Mengenai Saya

Foto saya
Science without religion is blind and Religion without science is lame

Jumat, 15 April 2011

>UU No 17 tentang haji

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 1999
TENTANG
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ES A
PRESIDEN REPUBIIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa negara Republik Indonesia menjamin kemerdekaan warga negaranya untuk beribadah menurut
agamanya masing-masing;
b. bahwa ibadah baji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam yang
mampu menunaikannya;
c. bahwa upaya penyempumaan sistem dan manajemen penyelenggaraan ibadah baji perlu terus ditingkatkan agar
pelaksanaan ibadah haji berjalan aman, tertib, dan lancar sesuai dengan tuntunan agama;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c perlu dibentuk Undang-undang
tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji;

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi
Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara;
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun
1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
4. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 33,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3474);
5. Undang-undang Non1or 14 Tahun 1992 tentang La1u Lintas dan Angkutan Ja1an (r..embaran Negara Tahun
1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3480);
6. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3481);
7. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pe1ayaran (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 98,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3493);
8. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
Dengan persetujuan

DEW AN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG P ENYELE NGGARAAN II IBADAH HAJI .
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
1. Warga negara adalah warga negara Republik Indonesia.
2. Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia.
3. Ibadah haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam yang mampu
menunaikannya.
4. Penyelenggaraan ibadah haji adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan
pelaksanaan ibadah haji.
5. Calon jemaah haji adalah warga Negara yang beragama Islam, memenuhi syarat, dan telah dan telah
mendaftarkan diri untuk menunaikan ibadah haji sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
6. Jemaah haji adalah jemaah yang sedang atau yang telah selesai menunaikan ibadah haji pada musim haji tahun
yang bersangkutan.
7. Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang selanjutnya disebut BPIH, adalah sejumlah dana yang harus dibayar
oleh calon jemaah haji untuk menunaikan ibadah haji.
8. Pembinaan ibadah haji adalah rangkaian kegiatan yang mencakup penerangan, penyuluhan, dan pembimbingan
tentang ibadah haji.
9. Pelayanan kesehatan adalah pemeriksaan, perawatan, dan pemeliharaan kesehatan calon jemaah haji dan jemaah
haji.
10. Paspor haji adalah paspor yang diberikan kepada calon jemaah haji dalam menunaikan ibadah haji.
11. Akomodasi adalah tempat penginapan atau pengasramaan sebagai penampungan sementara pada waktu jemaah
haji di tempat embarkasi dan/atau di tempat debarkasi dan pemondokan selama berada di Arab Saudi.
12. Transportasi adalah pengangkutan jemaah haji mulai dari tempat embarkasi, se1ama berada di Arab Saudi, dan
pemu1angan kembali ke tempat embarkasi asal di Indonesia.
13. Musim haji adalah jangka waktu tenentu yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan
ibadah haji.
14. Penyelenggara Ibadah Haji Khusus adalah penyelenggara ibadah haji dengan pelayanan khusus.
15. Ibadah umrah adalah umrah yang di1aksanakan di luar musim haji.
16. Dana Abadi Umat adalah sejunilah dana yang diperoleh dari hasil efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji
dan dari sumber lain.
17. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang agama.
Pasal 2
Setiap warga negara yang beragama Islam memptmyai hak untuk menunaikan ibadah haji.
Pasal 3
Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dengan menyediakan fasilitas,
kemudahan, keamanan, dan kenyamanan yang diperlukan oleh setiap warga negara yang menunaikan ibadah haji.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 4
Penyelenggaraan ibadah haji berdasarkan asas keadilan memperoleh kesempatan, perlindungan, dan kepastian
hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 5
Penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan yang sebaikbaiknya
melalui sistem dan manajemen penyelenggaraan yang baik agar pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan
dengan aman, tertib, lancar, dan nyaman sesuai dengan tuntunan agama serta jemaah haji dapat melaksanakan
ibadah secara mandiri sehingga diperoleh haji mabrur.

BAB III
PENGORGANISASIAN
Pasal 6
(1) Penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab Pemerintah di bawah
koordinasi Menteri.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan koordinasi dan/atau
bekerja sama dengan departemen/lembaga/instansi terkait dan Pemerintah Arab Saudi.
(3) Penyelenggara ibadah haji adalah Pemerintah dan/atau masyarakat.
(4) Persyaratan penye1enggara dan jenis kegiatan penye1enggaraan ibadah haji yang dapat di1aksanakan oleh
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan keputusan Menteri.
Pasal 7
Koordinasi penyeIenggaraan ibadah haji diIaksanakan :
a. di tingkat pusat oleh Menteri;
b. di tingkat daerah oleh gubernur/kepala daerah tingkat I untuk tingkat propinsi dan bupati/walikotamadya daerah
tingkat II untuk tingkat kabupaten/kotamadya;
c. di Arab Saudi oleh Kepala PerwakiIan Republik Indonesia.
Pasal 8
(1) Menteri dapat membentuk panitia penyelenggara ibadah haji di tingkat Pusat, di tingkat daerah, dan di Arab
Saudi sesuai dengan kebutuhan.
(2) Dalam rangka penye1enggaraan ibadah haji, Menteri menunjuk petugas operasional yang menyertai jemaah
haji, yang terdiri atas :
a. Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia, yang disingkat TPIHI;
b. Tim Kesehatan Haji Indonesia, yang disingkat TKHI;
c. Tim Pemandu Haji Indonesia yang disingkai TPHI.

BAB IV
BIAYA PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
Pasal 9
(1) Besarnya BPIH ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia.
(2) BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk keperluan penyelenggaraan ibadah haji .
(3) Pengadministrasian BPIH diatur dengan keputusan Menteri.
Pasal 10
(1) Pembayaran BPIH dilakukan kepada rekening Menteri melalui bank-bank pemerintah dan/atau bank swasta
yang ditunjuk oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan Gubernur Bank Indonesia.
(2) Penerimaan pembayaran BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di1akukan dengan memperhatikan
ketentuan kuota yang telah ditetapkan.
(3) Pengembalian BPIH diberikan kepada calon jemaah haji dalam ha1 :
a. meninggal dunia sebelum berangkat menunaikan ibadah haji;
b. batal keberangkatannya karena alasan kesehatan atau a1asan lain yang sah.
(4) Tata cara pengemba1ian dan jumlah BP1H yang dikembalikan diatur melalui keputusan Menteri.
Pasal 1l
(1) Dalam rangka pengelolaan Dana Abadi Umat sebagaimana dimaksud dalam Pasat 1 butir 16 secara lebih
berdaya guna dan berhasil guna untuk kemaslahatan umat, Pemerintah membentuk Badan Penge1ola Dana
Abadi Umat yang diketuai oleh Menteri.
(2) Badan Pengelola Dana Abadi Umat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas, Dewan Pengawas dan
Dewan Pelaksana. yang keanggotaannya ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri.
(3) Badan Pengelola Dana Abadi Umat mempunyai tugas pokok :
a. merencanakan. Mengorganisasikan, mengelola, dan memanfaatkan dana abadi umat;
b. menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya setiap tahun kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas Badan Pengelola Dana Abadi Umat ditetapkan oleh
Menteri.

BAB V
PENDAFTARAN
Pasal 12
(1) Setiap warga negara yang akan menunaikan ibadah haji diwajibkan untuk mendaftarkan diri kepada instansi
yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Tata cara dan persyaratan serta jangka waktu pendaftaran pada setiap musimhaji ditetapkan oleh Menteri
Pengaturan warga negara di luar negeri yang hendak menunaikan ibadah haji diatur lebih lanjut dengan
keputusan Menteri.
Pasal 14
(1) Dalam rangka pengaturan kuota nasional, Menteri menetapkan kuota untuk setiap propinsi dengan
memperhatikan prinsip keadilan dan proporsional.
(2) Gubemur/kepala daerah tingkat I se1aku koordinator menetapkan kuota untuk kabupaten/kotamadya.
(3) Dalam hal kuota nasiona1 tidak terpenuhi pada hari penutupan pendaftaran, Menteri dapat memperpanjang
masa pendaftaran dengan menggunakan kuota bebas secara nasiona1.
Pasal 15
(1) Menteri berkewajiban menetapkan po1a dan tata cara pembinaan ca1on jemaah haji dan jemaah haji.
(2) Menteri berkewajiban menerbitkan pedoman manasik dan panduan perja1anan ibadah haji.
(3) Pembinaan di1akukan demi keselamatan, ke1ancaran, ketertiban, dan kesejahteraan jemaah haji serta demi
kesempurnaan ibadah haji tanpa memungut biaya tambahan di luar BPIH yang te1ah ditetapkan.

BAB VI
KESEHATAN
Pasal 16
(1) Pembinaan dan pelayanan kesehatan haji, baik pada saat persiapan maupun pe1aksanaan penyelenggaraan
ibadah haji, di1akukan oleh Menteri yang mang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang
kesehatan.
(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri yang ruang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kesehatan.
BAB VIII
KEIMIGRAS IAN
Pasal 17
(1) Setiap warga negara yang akan menunaikan ibadah haji menggunakan paspor haji yang dikeluarkan oleh
Menteri.
(2) Menteri dapat menunjuk pejabat untuk dan/atau atas namanya menandatangani paspor haji.
BAB IX
TRANSPORTASI
Pasal 18
Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perhubungan mengkoordinasikan dan
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan penyelenggaraan transportasi jemaah haji yang meliputi pemberangkatan
dari tempat embarkasi ke Arab Saudi dan pemulangan ke tempat embarkasi asal di Indonesia.
Pasal 19
Pelaksanaan transportasi jemaah haji di Arab Saudi di bawah koordinasi dan tanggung jawab Menteri.
Pasal 20
Penunjukan pelaksana transportasi jemaah haji dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan keselamatan,
efisiensi, dan kenyananan.
BAB X
BARANG BAWAAN
Pasal 21
(1) Jemaah haji dapat membawa barang bawaan ke luar negeri dan/atau dari luar negeri sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
(2) Pemeriksaan atas barang bawaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri yang ruang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang keuangan.
BAB XI
AKOMODASI
Pasal 22
(1) Menteri berkewajiban menyediakan akomodasi bagi jemaah haji tanpa biaya tambahan di luar BPIH.
(2) Pengadaan akomodasi bagi jemaah haji dilakukan dengan memperhatikan syarat.syarat kesehatan, kenyaman,
kemudahan, dan keamanan jemaah haji beserta barang bawaannya.
BAB XII
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI KHUSUS
Pasal 23
(1) Dalam upaya meningkatkan penyelenggaraan ibadah haji bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan
khusus, dapat diselenggarakan pelayanan ibadah haji khusus.
(2) Penyelenggara Ibadah Haji Khusus ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 24
(1) Penyelenggara Ibadah Haji Khusus wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. hanya menerima pendaftaran dan melayani calon jemaah haji yang menggunakan paspor haji;
b. menyediakan petugas pembimbing ibadah dan kesehatan;
c. melapor kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi pada saat datang di Arab Saudi dan pada
saat akan kembali ke Indonesia;
d. memberangkatkan dan memulangkan jemaahnya sesuai dengan ketentuan penyelenggaraan ibadah haji
khusus dan perjanjian yang disepakati kedua belah pihak meliputi hak dan kewajiban masing-masing.
(2) Ketentuan tentang penyelenggaraan ibadah haji khusus diatur lebih lanjut dengan keputusan Menteri.
(3) Penyelenggara Ibadah Haji Khusus yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan;
b. pencabutan izin penyelenggara;
c. pencabutan izin usaha.
BAB XIII
PENYELENGGARAAN PER.JALANAN IBADAH UMRAH
Pasal 25
(1) Perjalanan ibadah umrah dapat dilakukan secara perseorangan atau rombongan.
(2) Perjalanan ibadah umrah dapat :
a. diurus sendiri; atau
b. diuruskan oleh penyelenggara perja1anan ibadah umrah.
(3) Penyelenggara perjalanan ibadah umrah ada1ah masyarakat dan ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 26
(1) Penyelenggara perja1anan ibadah umrah wajib:
a. menyediakan petugas pembimbing ibadah dan kesehatan;
b. melapor kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi pada saat datang di Arab Saudidan pada saat
akan kembali ke Indonesia;
c. memberangkatkan dan memulangkan jemaahnya sesuai dengan ketentuan perja1anan ibadah umrah dan
perjanjian yang disepakati kedua belah pihak meliputi hak dan kewajiban masing-masing.
(2) Ketentuan tentang penyelenggaraan perja1anan ibadah umrah diatur lebih lanjut dengan keputusan Menteri.
(3) Penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat djkenai sanksi administratif berupa :
a. peringatan;
b. pencabutan izin penyeltnggara;
c. pencabutan izin usaha.
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA.
Pasal 27
(1) Barangsiapa yang dengan sengaja bertindak sebagai penerima pembayaran BPIH sebagaimana dimaksud dalam
Pasa1 10 ayat (1) dan/atau bertindak sebagai penerima pendaftaran ca1on haji sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1), padaha1 dia tidak berhak untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Barangsiapa yang dengan sengaja bertindak sebagai penyelenggara perjalanan ibadah umrah dengan
mengumpulkan dan/atau memberangkatkan jemaah sebagaimana dimaksud dalam Pasa1 25 ayat (3), padahal
dia tidak berhak untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda pa1ing
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 28
(1) Penye1enggara ibadah haji khusus yang tidak me1aksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasa1 24
ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
(2) Penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud da1am
Pasa1 26 ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 29
(1) Hal-ha1 yang belum diatur dalam undang-undang ini akan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan
1ainnya.
(2) Dengan berlakunya undang-undang ini, segala ketentuan mengenai penyelenggaraan ibadah haji dan
penye1enggaraan perjalanan ibadah umrah yang bertentangan dengan undang-undang ini dinyatakan tidak
berlaku.
(3) Pada saat mu1ai berlakunya undang-undang ini, Ordonansi Haji (Pelgrims Ordonnantie Staatsblaad Tahun
1922 Nomor 698) termasuk segala perubahan dan tambahannya dinyatakan tidak berlaku.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
Undang-undang ini mu1ai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal. 3 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
AKBAR TANDJUNG
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 53
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 1999
TENTANG
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
I. UMUM
Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam yang memenuhi kriteria istitha
' ah, antara lain mampu secara materi, fisik, dan mental. Bagi bangsa Indonesia, penyelenggaraan ibadah haji
merupakan tugas nasional karena di samping menyangkut kesejahteraan lahir-batin jemaah haji, juga menyangkut
nama baik dan martabat bangsa Indonesia di luar negeri, khususnya di Arab Saudi. Mengingat pelaksanaannya
bersifat massal dan berlangsung dalam jangka waktu yang terbatas, penyelenggaraan ibadah haji memerlukan
manajemen yang baik agar tertib, aman, dan lancar.
Peningkatan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan terhadap jemaah haji diupayakan melalui penyempurnaan
sistem dan manajemen penyelenggaraan ibadah haji. Penyempurnaan sistem dan manajemen tersebut dimaksudkan
agar calon jemaah haji/jemaah haji lebih siap dan mandiri dalam menunaikan ibadah haji sesuai dengan tuntunan
agama sehingga diperoleh haji mabrur. Upaya peningkatan dan penyempurnaan tersebut dilaksanakan dari tahun ke
tahun agar tidak terulang kembali kesalahan dan/atau kekurangan yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Untuk tercapainya maksud tersebut, diperlukan suasana yang kondusif bagi warga negara yang akan melaksanakan
ibadah haji. Suasana kondusif tersebut dapat dicapai apabila pihak penyelenggara ibadah haji mampu memberikan
pembinaan, pelayanan, dan perlindungan kepada calon jemaah haji dan jemaah haji. Pembinaan meliputi
pembimbingan, penyuluhan, dan penerangan; pelayanan meliputi pelayanan administrasi, transportasi, kesehatan,
dan akomodasi; perlindungan meliputi perlindungan keselamatan dan keamanan, perlindungan memperoleh
kesempatan untuk menunaikan ibadah haji, serta penetapan BPIH yang terjangkau oleh calon jemaah haji.
Sehubungan dengan itu, penyelenggara ibadah haji berkewajiban melaksanakan pembinaan, pelayanan, dan
perlindungan secara baik dengan menyediakan fasilitas dan kemudahan yang diperlukan calon jemaah haji/jemaah
haji.
Mengingat penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional dan menyangkut martabat serta nama baik
bangsa, kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji merupakan tanggung jawab Pemerintah.
Keikutsertaan masyarakat da1am penyelenggaraan ibadah haji merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistan
dan manajemen penyelenggaraan ibadah haji.
Berkaitan erat dengan penyelenggaraan ibadah haji adalah penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah. Mengingat
minat masyarakat untuk menunaikan ibadah umrah cukup besar serta da1am rangka untuk memberikan pembinaan,
pelayanan, dan perlindungan kepada calon jemaah umrah dan/atau jemaah umrah, maka undang-undang ini juga
mengatur penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah.
Selama ini peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan ibadah haji sebagaimana tercantum dalam
Pelgrims Ordonnantie 1922 termasuk perubahan serta tambahannya dan Pelgrims Verordening tahun 1938, dan
berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelenggaraan ibadah haji dan penyelenggaraan
perjalanan ibadah umrah, antara lain :
1. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1960 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji;
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 1964 tentang Penye1enggaraan Urusan Haji secara
Interdepartemental;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1969 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji oleh
Pemerintah;
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 1981 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 1983 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah
Umrah;
6. Keputusan PresidenRepublikIndonesia Nomor 62 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah
Umrah;
sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, untuk
menjamin kualitas pembinaan, pelayanan, dan perlindungan yang merupakan kebutuhan mendasar dalam
penyelenggaraan ibadah haji dan peraturan perundang-undangan yang berlaku selama ini perlu disesuaikan dan
ditingkatkan menjadi undang-undang. Dengan demikian, Undang-undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
sudah saatnya untuk diwujudkan.
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Pe1aksanaan hak untuk menunaikan ibadah haji didasarkan pada prinsip keadilan dan pemerataan yang diatur lebih
lanjut dengan keputusan Menteri.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pemerintah dapat membentuk Badan Penyelenggara lbadah Haji sesuai dengan kebutuhan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasa1 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)" .
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Penunjukan Tim Kesehatan Haji Indonesia dilakukan oleh Menteri atas usul menteri yang ruang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya meliputi bidang kesehatan.
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dilaksanakan setiap tahun oleh komisi di dalam DPR-RI
yang membidangi agama.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Menteri pada rekening Menteri adalah menteri sebagai lembaga, yang dalam
pelaksanaannya Menteri dapat menunjuk pejabat di lingkungan tugas dan wewenangnya bertindak untuk dan/atau
atas namanya.
Pertimbangan oleh Gubemur Bank Indonesia dimaksudkan dalam rangka memberikan jaminan keamanan BPIH
yang disetorkan oleh calon jemaah haji pada bank-bank pemerintah dan/atau bank swasta nasional yang ditunjuk
sehingga dapat memberikan kepastian keberangkatan bagi calon jemaah haji.
Ayat (2)
Yang dimaksud kuota adalah kuota nasional yang merupakan batas rnaksimal jumlah jemaah haji Indonesia pada
tahun yang bersangkutan.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan meninggal dunia sebelum berangkat menunaikan ibadah haji adalah meninggal dunia
sebelum bertolak dari tempat embarkasi menuju Arab Saudi.
Huruf b
Apabila daJam pemeriksaan kesehatan yang dilakukan pada saat akan berangkat temyata calon jemaah haji
menderita suatu penyakit yang diperkirakan dapat mengganggu pelaksanaan ibadah haji atau sedang dalam keadaan
hamil, batal keberangkatannya.
Yang dimaksud dengan batal karena alasan lain yang sah di antaranya karena mengundurkan diri memberikan
identitas palsu, dan/atau dicekal.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengelolaan Dana Abadi Umat secara lebih berdaya guna dan berhasil guna untuk
kemaslahatan umat adalah segala sesuatu yang dapat menunjang kemajuan dan/atau kesejahteraan umat, antara lain
di bidang pendidikan dan dakwah, kesehatan, sosial, ekonomi, pembangunan sarana dan prasarana ibadah, serta
penyelenggaraan ibadah haji.
Ayat (2)
Susunan keanggotaan Badan Pengelola Dana Abadi Umat terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat.
Susunan keanggotaan Dewan Pengawas terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah.
Susunan keanggotaan Dewan Pelaksana terdiri atas unsur pemerintah.
Menteri perlu mendengarkan pertimbangan lembaga atau organisasi Is1am dalam mengusulkan susunan
keanggotaan Badan Pengelola Dana Abadi Umat.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada ayat ini adalah komisi di dalam DPRRI
yang membidangi agama.
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kuota nasional adalah jum1ah maksimal warga negara yang dapat mendaftarkan diri untuk
menunaikan ibadah haji pada tahun yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan kuota propinsi adalah jumlah maksimal penduduk pada suatu propinsi yang dapat
mendaftarkan diri untuk menunaikan ibadah haji pada tahun yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan prinsip keadilan dan proporsional dalam menetapkan kuota propinsi adalah prinsip
penetapan kuota oleh Menteri dengan memperhatikan jum1ah pendaftar pada tahun- tahun sebelumnya dan jumlah
penduduk pada setiap propinsi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kuota kabupaten/kotamadya adalah jumlah maksimal penduduk pada suatu
kabupaten/kotamadya yang dapat mendaftarkan diri untuk menunaikan ibadah haji pada tahun yang bersangkutan.
Dalam menetapkan kuota kabupaten/kotamadya, gubernur/kepala daerah tingkat 1 memperhatikan prinsip keadilan
dan proporsional, yaitu memperhatikan jum1ah pendaftar pada tahun-tahun sebelumnya dan jumlah penduduk pada
setiap kabupaten/kotamadya.
Ayat (3)
Yang dimaksud pendaftaran dengan menggunakan kuota bebas secara nasional adalah pendaftaran yang tidak terikat
lagi pada ketentuan kuota propinsi dan/atau kabupaten/kotamadya dalam hal kuota nasional belum terpenuhi.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Paspor haji merupakan dokumen resmi negara yang dikeluarkan oleh Menteri bagi warga negara yang berada di
wilayah Indonesia dan berlaku untuk menunaikan ibadah haji.
Penggunaan paspor selain paspor haji dimungkinkan bagi warga negara yang akan menunaikan ibadah haji dan
penggunaan paspor tersebut selanjutnya diatur oleh Menteri dengan tetap memperhatikan kuota nasiona1.
Warga negara Indonesia yang menetap di luar negeri dalam menunaikan ibadah haji menggunakan paspor selain
paspor haji.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasa1 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tanpa biaya tambahan di luar BPIH adalah tanpa biaya tambahan yang dikenakan kepada
jemaah haji untuk akomodasi karena biaya tersebut sudah termasuk di dalam perhitungan komponen BPIH.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Laporan itu dimaksudkan agar Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi dapat mengetahui dan mengawasi
penyelenggara perjalanan ibadah umrah sehingga jemaah umrah terlindungi dari tindakan penyelenggara perjalanan
umrah yang tidak bertanggung jawab.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penyelenggara ibadah haji khusus adalah penanggung jawab; pengurus dan/atau pemilik
penyelenggara ibadah haji khusus.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penyelenggara perjalanan ibadah umrah adalah pengurus dan/atau pemilik penyelenggara
perjalanan ibadah umrah .
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3832

Tidak ada komentar: