) dibunuh oleh budak kristen milik gubernur Bashroh.yang ketiga adalah usman ibn affan (tahun 644-656 h) terbunuh dan rumahnya dijarah oleh para pemberontak yang menganggap pemerintahannya tiranik.dan yang terahir adalah aliibn thalib (656-661 h) menantu nabi di bunuh dalam perjalananya menuju masjid pada saat masyarakat islam semakin terprcah belah ole perselisihan.
Setelah pemerintahan sayyidina ali inilah puncak pemerintahan berpindah kepada tangan muawiyah dan pusat pemerintahan nya pun berpindah ke damaskus(syiria) ,sedangkan ciri pemerintahan pada saat ini adlah bahwa orang-orang yang duduk dalam pemerintahan adalah cenderung arab oriented,dan lebih menyinkirkan orang yang bukan arab dan pada masa ini pula ilmu pengetahuan berkembang pesat.lambat laun akibat kebijakan yang arab oriented ini memicu timbul nya pemberontakan dari abbasiah dan akhir bani umayah pun hancur dan digantikan oleh bani abbasiah,adapun pusatn pemerintahan berpindah ke bagdad.padsa masa inilah masa keemasan islam yang berlangsung selama 3 abad sampai akhirnya sistem kekholifahan ini berahir dimasa turki usmaniah tepatnya pada masa kekuasaan sultan mahmud II ( abad 18-19 ) pada abad 20 ini muncul pula tradisi untuk memunculkan kembali konsep kekholifahan dengan berbagai cara. Salah satunya muncul di Mesir, Rasyid Ridho seorang reformis mengajukan konsep tentang negara islam diajukan sebagai kesetaraan fungsional dari kekholifahan dan ditempat-tempat lain didunia islam muncul gejala yang sama dari para pemikir-pemikirnya diantara Hasan Al-banna dengan ikhwanul musliminnya sebagai keadaannya Kartosuwiryo dengan Darul Islamnya (DI).

5.Seni dan Budaya
Seni adalah keindahan ia merupakan ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung dan mengungkapka keindahan. Ia lahir dari sisi terdalam manusia didorong oleh kecendrungan seniman pada yang indah, apapun jenis keindahan itu. Dorongan tersebut merupakan naluri manusia, atau fitra yang dianuhgrakan Allah kepada hamba-hambanya.
Adalah merupakan satu hal yang mustahil bila Allah menganugerahkan manusia potensi untuk menikmati dan mengeksfresikan keindahan, kemudian Dia melarangnya. Bukankah islam agama fitrah ? segala yang bertentangan dengan fitrah ditolaknya, dan yang mendukung kesuciannya ditopangnya.
Kemampuan berseni merupan salah satu perbedaan manusia denga mahkluk lain. Jika demikian islam pasti mendukung kesenian selama penampilannya lahir dan mendukung fitrah manusia yang suciitu, dan karena itu pula islam bertemu dengan seni dalam jiwa manusia, sebagaimana seni ditemukan oleh jiwa manusia didalam islam.
Tetapi mengapa selama ini ada kesan bahwa islam menghambat perkembangan seni dan memusuhinya?
Islam dapat menerima semua hasil karya manusia selama sejalan dengan pandangan islam menyankut wujud alam raya ini. Namun demikian wajar dipertanyakan bagaimana sikap satu masyarakat dengan kreasi seninyayang tidak sejalan dengan budaya masyarakatnya ?.
Dalam konteks ini, perlu digaris bawahi bahwa, Al-Qur’an memerintahkan kaum muslimin untuk menegakkan kebajikan, memerintahkan perbuatan ma’ruf dan mencegah perbuatan mungkar.
Ma’ruf merupakan budaya masyarakat sejalan dengan nilai-nilai agama, sedangkan munkar adalah perbuatan yang tidak sejalan dengan budaya masyarakat .
Dari sini, setiap seorang muslim hendaknya memelihara budaya yang ma’ruf dan sejalan denga ajaran agama, dan ini akan mengantarkan mereka untuk memelihara hasil seni budaya setiap masyarakat. Seandainya pengaruh~apalagi yang negetif~dapat merusak adt istiadat serta kreasi seni dari satu masyarakat, maka kaum muslim didaerah itu harus tampil mempertahankan “ma’ruf” yang diakui oleh masyarakatnya, serta membendung setiap usaha~dari manapun datangnya yang dapat merongrong ma’ruf tersebut. Bukankah Al-Qur;an untuk menegakkan ma;ruf?!
Kita dapat menyimpulkan bahwa Al-Qur’an sangat menghargai segala kreasi manusia, termasuk kreasi yang lahir dari penghayatan rasa manusia terhadap seluruh wujud ini, selama kreasi tersebut sejalan dengan fitra kesucian jiwa manusia.
Sedangkan budaya berasal dari bahasa sansekerta yakni budhi { buddhaya adalah bentuk jamaknya } kebudayaan dapat diartikan pikiran dan akal.jadi kebudayaan adalah swegala pikiran dan perilaku manusia secara fungsional dan dis fungsional ditata dalam masyarakatnya .
Seperti telah kita ketahui bersama bahwa akhir-akhir ini seringkali mterjadi berbagai macam peristiwa yang menurut pandangan islam sangat bertentengan denga apa yang telah digariskan oleh islam .
Di indonesia yangmana penduduknya mayoritas memeluk agama islam dewasa ini serimg kita melihat penduduknya dijakan sebagai langganan oleh orang-orang non islam untuk mengikuti atau menerapkan kebudayaan mereka dikarenakan kelalaian kita sehingga umat islam banyak yang meniru kebudayaan mereka menurut ajaran islam merupakan suatu larangan yang harus kita hindari karena dikhawatirkan akan membawa dampak negatif bagi orang islam .
Kalau kita ingin meneliti lebih mendalam tentang perilaku-perilaku menyimpang , tentu tidak sulit bagi kita untuk mengetahuinya .Cukup dengan mengadakan riset dilimgkungan sekitar kita maka kita pasti akan menemukan hal-hal yang bertentangan ajaran islam, baik dari segi berperilaku, bergaul,berbusana, dan lain-lain.
Dizaman moderen ini dimana oraang –orang bisa melakukan aktifitasnnya dngan mudah, temasuk melakukan apa saja yang ingin dalakukannya ,suatu mi sal dengan adanya komputer manusia dapat mengakses semua yang ada di bumi in I dengan mudah, sehingga mereka mampu menciptakan hal-hal yang baru yang seseuai dengan keinginannya.
Perlu diketahui bahwa semua kemodernan yang telah ditemukan tersebut tidak lain merupakan anugerah dari Allah SWT,oleh karna itu kita wajib mensyukurinya.
Perlu digaris bawahi bahwa budaya asing yang kebanyakan akan merusak moral umat islam sudah merajalela di negara kita, dimana mereka berusaha mentransferkan budaya mereka melalui beberapa cara, diantaranya melalui medi menerapkan budaya mereka sehingga pada saat ini bisa dikatakan bahwa umat islam tidak lagi berperilaku islami, mereka mengaku umat islam tetapi mereka a cetak,medi
ia elektronik,media massa,dan lain-lain.Dengan mudah mereka tidak melaksanakan ajaran islam dan akhirnya kita akan mengalami seperti yang telah difirmankan oleh Allah dalam surat Ar-ruum, ayat 41:
ظهر الفساد فى البر و البحرى بما كسبت ايدى الناس ليذيقهم بعض الذى عملوا لعلهم يرجعون
“Telah nampak kerusakan didarat dan dilaut disebabkan karena perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari(akibat) perbuatan mereka”.
Adalah suatu kemustahilan, jika Al-qur’an adalah hasil rekayasa nabi Muhammad , seperti yang telah dituduhkan oleh musuh-musuh islam, suatu tuduhan yang tidak mempunyai bukti-bukti rasional.
Oleh karena itu, pada makalah ini kami coba mengulas pengaruh-pengaruh Al-qur’an dalam berbagai aspek kehidupan seperti idiologi, sosial,sains, ekonomi, politik, dan seni budaya, akan tetapi tujuan utama makalah ini ialah kami hanya hendak membuktikan kebenaran Qur’an ,bahwa Al-qur’an benar-benar terbukti sebagai pedoman yang datang langsung dari Allah SWT yang dapat mencakup seluruh bidang kehidupan .
Mungkin jauh dari sempurna pada apa yang telah kami paparkan, namun bukankah baju yang indah berasal dari satu benang yang digabungkan dengan benang-benang yang lain ? dan bukankah angka 10 berasal dari angka 1 yang ditambah angka-angka yang lain?
Kami merasa telah berhasil mencapai maksud yang kami inginkan , jika kami berhasil meyakinkan bahwa masyarakat islam tetap memerlukan akidah dan mereka tidak akan dapat memilih bagi diri mereka sendiri akidah lain yang lebih mudah, lebih longgar, dan lebih baik dari pada akidah yang telah menjadi keyakinan mereka.

Tidak ada komentar: