Mengenai Saya

Foto saya
Science without religion is blind and Religion without science is lame

Rabu, 18 Februari 2009

> Sejarah nama Indonesia

Pada zaman purba, kepulauan tanah air disebut dengan aneka nama. Dalam catatanbangsa Tionghoa kawasan kepulauan tanah air dinamai Nan-hai (Kepulauan LautSelatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara(Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa(pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmikimenceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampaike Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan
Dwipantara.Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyanJawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax
sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita
masih sering dipanggil "Jawa" oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa
sekalipun. Dalam bahasa Arab juga dikenal Samathrah (Sumatra), Sholibis
(Sulawesi), Sundah (Sunda), semua pulau itu dikenal sebagai kulluh Jawi
(semuanya Jawa).

Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya
terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang
luas antara Persia dan Cina semuanya adalah "Hindia". Semenanjung Asia Selatan
mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang".
Sedangkan tanah air memperoleh nama "Kepulauan Hindia" (Indische Archipel,
Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau "Hindia Timur" (Oost Indie, East
Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu"
(Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).
Pada jaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah
Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang
1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur).
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli,
pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air
kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (bahasa Latin insula
berarti pulau). Nama Insulinde ini kurang populer.



Nusantara
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang
dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu
nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu
tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad
lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman
Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh
J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian
nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk
menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya
luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Sumpah Palapa dari
Gajah Mada tertulis "Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa" (Jika
telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat).
Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu
diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara,
maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan
dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern.
Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya
sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.
Sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan wilayah tanah
air dari Sabang sampai Merauke.

Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of
the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James
Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari
Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa
Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai
Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations.
Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk
Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive
name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India
yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos
dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis:
"... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would
become respectively Indunesians or Malayunesians".

Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada
Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu,
sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives
(Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh
kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia
dan tidak memakai istilah Indunesia.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis
artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun
menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah
"Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama
Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar
ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada
halaman 254 dalam tulisan Logan:
"Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in
favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago".

Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di
kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara
konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan
lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang
etnologi dan geografi.

Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf
Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen
Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara
ke tanah air pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan
istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan
bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu,
antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918.
Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi
Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913
beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Nama indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti indisch
(Hindia) oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander
(pribumi) diganti dengan indonesiƫr (orang Indonesia).

Politik
Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam
etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan
tanah air kita, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu
identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Akibatnya pemerintah
Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels
Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan
mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama
Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau
Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi
Indonesia Merdeka.

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,:
"Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische
staat) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab
dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia
menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan
mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap
orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan
kemampuannya."

Di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924.
Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis
Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan
Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah
air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia"
dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa pada Kerapatan
Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan
sebutan Sumpah Pemuda.

Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen
Hindia Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo
Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda agar nama
"Indonesia" diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Tetapi
Belanda menolak mosi ini.
Dengan jatuhnya tanah air ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah
nama "Hindia Belanda". Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, lahirlah Republik
Indonesia.
(id) Asal Usul Nama Indonesia
"http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_nama_Indonesia"

Tidak ada komentar: