Mengenai Saya

Foto saya
Science without religion is blind and Religion without science is lame

Kamis, 22 Januari 2009

> Pengantar Ushul Fiqih

DAFTAR ISI
A.Mahkum Fihi
B.Mahkum Bihi
1.Wajib dan bahagian-bahagiannya.
2.Mandub, sunnah dan derajat-derajatnya.
3.Haram dan pengertiannya.
4.Makruh dan definisinya.
5.Mubah dan penjelasannya.

C. Mahkum Alaih
1.Sebab dan pengertiannya.
2.Syarat dan hakikat.
3.Mani' dan penjelasannya.
4.Azimah dan rukhshah.
5.Sah dan batal
D. Al-hakim
E. Pengertian dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh
F. Sejarah Pertumbuhan Ilmu Ushul Fiqh
G. Objek Pembahasan Ilmu Ushul Fiqh
H. Aliran-Aliran dalam Ilmu Ushul Fiqh
1.Aliran Mutakallimin
2.Aliran Hanafiyah.


A. Mahkum Fihi
Yang disebut mahkum fihi ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya. Sedangkan Mahkum Bihi adalah merupakan perbuatam mukallaf yang menyangkut dengan masalah-masalah ijab, tahrim, makruh, dan mubah.
Yang disebut mahkum fihi ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya. Pekerjaan yang ditaklifkan kepada mukallaf, dalam melaksanakannya diperlukan beberapa syarat:

1.Perbuatan atau pekerjaan itu mungkin terjadinya. Karena mustahil suatu perintah disangkutkan dengan yang mustahil, seperti mengumpulkan antara dua hal yang berlawanan. Tegasnya tidak diperintahkan sesuatu melainkan sesuatu itu belum ada dan mungkin akan terwujud.

2.Dapat diusahakan oleh hamba, dan pekerjaan itu menurut ukuran biasa sanggup dilakukan oleh orang yang menerima khithab itu.

3.Diketahui bahwa perbuatan itu dapat dibedakan oleh orang yang diberi tugas, baik secara pribadi maupun bersama orang lain dengan jelas.

4.Mungkin dapat diketahui oleh orang yang diberi tugas bahwa pekerjaan itu perintah Allah, sehingga ia mengerjakannya mengikuti sebagaimana diperintahkan. Yang dimaksud dengan yang diketahui di sini ialah ada kemungkinan untuk dapat diketahui dengan jalan memperhatikan dalil-dalil dan menggunakan nadzar.

5.Dapat dikerjakan dengan ketaatan, yakni bahwa pekerjaan itu dilakukan untuk menunjukkan sikap taat. Kebanyakan ibadat masuk golongan ini, kecuali dua perkara, yaitu:

1.Nadzar yang menyampaikan kita kepada suatu kewajiban yang tidak mungkin dikerjakan dengan qasad taat, karena tidak diketahui wajibnya sebelum dikerjakan.

2.Pokok bagi iradat taat dan ikhlas. Bagi yang taat dan ikhlas terhadap iradat mendapat pahala, karena kalau memang dikehendaki niscaya terlaksana juga iradat itu.
Disamping syarat-syarat yang penting sebagaimana tersebut di atas, bercabanglah beberapa masalah yang lain, sebagai berikut:

1.Sanggup mengerjakan. Tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf atau mustahil dilakukan olehnya. Yang tak sanggup atau mustahil dilaksanakan itu adakalanya suatu yang memang tak dapat dilakukan, seperti mengumpulkan antara dua hal yang berlawanan, yakni yang dzatnya daripada pekerjaan itu tidak ada, dan mustahil menurut adat, yaitu perbuatan-perbuatan itu sendiri mungkin terwujud tetapi mukallaf tak sanggup melaksanakannya.

2.Pekerjaan (sesuatu) yang tidak akan terjadi karena telah dijelaskan oleh Allah, bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi. Sebagian ulama berpendapat, bahwa boleh ditaklifkan kepada hamba sesuatu yang diketahui Allah tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap rasa iman. Hal ini dapat dijadikan hujjah untuk membolehkan taklif terhadap sesuatu yang mustahil.

3.Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan. Diantara pekerjaan itu ada yang masuk di bawah kesanggupan mukallaf, akan tetapi sukar sekali dilaksanakan. Pekerjaan yang sukar itu ada dua macam:

1.Yang kesukarannya itu luar biasa dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan.

2.Yang tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan, hanya terasa lebih berat daripada yang biasa. Secara akal, tidak diragukan lagi tentang kebolehan taklif dengan bahagian pertama, karena mungkin terjadi sebagaimana tidak dapat dibantah lagi bahwa bukanlah syara' bermaksud memberatkan mukallaf itu dengan beban yang sangat menyukarkan. Dalam kenyataan tidak terjadi taklif yang demikian itu. Membebankan para mukallaf dengan beban bagian yang kedua, itulah yang terjadi.

4.Pekerjaan-pekerjaan yang diizinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran yang luar biasa. Pekerjaan-pekerjaan yang demikian ada kalanya hasil dari sebab dan ikhtiar mukallaf sendiri, padahal perbuatan itu sendiri menghendaki dan adakalanya juga bukan karena kehendak mukallaf dan ikhtiarnya. Nabi menyuruh orang yang bernadzar puasa dengan berdiri di bawah terik matahari agar menyempurnakan puasanya dan mencegah berdiri di bawah terik matahari.
Macam-macam perbuatan yang digantungkan hukum kepadanya ada beberapa macam, yaitu:

1.Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang hak Allah semata-mata.
Yaitu segala sesuatu yang mendatangkan manfaat umum, oleh karenanya tidak hanya kepada seseorang tertentu saja. Dikatakan pekerjaan-pekerjaan itu hak Allah karena mengingat kepentingannya yang besar dan kepada kelengkapan manfaat daripada pekerjaan-pekarjaan itu.
Hal itu terbagi kepada beberapa bagian:

1.Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang ibadat semata-mata, seperti iman, shalat, shaum, haji, umrah dan jihad.
2.Pekerjaan ibadat yang di dalamnya terasa adanya beban yakni diwajibkannya lantaran orang lain, seperti nafkah.
3.Pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan lantaran orang lain tetapi mengandung pengertian ibadat, seperti membayar 1/10 (sepersepuluh) dari hasil tanah 'usyur.
4.Pekerjaan-pekerjaan yang diberatkan karena orang lain dan mengandung paksaan, seperti membayar upeti tanah. Lantaran membayar upeti terpaksalah kita mengerjakan tanah itu.
5.Pekerjaan-pekerjaan yang tidak tersangkut dengan tanggungan seseorang, seperti 1/5 (seperlima) dari harta rampasan barang logam dan barang-barang galian yang didapati dari simpanan orang dahulu. Seperlima itu diambil dari harta yang didapati dan diberikan kepada mereka yang telah ditetapkan Allah, sebagai penyampaian hak Allah, bukan sebagai ibadat kita.
6.Pekerjaan-pekerjaan yang semata-mata paksaan, seperti hukuman siksa, zina, mencuri, meminum minuman yang memabukkan.
7.Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang setengah paksaan, seperti mengharamkan pembunuh menerima pusaka dari orang yang dibunuh.
8.Pekerjaan-pekerjaan yang mengandung ibadah dan paksaan, seperti kaffarah, dikatakan ibadah, karena yang dijadikan kaffarah itu ibadah, umpamanya puasa, memerdekakan budak dan disyaratkan niat. Dipandang paksaan adalah karena kaffarah itu lantaran berbuat kesalahan.

2.Pekerjaan yang dihukum hak hamba semata-mata.
Pekerjaan-pekerjaan yang dihukum hak hamba semata-mata seperti membayar harga barang yang kita rusakkan, merniliki barang yang kita beli dan sebagainya.
3.Pekerjaan-pekerjaan yang terkumpul padanya hak Allah dan hak hamba, akan tetapi hak Allah lebih kuat.
Bagian ini diumpamakan hukum menukas zina. Apabila ditinjau bahwa hukum tukas itu mendatangkan kebaikan kepada masyarakat, nyatalah bahwa ia adalah hak Allah dan apabila ditinjau bahwa hukum tukas itu dilakukan untuk menolak keaiban dari orang yang ditukas nyatalah bahwa ia itu hak hamba. Lantaran hak Allah di sini lebih keras, tidak boleh yang ditukas itu menggugurkan hukum itu dari orang yang menukas, dan tidak boleh hukum itu dilaksanakan oleh yang ditukas.
4.Pekerjaan-pekerjaan yang terkumpul padanya hak Allah dan hak hamba, akan tetapi hak hamba lebih kuat.
Bagian ini ditampilkan dengan hukum qishash. Oleh karena dalam hal ini hak hamba lebih kuat, maka hamba yang bersangkutan boleh mengambil diat saja atau memaafkan saja.



B. Mahkum Bihi
Mahkum Bihi merupakan perbuatam mukallaf yang menyangkut dengan masalah-masalah ijab, tahrim, makruh, dan mubah.
Telah kita maklumi bahwa bekasan ijab disebut wajib, bekasan nadb dinamai mandub atau sunnat, bekasan tahrim dinamai haram atau mahdhur, bekasan karahah dinamai makruh, dan bekasan ibadah dinamai mubah atau ja'iz.
Dengan demikian nyatalah bagi kita, bahwa apabila perbuatan mukallaf yang menyangkut dengan masalah-masalah: ijab dinamai wajib, tahrim dinamai haram atau mahdhur, karahah dinamai makruh dan ibadah dinamai mubah. Hukum-hukum tersebut dalam uruf ahli ushul disebut mahkum bihi, sedangkan tempat-tempat bergantung hukum disebut taklify.
Berikut ini dijelaskan ta'rif dari macam-macam taklify, takhyiry dan hukum wadl'iy.

1. Wajib dan bahagian-bahagiannya.
Wajib ialah sesuatu pekerjaan yang dirasa akan mendapat siksa kalau tidak dikerjakan. Dirasa akan mendapat siksa itu maknanya diketahui akan mendapat siksa berdasarkan petunjuk yang tidak terang, atau dengan perantaraan suatu qarinah, paham atau isyarat, bahwa orang yang tidak mengerjakannya akan mendapat siksa di negeri akhirat.

Wajib dibagi kepada beberapa bahagian, sebagai berikut:
1.Wajib muthlaq, yaitu suatu pekerjaan yang wajib kita kerjakan tetapi tidak ditentukan waktunya, seperti membayar kaffarah. Bila seorang bersumpah kemudian ia membatalkan sumpahnya, wajiblah ia membayar kaffarah, tetapi ia dibolehkan membayar kaffarah itu di sembarang waktu yang dia kehendaki.

2.Wajib muwaqqat, yaitu suatu pekerjaan yang diwajibkan serta ditentukan waktunya seperti shalat wajib dan puasa Ramadlan, awal dan akhir waktunya dengan terang telah dijelaskan, karena itu kita tidak dapat mengerjakannya melainkan di dalam waktu yang telah ditentukan itu.
> Wajib muwaqqat ada dua macam, yaitu wajib muwassa' dan wajib mudhayyaq.
> Wajib muwassa' ialah pekerjaan wajib yang diluaskan waktunya yakni waktunya lebih luas daripada waktu mengerjakannya, misalnya waktu shalat fardlu, waktu yang disediakan luas dan leluasa melebihi waktu mengerjakannya.
> Wajib mudhayyaq ialah pekerjaan yang disempitkan waktunya tidak melebihi kadar pekerjaan, misalnya puasa Ramadlan, waktu dengan puasa sama lamanya yaitu mulai dari terbit fajar shadiq sehingga terbenam matahari, maka puasa pun juga dimulai terbit fajar shadiq sampai terbenam matahari.
> Selain wajib mudhayyaq dan wajib muwassa' ada lagi yang disebut wajib dzu syabahain, yaitu pekerjaan yang menyerupai wajib muwassa' dan menyerupai wajib mudhayyaq, misalnya haji. Wajib haji menyerupai wajib muwassa' dari segi waktu yang disediakan lebih luas dari kadar waktu mengerjakannya, juga menyerupai wajib mudhayyaq dari segi tidak boleh dikerjakan dua haji dalam satu tahun.

3.Wajib ainiy, yaitu segala rupa pekerjaan yang dituntut kepada masing-masing orang untuk mengerjakannya. Tidak terlepas seseorang dari tuntutan jika ia sendiri tidak menunaikan kewajibannya itu, tidak dapat dikerjakan oleh orang lain, seperti shalat, puasa Ramadlan, zakat, haji dan sebagainya.

4.Wajib kifâ'iy, yaitu segala rupa pekerjaan yang dimaksud oleh agama akan adanya, dengan tidak dipentingkan orang yang mengerjakannya. Apabila dikerjakan kewajiban oleh sebagian mukallaf, maka semua orang terlepas dari tuntutan wajib. Dalam wajib kifâ'iy yang penting terwujudnya pekerjaan itu bukan orangnya, seperti menshalatkan orang mati, mendirikan sekolah, rumah sakit dan sebagainya.
5.Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan syara' kadar ukurannya, seperti zakat, kaffarah dan sebagainya.
6.Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan syara' kadar dan ukurannya seperti kewajiban membelanjakan harta di jalan Allah, memberikan makan kepada orang miskin dan sebagainya.
7.Wajib mu'ayyan, yaitu suatu kewajiban yang dituntut adanya oleh syara' dengan secara khusus, seperti membaca al-Fatihah dalam shalat.
8.Wajib mukhayyar, yaitu suatu kewajiban yang disuruh pilih oleh syara' dari beberapa pekerjaan tertentu seperti dalam urusan kaffarah sumpah.
Firman Allah:

Artinya:
Maka kaffarahnya ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang sederhana, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin atau memedekakan seorang budak. (al-Mâidah: 89)
Kewajiban memilih salah satu diantara tiga hal tersebut disebut wajib mukhayyar.

9.Wajib mu'adda, yaitu segala kewajiban yang dikerjakan dalam waktunya yang telah ditentukan. Menunaikan kewajiban di dalam waktunya dinamai adâ', pekerjaannya disebut mu'addâ.

10.Wajib maqdliy, yaitu kewajiban yang dilaksanakan sesudah lewat waktu yang telah ditentukan. Membayar atau mengganti sesuatu diluar waktunya disebut qadlâ'an, pekerjaannya disebut maqdliy.
11.Wajib mu'âdah, mengerjakan suatu kewajiban yang dikerjakan sekali lagi dalam waktunya karena yang pertama dikerjakan tidak begitu sempurna, dinamai mengulangi (i'âdah), pekerjaannya disebut wajib mu'âdah.

2. Mandub, sunnah dan derajat-derajatnya.
Mandub atau sunnah ialah pekerjaan yang dituntut syara' agar kita mengerjakannya, tetapi dengan tuntutan yang tidak menunjuk kepada musti, artinya pekerjaan itu disuruh kita melaksanakannya dan diberi pahala, hanya tidak dihukum berdosa yang meninggalkannya. Perbuatan mandub ialah sesuatu yang lebih baik untuk dikerjakan.
Kata asy-Syaukani: "Mandub ialah suatu perintah yang dipuji bagi orang yang mengerjakannya dan tidak dicela bagi orang yang meninggalkannya."
Pekerjaan yang mandub itu dinamai marghub fihi artinya pekerjaan yang digemari kita melaksanakannya. Pekerjaan yang disukai bila kita mengerjakannya dinamai mustahab. Pekerjaan yang dilakukan bukan karena kewajiban, atau dikerjakan dengan kesukaan sendiri dinamai tathawwu'.

Ahli ushul Hanafiyah tidak menyamakan antara sunnat dengan mandub (nafl). Menurut mereka, bahwa yang disuruh oleh syara' itu terbagi empat, yaitu (1) Fardlu; (2) Wajib; (3) Sunnah; dan (4) Nafl (Mandub).

Mereka membagi sunnat kepada dua macam:
1.Sunnat hadyin, yaitu segala rupa pekerjaan yang dilaksanakan untuk menyempurnakan kewajiban-kewajiban agama, seperti adzan dan jama'ah.

2.Sunnat zaidah, yaitu segala pekerjaan yang bukan merupakan bagian untuk menyempurnakan perintah agama, hanya termasuk terpuji bagi yang melakukannya, seperti pekerjaan yang dilakukan Rasulullah ketika makan, minum dan tidurnya yang menjadi kebiasaannya.

Ulama-ulama Syafi'iyah membagi amalan-amalan sunnat kepada dua bagian:
1.Sunat muakkadah, yaitu suatu pekerjaan yang tetap dikerjakan Rasulullah atau lebih banyak dikerjakan daripada tidak dikerjakan sambil memberi pengertian bahwa ia bukan fardlu, seperti shalat rawatib dan sunnat fajar.
2.Sunat ghairu muakkadah, yaitu sesuatu yang tidak tetap Rasulullah mengerjakannya, seperti shalat sunnat 4 (empat) rakaat sebelum dzuhur.
3. Haram dan pengertiannya.
Pengertian haram menurut bahasa berarti yang dilarang. Menurut istilah ahli syara' haram ialah: "Pekerjaan yang pasti mendapat siksaan karena mengerjakannya."
Ulama Hanafiyah membagi haram ini kepada dua bagian, yaitu:
1.Sesuatu yang ditetapkan haramnya dengan nash yang qath'iy, yakni Kitabullah dan Sunnah Mutawatirah. Pekerjaan-pekerjaan yang dilarang berdasarkan dua hal tersebut dinamai haram atau mahdzur.
2.Sesuatu yang keharamannya tidak dengan nash yang qath'iy, yakni dengan nash yang dhanniy, disebut karahah tahrim.
4. Makruh dan definisinya.
Makruh menurut bahasa berarti yang tidak disukai. Menurut istilah syara', makruh berarti: "Pekerjaan yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tidak kita rasakan bahwa aka disiksa apabila mengerjakannya."
Definisi lain dari makruh ialah: "Sesuatu yang tinggalkan, tidak dicela bagi orang yang mengerjakannya."

Menurut ulama Hanafiyah ada tujuh macam pembagian hukum taklif, yaitu: (1) Fardlu; (2) Wajib; (3) Haram; (4) Makruh tahrim; (5) Makruh tanzih; (6) Sunnat hadyin; dan (7) Mandub atau Nafl.

5. Mubah dan penjelasannya.
Mubah menurut bahasa yaitu sesuatu yang mengambilnya atau tidak mengambilnya.
Menurut syara', mubah ialah "Sesuatu yang tidak dipuji mengerjakannya dan tidak dipuji pula meninggalkannya." Dengan kata lain: "Mubah ialah pekerjaan-pekerjaan yang tidak dituntut kita mengerjakannya, dan tidak pula dituntut kita meninggalkannya."
Jalan untuk mengetahui mubah yaitu sebagai berikut:
1.Berdasarkan penerangan syara;
1.Syara' mengatakan, jika kamu suka perbuatlah pekerjaan ini, dan jika kamu tidak suka tinggalkanlah dia itu.
2.Syara' mengatakan, tidak ada keberatan apabila kamu mengerjakan pekerjaan ini.
2.Tidak adanya penerangan syara; yakni syara' tidak mencegahnya dan tidak pula menyuruhnya. Sesuatu pekerjaan yang tidak disuruh dan tidak dilarang oleh syara', hukumnya mubah, hukum asalnya mubah.

C. Mahkum Alaih ( Pelaku atau Mukallaf )
1. Sebab dan pengertiannya.
Sebab menurut bahasa berarti tali, dan menurut istilah berarti sesuatu keadaan yang dijadikan oleh syara' sebagai tanda bagi dihadapkannya sesuatu titah kepada mukallaf.
Asy-Syathibi mengatakan: "Sebab ialah sesuatu hal yang diletakkan syara' untuk sesuatu hukum karena adanya suatu hikmah, yang ditimbulkan oleh hukum itu." Adapun 'illat ialah: "Kemaslahatan atau kemanfaatan yang diperhatikan syara' didalam menyuruh sesuatu pekerjaan atau mencegahnya."
Contoh sebab: Tergelincirnya matahari menjadi sebab kewajiban shalat dzuhur atas mukallaf, terbenam matahari menjadi sebab wajibnya shalat Maghrib. Terjadinya jual beli menjadi salah satu sebab adanya milik, juga menjadi sebab hilangnya milik. Pembunuhan menjadi sebab adanya hukum qishash.
2. Syarat dan hakikat.
Syarat menurut bahasa berarti melazimkan sesuatu. Menurut 'urf syara', syarat berarti: "Sesuatu keadaan atau pekerjaan yang karena ketiadaannya, menjadi tidak ada hukum masyrutnya."
Misalnya syarat sah menjual sesuatu ialah sanggup menyerahkan barang yang dijual kepada si pembeli. Apabila tidak sanggup menyerahkannya, seperti menjual burung terbang di udara, maka tidaklah sah penjualan dimaksud. Misalnya lagi suci menjadi syarat sah shalat, apabila tidak suci maka tidaklah sah shalatnya.
Ada dua macam syarat, yaitu syarat hakiki dan syarat ja'li.
1. Syarat hakiki, ialah sesuatu pekerjaan yang disuruh mengerjakannya sebelum mengerjakan suruhan yang lain dan pekerjaan yang lain itu tidak diterima kalau tidak ada yang pertama itu.
Agama menetapkan bahwa shalat itu tidak diterima jika tidak ada wudlu, sebagaimana juga agama menetapkan, bahwa nikah itu tidak sah kalau tidak ada saksi.
2. Syarat ja'li, yaitu segala yang dijadikan syarat oleh pembuatnya dengan perkataan jika, kalau, sekiranya dan sebagainya.
Umpamanya: Saya suka menjual sepeda ini kepadamu, jika kamu memperbolehkan memakainya hari ini untuk pergi ke kantor.
Syara' telah menjadikan beberapa syarat ja'li untuk sahnya sesuatu pekerjaan. Sesuatu syarat yang kalau tidak ada, maka tidak ada pula masyrutnya disebut syarat sah.
Adapun syarat-syarat yang kalau dia tidak ada menjadikan kurang atau tidak sempurnanya masyrut dinamai syarat kamal, atau syarat kesempurnaan.
3. Mani' dan penjelasannya.
Kerapkali syara' menetapkan suatu keadaan atau suatu pekerjaan menjadi mani' (penghalang) atas sesuatu hukum atau atas sebab sesuatu hukum.
Mani' (penghalang hukum) ialah: "Suatu keadaan yang menghalangi terlaksananya suatu perintah atau tidak dilaksanakannya suatu hukum yang sudah ditetapkan". Seperti sifat kebapakan dalam hal qishash. Ayah itu menjadi sebab adanya anaknya, maka tidak patut si anak dijadikan sebab bagi binasanya ayah. Yakni bila ayah membunuh anaknya, tidak boleh kita menuntut qishash bagi ayah yang membunuh anaknya itu, karena ayah itu menjadi sebab adanya anak, maka tidak boleh kematian anak itu menjadi sebab dibunuhnya ayah.
Adapun contoh mani' yang menghalangi sebab hukum, ialah tentang hutang. Apabila seseorang mempunyai harta dan mempunyai hutang sebanyak hartanya, maka tidaklah wajib dia membayar zakat harta tersebut. Dalam hal ini hutang menjadi mani' bagi sebab wajib zakat.
Para ulama ushul Hanafiyah membagi mani' ini menjadi lima macam, yaitu:
1. Mani' yang menghalangi sahnya sebab, umpamanya (yang klasik) menjual orang merdeka. Tidak sah menjual orang merdeka, karena orang merdeka itu bukan harta, bukan sesuatu (barang) yang boleh diperjualbelikan. Menjual itu menjadi sebab berpindah milik, dan membeli itu menjadi sebab boleh menguasai dan mengambil manfaatnya.
2. Mani' yang menghalangi sempurnanya sebab terhadap orang yang tidak melakukan akad dan menghalangi sebab bagi yang melakukan akad. Umpamanya si A menjual barang si B tanpa setahu si B. Maka penjualan itu tidak sah jika tidak dibenarkan oleh si B karena ada mani', yaitu menjual bukan haknya.
3. Mani' yang menghalangi berlakunya hukum, umpamanya khiyar syarat oleh si penjual. Khiyar itu menghalangi si pembeli melakukan kekuasaannya atas barang pembelian dimaksud, si A menjual barangnya kepada si B (pembeli): "Barang ini saya jual kepadamu tetapi dengan syarat saya dibolehkan berfikir selama tiga hari, jika dalam tiga hari ini saya berubah pendirian maka jual beli ini tidak jadi". Syarat yang dibuat oleh si penjual ini disebut khiyar syarat, selama belum lewat tiga hari, syarat itu menghalangi si pembeli melakukan kehendaknya terhadap barang yang dibelinya.
4. Mani' yang menghalangi sempurnanya hukum, umpamanya dalam khiyar ru'yah. Khiyar ini tidak menghalangi memiliki barang, hanya saja milik itu belum sempurna sebelum melihat barang itu oleh si pembeli walaupun sudah diterima. Apabila seseorang menjual barang kepada seseorang, sedang barang tidak tersedia di tempat jual beli, maka penjualan itu dibolehkan dengan mengadakan khiyar ru'yah. Dalam hal ini setelah pembeli melihat barang yang dibelinya boleh merusakkan pembelian dengan mengurungkannya, tanpa meminta persetujuan penjual.
5. Mani' yang menghalangi kelaziman (kepastian) hukum, seperti khiyar aib. Si pembeli boleh melakukan kekuasaannya terhadap barang yang dibelinya, sebelum dia periksa barang itu baik atau ada cacatnya. Jika ia mendapatkan cacat pada barang yang dibelinya itu ia berhak membatalkan pembelian, ia kembalikan barang itu kepada penjual melalui perantaraan hakim atau atas kerelaan penjual. Tempo masa khiyar aib ialah tiga hari lamanya.
4. Azimah dan rukhshah.
Hukum syar'iy itu bila ditinjau dari segi berat dan ringannya dibagi menjadi dua bagian, yaitu pertama azimah dan kedua rukhshah.
1. Azimah. Hukum azimah ialah hukum yang dituntut syara' dan bersifat umum, tidak ditentukan berlakunya atas suatu golongan dan/atau keadaan tertentu. Misalnya kewajiban menjalankan shalat lima waktu.
2. Rukhshah. Hukum rukhshah ialah suatu hukum yang diatur oleh syara' karena adanya udzhur (halangan) yang menyukarkan. Hukum rukhshah dikecualikan dari hukum azimah, yang umumnya berlaku selama ada udzhur yang berat dan seperlunya saja, dan hukum rukhshah ini datangnya terkemudian sesudah azimah.
Misalnya hukum makan bangkai dikala tidak ada makanan sama sekali. Juga seperti dibolehkan mengqashar shalat wajib dari empat raka'at menjadi dua raka'at.

5. Sah dan batal
Lafadh sah mempunyai dua arti:
1.Melepaskan tanggung jawab dan menggugurkan kewajiban (qadla) di dunia. Bila dikatakan shalat si A sudah sah (shahih), artinya "telah dipandang memenuhi persyaratan sebagaimana diperintahkan". Begitu pula dikatakan penjualan itu sah, artinya penjualan itu telah memindahkan milik si penjual kepada si pembeli, penjualan itu menghalalkan untuk menguasai dan mengurusnya.
2.Memperoleh pahala atau ganjaran. Bila dikatakan: "Amal ini sah", artinya amal ini dapat diharapkan pahalanya di negeri akhirat, baik amal itu bersifat keduniaan ataupun keakhiratan.
Tidak mendapat pahala sesuatu pekerjaan melainkan dengan ikhlas dan tulus hatinya karena Allah semata-mata. Makna kedua ini tidak dibicarakan oleh ulama fiqh, akan tetapi menjadi pembicaraan ulama akhlak.
Dengan demikian jelaslah bahwa suatu amal dipandang sah menurut pendapat ulama fiqh, telah mencukupi rukun dan syaratnya yang tertentu.
Kata batal mempunyai dua pengertian, yaitu:
1.Tidak mencukupi, tidak melepaskan tanggungan atau kewajiban yang dituntut mengerjakannya. Batalnya sesuatu pekerjaan itu karena tidak cukup rukun dan syaratnya, karena itu dituntut mengerjakannya lagi.
2.Tidak mendapat pembalasan di hari akhirat nanti.


D. Al-hakim

Menurut para ahli ushul, bahwa yang menetapkan hukum (al-Hakim) itu adalah Allah SWT, sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum AlIah ialah para rasuI-Nya. Beliau-beliau inilah yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan kepada umat manusia.
Tidak ada perselisihan pendapat ulama syara' itulah yang menjadi hakim sesudah rasuI dibangkit dan sesudah sampai seruannya kepada yang dituju.
Yang diperselisihkan ialah tentang siapakah yang menjadi hakim terhadap perbuatan mukallaf sebelum rasuI dibangkit. Golongan Mu'tazilah berpendapat, bahwa sebelum rasuI dibangkit, akaI manusia itulah yang menjadi hakim, karena akaI manusia dapat mengetahui baik atau buruknya sesuatu perbuatan karena hakikatnya atau karena sifatnya.
OIeh karena itu mukalIaf wajib mengerjakan apa yang dipandang baik oleh akal dan meninggalkan apa yang dipandang buruk oIeh akal. AlIah akan memberikan pahala kepada para mukallaf yang berbuat baik berdasarkan kepada pendapatnya, sebagaimana AlIah memberi pahala berdasarkan apa yang diketahui mukallaf dengan perantaraan syara'.
Golongan Asy'ariyah berpendapat, bahwa sebelum datang syara' tidak diberi sesuatu hukum kepada perbuatan-perbuatan mukallaf. Golongan Mu'tazilah dan Asy'ariyah sependapat bahwa akal dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, yakni yang bersesuaian tabi'at: dipandang baik oleh akal dan yang tidak bersesuaian dengan tabi'at dipandang buruk oleh akal.
Titik perselisihan antara golongan Mu'tazilah dengan golongan Asy'ariyah ialah tentang apakah perbuatan itu menjadi tempat adanya pahala atau siksa, tergantung pada perbuatan, walaupun syara' belum menerangkannya, sedangkan golongan jumhur berpendapat, bahwa tidak disiksa dan tidak diberi pahala manusia sebelum datang syara' kendati akal bisa mengetahui baik buruknya sesuatu perbuatan.
Seluruh kaum muslimin bersepakat, bahwa tidak ada hakim selain Allah, sesuai dengan firman Tuhan:
Artinya:
Tidak ada hukum melainkan bagi Allah. (al An'âm: 57)
Diantara dalil yang menguatkan pendapat jumhur ialah firman Allah:
Artinya:
Dan tidaklah Kami menyiksa sesuatu umat sehingga Kami bangkitkan seorang rasul. (al-Isrâ': 15)
Diantara dalil yang dipergunakan oleh golongan Mu'tazilah ialah firman Allah:
Artinya:
Katakanlah olehmu, tidak bersamaan dengan yang buruk dengan yang baik. (al-Mâidah: 100)
Sebagaimana terdapat ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah menyiksa manusia lantaran menyalahi rasul sebelum sampai kepada mereka seruan rasul-rasul itu dengan cara yang semestinya, demikian pula ada ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa hisab dan pembalasan umum secara adil diberikan juga berdasarkan bekasan-bekasan amal pada jiwa menurut petunjuk akal.
Mengenai soal apakah hukum-hukum Allah itu disyari'atkan harus sesuai dengan kemaslahatan hamba atau tidak, seluruh ulama sepakat bahwa hukum-hukum Allah itu bersesuaian dengan kemaslahatan hamba.




E. Pengertian dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh
Pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Menurut aslinya kata "Ushul Fiqh" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab "Ushulul Fiqh" yang berarti asal-usul Fiqh. Maksudnya, pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh.
Pengetahuan Fiqh adalah formulasi dari nash syari'at yang berbentuk Al-Qur'an, Sunnah Nabi dengan cara-cara yang disusun dalam pengetahuan Ushul Fiqh. Meskipun caar-cara itu disusun lama sesudah berlalunya masa diturunkan Al-Qur'an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi, namun materi, cara dan dasar-dasarnya sudah mereka (para Ulama Mujtahid) gunakan sebelumnya dalam mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian menjadi pengetahuan Ushul Fiqh.
Menurut Istitah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh itu ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil Ayat-ayat Al-Our'an dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum Fiqh" (ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil.
Yang menjadi obyek utama dalam pembahasan Ushul Fiqh ialah Adillah Syar'iyah (dalil-dalil syar'i) yang merupakan sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain dari membicarakan pengertian dan kedudukannya dalam hukum Adillah Syar'iyah itu dilengkapi dengan berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum dengan mempergunakan masing-masing dalil itu.

Topik-topik dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh ini meliputi:

a.Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab, syarat, mani', 'illat, shah, batal, azimah dan rukhshah).
b.Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
c.Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum 'alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya.
d.Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.
e.Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.
f.Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.
g.Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus syari'ah.
h.Masa'ah rakyu dan qiyas; meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul illat, al-washful munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan selanjutnya dibicarakan masalah ta'arudl wat tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya.

Sesuatu yang tidak boleh dilupakan dalam mempelajari Ushui Fiqh ialah bahwa peranan ilmu pembantu sangat menentukan proses pembahasan.
Dalam pembicaraan dan pembahasan materi Ushul Fiqh sangat diperlukan ilmu-ilmu pembantu yang langsung berperan, seperti ilmu tata bahasa Arab dan qawa'idul lugahnya, ilmu mantiq, ilmu tafsir, ilmu hadits, tarikh tasyri'il islami dan ilmu tauhid. Tanpa dibantu oleh ilmu-ilmu tersebut, pembahasan Ushul Fiqh tidak akan menemui sasarannya. Istinbath dan istidlal akan menyimpan dari kaidahnya.
Ushul Fiqh itu ialah suatu ilmu yang sangat berguna dalam pengembangan pelaksanaan syari'at (ajaran Islam). Dengan mempelajari Ushul Fiqh orang mengetahui bagaimana Hukum Fiqh itu diformulasikan dari sumbernya. Dengan itu orang juga dapat memahami apa formulasi itu masih dapat dipertahankan dalam mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang; atau apakah ada kemungkinan untuk direformulasikan. Dengan demikian, orang juga dapat merumuskan hukum atau penilaian terhadap kenyataan yang ditemuinya sehari-hari dengan ajaran Islam yang bersifat universal itu.
Dengan Usul Fiqh :
-Ilmu Agama Islam akan hidup dan berkembang mengikuti perkembangan peradaban umat manusia.
-Statis dan jumud dalam ilmu pengetahuan agama dapat dihindarkan.
-Orang dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama sebagai konsumsi umum dalam dunia pengetahuan yang selalu maju dan berkembang mengikuti kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman.
-Sekurang-kurangnya, orang dapat memahami mengapa para Mujtahid zaman dulu merumuskan Hukum Fiqh seperti yang kita lihat sekarang. Pedoman dan norma apa saja yang mereka gunakan dalam merumuskan hukum itu. Kalau mereka menemukan sesuatu peristiwa atau benda yang memerlukan penilaian atau hukum Agama Islam, apa yang mereka lakukan untuk menetapkannya; prosedur mana yang mereka tempuh dalam menetapkan hukumnya.
Dengan demikian orang akan terhindar dari taqlid buta; kalau tidak dapal menjadi Mujtahid, mereka dapat menjadi Muttabi' yang baik, (Muttabi' ialah orang yang mengikuti pendapat orang dengan mengetahui asal-usul pendapat itu). Dengan demikian, berarti bahwa Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu kebutuhan yang penting dalam pengembangan dan pengamalan ajaran Islam di dunia yang sibuk dengan perubahan menuju modernisasi dan kemajuan dalam segala bidang.
Melihat demikian luasnya ruang lingkup materi Ilmu Ushul Fiqh, tentu saja tidak semua perguruan/lembaga dapat mempelajarinya secara keseluruhan.





F. Sejarah Pertumbuhan Ilmu Ushul Fiqh
Ilmu Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yang digunakan dalam usaha untuk memperoleh hukum-hukum syara' tentang perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.Dan usaha untuk memperoleh hukum-hukum tersebut, antara lain dilakukan dengan jalan ijtihad.
Sumber hukum pada masa Rasulullah SAW hanyalah Al-Qur'an dan As-Sunnah (Al-Hadits). Dalam pada itu kita temui diantara sunnah-sunnahnya ada yang memberi kesan bahwa beliau melakukan ijtihad. Misalnya, beliau melakukan qiyas terhadap peristiwa yang dialami oleh Umar Bin Khattab RA, sebagai berikut.


Artinya:
"Wahai Rasulullah, hari ini saya telah berbuat suatu perkara yang besar; saya mencium isteri saya, padahal saya sedang berpuasa. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya : Bagaimana pendapatmu, seandainya kamu berkumur-kumur dengan air dikala kamu sedang berpuasa? Lalu saya jawab: tidak apa-apa dengan yang demikian itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda : Maka tetaplah kamu berpuasa!" (I'lamul Muwaqqi'in, Juz: I, hal: 199).
Pada hadits di atas Rasulullah SAW menetapkan tidak batal puasa seseorang karena mencium isterinya dengan mengqiyaskan kepada tidak batal puasa seseorang karena berkumur-kumur.
Juga seperti hadits Rasulullah SAW :


Artinya :
"Seandainya tidak akan memberatkan terhadap umatku, niscaya kuperintahkan kepada mereka bersiwak (bersikat gigi) setiap akan melakukan shalat." (HR. Abu Daud dari Zaid Bin Khalid al-Juhanni).
Diterangkan oleh Muhammad Ali as-Sayis, bahwa hadits tersebut menunjukkan kepada kita adanya pilihan Rasulullah SAW terhadap salah satu urusan, karena untuk menjaga kemaslahatan umatnya. Seandainya beliau tidak diperbolehkan melakukan ijtihad, hal itu tidak akan terjadi. Dalam pada itu, dari penelitian sebagian ulama terhadap berbagai peristiwa hidup Rasulullah SAW, berkesimpulan bahwa beliau bisa melakukan ijtihad dan memberi fatwa berdasarkan pendapatnya pribadi tanpa wahyu, terutama dalam hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan persoalan hukum. Kesimpulan tersebut, sesuai dengan sabda beliau sendiri :


Artinya :
"Sungguh saya memberi keputusan diantara kamu tidak lain dengan pendapatku dalam hal tidak diturunkan (wahyu) kepadaku." (HR. Abu Daud dan Ummi Salamah).
Rasulullah SAW adalah seorang manusia juga sebagaimana manusia yang lain pada umumnya maka hasil ijtihadnya bisa benar dan bisa salah, sebagaimana diterangkan dalam sebuah riwayat, beliau bersabda :


Artinya :
"Saya tidak lain adalah seorang manusia juga, maka segala yang saya katakan kepadamu yang berasal dari Allah adalah benar; dan segala yang saya katakan dari diri saya sendiri, karena tidak lain saya juga seorang manusia, bisa salah bisa benar." (Ijtihad Rasul, hal: 52-53).
Hanya saja jika hasil ijtihad beliau itu salah, Allah menurunkan wahyu yang tidak membenarkan hasil ijtihad beliau dan menunjukkan kepada yang benar.
Sebagai contoh hasil ijtihad beliau tentang tindakan yang diambil terhadap tawanan perang Badar. Dalam hal ini beliau menanyakan terlebih dahulu kepada para sahabatnya. Menurut Abu Bakar agar mereka (para tawanan perang Badar) dibebaskan dengan membayar tebusan. Sedangkan menurut Umar bin Khattab, mereka harus dibunuh, karena mereka telah mendustakan dan mengusir Rasulullah SAW dari Makkah. Dari dua pendapat tersebut, beliau memilih pendapat Abu Bakar. Kemudian turun ayat Al-Qur'an yang tidak membenarkan pilihan beliau tersebut dan menunjukkan kepada yang benar, yakni :


Artinya :
"Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana." (Al-Anfaal: 67).
Jika terhadap hasil ijtihad Rasulullah SAW tersebut, tidak diturunkan wahyu yang tidak membenarkan dan menunjukkan kepada yang benar, berarti hasil ijtihad beliau itu benar, dan sudah barang tentu termasuk ke dalam kandungan pengertian As-Sunnah (Al-Hadits).
Kegiatan ijtihad pada masa ini, bukan saja dilakukan oleh beliau sendiri, melainkan beliau juga memberi ijin kepada para sahabatnya untuk melakukan ijtihad dalam memutuskan suatu perkara atau dalam menghadapi suatu persoalan yang belum ada ketentuan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terjadi ketika beliau mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman, yang diterangkan dalam hadits sebagai berikut :


Artinya :
"(Rasulullah SAW bertanya) : Bagaimana cara kamu memutusi jika datang kepadamu suatu perkara? Ia menjawab : Saya putusi dengan (hukum) yang terdapat dalam kitab Allah. Beliau bertanya : Jika tidak kamu dapati (hukum itu) dalam kitah Allah? Ia menjawab : Maka dengan Sunnah Rasulullah. Beliau bertanya : Jika tidak kamu dapati dalam Sunnah Rasulullah juga dalam kitab Allah? Ia menjawab : Saya akan berijtihad dengan pikiran dan saya tidak akan lengah. Kemudian Rasulullah SAW menepuk dadanya dan bersabda : Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah SAW yang diridlai oleh Rasulullah." (HR. Abu Daud).
Bahkan beliau pernah memerintahkan 'Amr bin 'Ash untuk memberi keputusan terhadap suatu perkara, padahal beliau di hadapannya. Atas perintah itu, lalu 'Amr bertanya kepada beliau :



Sebagai contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat, yakni ijtihad yang dilakukan oleh 'Amar bin Yasir, sebagai berikut :


Artinya:
"Saya telah berjunub dan tidak mendapatkan air. Maka saya berguling-guling pada debu kemudian saya mengerjakan shalat. Lalu hal itu, saya sampaikan kepada Nabi SAW. Maka beliau bersabda : Sesungguhnya cukup kamu melakukan begini : Nabi menepuk tanah dengan dua telapak tangannya kemudian meniupnya, lalu menyapukannya ke wajahnya dan dua telapak tanganya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada hadits di atas, 'Ammar bin Yasir mengqiyaskan debu dan air untuk mandi dalam menghilangkan junubnya, sehingga ia dalam menghilangkan junub karena tidak mendapatkan air itu, dilakukan dengan berguling-guling di atas debu. Namun hasil ijtihadnya ini tidak dibenarkan oleh Rasulullah SAW.
Hasil ijtihad para sahabat tidak dapat dijadikan sumber hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum yang dapat dipedomani oleh kaum muslimin, kecuali jika hasil ijtihadnya telah mendapat pengesahan atau pengakuan dari Rasulullah SAW dan tidak diturunkan wahyu yang tidak membenarkannya.
Dari uraian di atas dapat dipetik arti bahwa ijtihad baik yang dilakukan oleh Rasulullah SAW maupun oleh para sahabatnya pada masa ini tidak merupakan sumber hukum, karena keberadaan atau berlakunya hasil ijtihad kembali kepada wahyu.
Akan tetapi dengan adanya kegiatan ijtihad yang terjadi pada masa ini, mempunyai hikmah yang besar, karena hal itu merupakan petunjuk bagi para sahabat dan para ulama dari generasi selanjutnya untuk berijtihad pada masa-masanya dalam menghadapi berbagai persoalan baru yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW atau yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Memang, semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum.
Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat/terpaksa). Dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, hanya berhak mendapatkan mut'ah. Ali menyamakan kedudukan wanita tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, yang oleh syara' ditetapkan hak mut'ah baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :



Artinya :
"Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu memberikan mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan." (Al-Baqarah : 236).
Dari contoh-contoh ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, demikian pula oleh para sahabatnya baik di kala Rasulullah SAW masih hidup atau setelah beliau wafat, tampak adanya cara-cara yang digunakannya, sekalipun tidak dikemukakan dan tidak disusun kaidah-kaidah (aturan-aturan)nya ; sebagaimana yang kita kenal dalam Ilmu Ushul Fiqh ; karena pada masa Rasulullah SAW, demikian pula pada masa sahabatnya, tidak dibutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad dengan kata lain pada masa Rasulullah SAW dan pada masa sahabat telah terjadi praktek berijtihad, hanya saja pada waktu-waktu itu tidak disusun sebagai suatu ilmu yang kelak disebut dengan Ilmu Ushul Fiqh karena pada waktu-waktu itu tidak dibutuhkan adanya. Yang demikian itu, karena Rasulullah SAW mengetahui cara-cara nash dalam menunjukkan hukum baik secara langsung atau tidak langsung, sehingga beliau tidak membutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad, karena mereka mengetahui sebab-sebab turun (asbabun nuzul) ayat-ayat Al-Qur'an, sebab-sebab datang (asbabul wurud) Al- Hadits, mempunyai ketajaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum yang mereka peroleh karena mereka mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri (Arab) yang juga bahasa Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dengan pengetahuan yang mereka miliki itu, mereka mampu berijtihad tanpa membutuhkan adanya kaidah-kaidah.
Pada masa tabi'in, tabi'it-tabi'in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.
Dalam pada itu, pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah.
Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari'ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.
Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash syara'. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara' sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash tersebut.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar'iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fiqh.
Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu Yusuf -murid Imam Abu Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita.
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan disertai alasan-alasannya adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi'iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqh.
Pembahasan tentang Ilmu Ushul Fiqh ini, kemudian dilanjutkan oleh para ulama generasi selanjutnya.



G. Objek Pembahasan Ilmu Ushul Fiqh
Objek pembahasan dari Ushul fiqh meliputi tentang dalil, hukum, kaidah dan ijtihad
Sesuai dengan keterangan tentang pengertian Ilmu Ushul Fiqh di depan, maka yang menjadi obyek pembahasannya, meliputi :
1.Pembahasan tentang dalil.
Pembahasan tentang dalil dalam ilmu Ushul Fiqh adalah secara global. Di sini dibahas tentang macam-macamnya, rukun atau syarat masing-masing dari macam-macam dalil itu, kekuatan dan tingkatan-tingkatannya. Jadi di dalam Ilmu Ushul Fiqh tidak dibahas satu persatu dalil bagi setiap perbuatan.
2.Pembahasan tentang hukum
Pembahasan tentang hukum dalam Ilmu Ushul Fiqh adalah secara umum, tidak dibahas secara terperinci hukum bagi setiap perbuatan. Pembahasan tentang hukum ini, meliputi pembahasan tentang macam-macam hukum dan syarat-syaratnya. Yang menetapkan hukum (al-hakim), orang yang dibebani hukum (al-mahkum 'alaih) dan syarat-syaratnya, ketetapan hukum (al-mahkum bih) dan macam-macamnya dan perbuatan-perbuatan yang ditetapi hukum (al-mahkum fih) serta syarat-syaratnya.
3.Pembahasan tentang kaidah.
Pembahasan tentang kaidah yang digunakan sebagai jalan untuk memperoleh hukum dari dalil-dalilnya antara lain mengenai macam-macamnya, kehujjahannya dan hukum-hukum dalam mengamalkannya.
4.Pembahasan tentang ijtihad
Dalam pembahasan ini, dibicarakan tentang macam-macamnya, syarat-syarat bagi orang yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan orang dilihat dari kaca mata ijtihad dan hukum melakukan ijtihad.



H. Aliran-Aliran dalam Ilmu Ushul Fiqh
Perbedaan pendapat yang sering terjadi diantara para ulama dalam hal penetapan istilah untuk suatu pengertian penting.
Dalam membahas Ilmu Ushul Fiqh, para ulama tidak selalu sepakat dalam menetapkan istilah-istilah untuk suatu pengertian dan dalam menetapkan jalan-jalan yang ditempuh dalam pembahasannya. Dalam hal ini mereka terbagi menjadi dua aliran, yaitu Aliran Mutakallimin dan Aliran Hanafiyah.

1. Aliran Mutakallimin
Para ulama dalam aliran ini dalam pembahasannya dengan menggunakan cara-cara yang digunakan dalam ilmu kalam yakni menetapkan kaidah ditopang dengan alasan-alasan yang kuat baik naqliy (dengan nash) maupun 'aqliy (dengan akal fikiran) tanpa terikat dengan hukum furu' yang telah ada dari madzhab manapun, sesuai atau tidak sesuai kaidah dengan hukum-hukum furu' tersebut tidak menjadi persoalan. Aliran ini diikuti oleh para ulama dari golongan Mu'tazilah, Malikiyah, dan Syafi'iyah.
Di antara kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh dalam aliran ini, yaitu :
1.Kitab Al-Mu'tamad disusun oleh Abdul Husain Muhammad bin Aliy al-Bashriy al-Mu'taziliy asy-Syafi'iy (wafat pada tahun 463 Hijriyah).
2.Kitab Al-Burhan disusun oleh Abdul Ma'aliy Abdul Malik bin Abdullah al-Jawainiy an-Naisaburiy asy-Syafi'iy yang terkenal dengan nama Imam Al-Huramain ( wafat pada tahun 487 Hijriyah).
3.Kitab AI Mushtashfa disusun oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazaliy Asy Syafi ' iy ( wafat pada tahun 505 Hijriyah).
Dari tiga kitab tersebut yang dapat ditemui hanyalah kitab Al Musht.shfa, sedangkan dua kitab lainnya hanya dapat dijumpai nukilan-nukilannya dalam kitab yang disusun oleh para ulama berikut, seperti nukilan kitab dari Al Burhan oleh A1 Asnawiy dalam kitab Syahrul Minhaj .
Kitab-kitab yang datang berikutnya yakni kitab Al Mahshul disusun oleh Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar Raziy Asy Syafi'iy (wafat pada tahun 606 Hijriyah). Kitab ini merupakan ringkasan dari tiga kitab yang disebutkan di atas.
Kemudian kitab AI Mahshul ini diringkas lagi oleh dua orang yaitu :
1.Tajjuddin Muhammad bin Hasan Al Armawiy (wafat pada tahun 656 Hijriyah) dalam kitabnya yang diberi nama Al Hashil.
2.Mahmud bin Abu Bakar A1 Armawiy (wafat pada tahun 672 Hijriyah) dalam kitabnya yang berjudul At Tahshil.
Kemudian A1 Qadliy Abdullah bin Umar Al Badlawiy (wafat pada tahun 675 Hijriyah) menyusun kitab Minhajul Wu.shul ila 'Ilmil Ushul yang isinya disarikan dari kitab At Tahshil. Akan tetapi karena terlalu ringkasnya isi kitab tersebut, maka sulit untuk dapat dipahami. Hal inj mendorong para ulama berikutnya untuk menjelaskannya. Di antara mereka yaitu Abdur Rahim bin Hasan AJ Asnawiy Asy Syafi'iy (wafat pada tahun 772 Hjjriyah) dengan menyusun sebuah kitab yang menjelaskan isi kitab MinhajuI WushuI ila 'Ilmil Ushul tersebut.

Selain kitab Al Mashul yang merupakan ringkasan dari kitab-kitab Al Mu tamad, Al Burhan dan Al Mushtashfa, masih ada kitab yang juga merupakan ringkasan dari tiga kitab tersebut, yaitu kitab AI Ihkam fi Ushulil Ahkam, disusun oleh AbduI Hasan Aliy yang terkenal dengan nama Saifuddin Al Amidiy Asy Syafi'iy (wafat pada tahun 631 Hijriyah). Kitab Al Ihkam fi Ushulil Ahkam ini kemudian diringkas oleh Abu Amr Utsman bin Umar yang terkenal dengan nama Ibnul Hajib AI Malikiy (wafat pada tahun 646 Hijriyah) dalam kitabnya yang diberi nama Muntahal Su 'li wal Amal fi .Ilmil Ushul wal Jidal. Kemudian kitab itu beliau ringkas lagi dalam sebuah kitab, dengan nama Mukhtasharul Muntaha. Kitab ini mirip dengan kitab Minhajul Wulshul ila I.lmil Ushul, sulit difahami karena ringkasnya. Hal ini mengundang minat para ulama berikutnya untuk menjelaskannya. Di antara mereka ialah ' AdldIuddin 'Abdur Rahman bin Ahmad Al Ajjiy (wafat tahun 756 Hijriyah) dengan menyusun sebuah kitab yang menjelaskan kitab Mukhtasharul Muntaha tersebut.
2. Aliran Hanafiyah.
Para ulama dalam aliran ini, dalam pembahasannya, berangkat dari hukum-hukum furu' yang diterima dari imam-imam (madzhab) mereka; yakni dalam menetapkan kaidah selalu berdasarkan kepada hukum-hukum furu ' yang diterima dari imam-imam mereka. Jika terdapat kaidah yang bertentangan dengan hukum-hukum furu' yang diterima dari imam-imam mereka, maka kaidah itu diubah sedemikian rupa dan disesuaikan dengan hukum-hukum furu' tersebut. Jadi para ulama dalam aliran ini selalu menjaga persesuaian antara kaidah dengan hukum furu' yang diterima dari imam-imam mereka.
Di antara kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh dalam aliran ini, yaitu : kitab yang disusun oleh Abu Bakar Ahmad bin' Aliy yang terkenal dengan sebutan Al Jashshash (wafat pada tahun 380 Hijriyah), kitab yang disusun oleh Abu Zaid ' Ubaidillah bin 'Umar Al Qadliy Ad Dabusiy (wafat pada tahun 430 Hijriyah), kitab yang disusun oleh Syamsul Aimmah Muhammad bin Ahmad As Sarkhasiy (wafat pada tahun 483 Hijriyah). Kitab yang disebut terakhir ini diberi penjelasan oleh Alauddin Abdul 'Aziz bin Ahmad Al Bukhariy (wafat pada tahun 730 Hijriyah) dalam kitabnya yang diberi nama Kasyful Asrar .Dan juga kitab Ilmu Ushul Fiqh dalam aliran ini ialah kitab yang disusun oleh Hafidhuddin 'Abdullah bin Ahmad An Nasafiy (wafat pada tahun 790 Hijriyah) yang berjudul 'Al Manar, dan syarahnya yang terbaik yaitu Misykatul Anwar.
Dalam abad itu muncul para ulama yang dalam pembahasannya memadukan antara dua aliran tersebut di atas, yakni dalam menetapkan kaidah, memperhatikan alasan-alasannya yang kuat dan memperhatikan pula persesuaiannya dengan hukum-hukum furu'. Di antara mereka itu ialah : Mudhafaruddin Ahmad bin 'Aliy As Sya'atiy Al Baghdadiy (wafat pada tahun 694 Hijriyah) dengan menulis kitab Badi'un Nidham yang merupakan paduan kitab yang disusun oleh Al Bazdawiy dengan kitab Al Ihkam fi Ushulil Ahkam yang ditulis oleh Al Amidiy; dan Syadrusiy Syari'ah 'Ubaidillah bin Mas'ud Al Bukhariy Al Hanafiy (wafat pada tahun 747 Hijriyah) menyusun kitab Tanqihul Ushul yang kemudian diberikan penjelasan-penjelasan dalam kitabnya yang berjudul At Taudlih . Kitab tersebut merupakan ringkasan kitab yang disusun oleh A1 Bazdawiy, kitab AI Mahshul oleh Ar Raziy dan kitab Mukhtasharul Muntaha oleh Ibnul Hajib. Demikian pula termasuk ulama yang memadukan dua aliran tersebut di atas, yaitu Tajuddin 'Abdul Wahhab bin' Aliy As Subkiy Asy Syafi'iy (wafat pada tahun 771 Hijriyah) dengan menyusun kitab Jam'ul Jawami' dan Kamaluddin Muhammad 'Abdul Wahid yang terkenal dengan Ibnul Humam (wafat pada tahun 861 Hijriyah) dengan menyusun kitab yang diberi nama At Tahrir.
Dalam kaitan dengan pembahasan Ilmu Ushul Fiqh ini, perlu dikemukakan bahwa Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy Syatibiy ( wafat pada tahun 760 Hijriyah) telah menyusun sebuah kitab Ilmu Ushul Fiqh, yang diberi nama A1 Muwafaqat. Dalam kitab tersebut selain dibahas kaidah-kaidah juga dibahas tujuan syara' dalam menetapkan hukum.
Kemudian perlu pula diketahui kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh yang disusun oleh para ulama pada masa belakangan ini, antara lain: kitab Irsyadul Fuhul i/a Tahqiqi/ Haq min 'I/mil Ushu/ oleh Imam Muhammad bin' A1iy Asy Syaukaniy (wafat pada tahun 1255 Hijriyah), kitab Tashilu/ Wushu/ i/a 'Ilmi/ Ushu/ oleh Syaikh Muhammad 'Abdur Rahman A1 Mihlawiy (wafat pada tahun 1920 Hijriyah); kitab Ushu/u/ Fiqh oleh Syaikh Muhammad A1 Khudlariy Bak (wafat pada tahun 1345 Hijriyah/ 1927 Masehi) dan kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh yang lain.
www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/8/1/pustaka-138.html - 35k

Rabu, 14 Januari 2009

> Unsur-Unsur Hukum Syara'

1.AL Hukmu
2.Al Hakim
3.MAHKUM FIH ( Perbuatan Mukalaf )
4.MAHKUM ALAIH ( Mukalaf )

1. AL HUKMU
PEMBAGIAN HUKUM SYARI’AH
A. HUKUM TAKLIFI Yaitu tuntutan Allah yang berkaitan degan perintah untuk berbuat atau perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan. Atau sesuatu yang menuntut suatu pekerjaan mukallaf atau menuntut untuk berbuat atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalknannya.
1.Wajib ( tebagi 4 )
1.wajib dari segi waktu ( muasa’ dan mudoyyak ) co. sholat dan kifarat
2.wajib dari segi perintah melaksanakan ( ain dan kifayah ) co. sholat pardu dan
mengurus jenazah
3.wajib dari segi ukuran ( muhaddad (terbatas atau sudah ditentukan kadarnya )dan ghoir muhaddad ) co. zakat, rakaat solat,,,,, tolong menolong, sodaqoh, dll
4.wajib muayyan ( tertentu ) dan Mukhayyar ( memilih ) co. solat, puasa,,,,kifarat

2.Mandub/ Sunnah/ Mustahab ( terbagi 3 )
1.sunnah muakadah (diutamakan). Co. shlata jamaah, azan, surat setelah alfatihah dll/
2.sunnah zaidah atau nafilah. Co. puasa senin kamis, sodaqoh, solat sunah dll.
3.sunnah mustahab, adab, atau fadlilah ( pelengkap ) co. perbuatan rasul yg manusiawi co. cara tidur, berpaiakaun dll.

3.Haram ( terbagi 2 )
1.haram lidzatihi ( semula, asal ). Co. zina, mencuri, dll.
2.Haram karena sesuatu yg baru( Lighoirihi / Aridi ). Co. jual beli dg penipuan,
menikah u/ menyakiti. dll
4.Makruh ( dibenci ) Co. sikat gigi waktu puasa, dll.
5.Mubah ( boleh mengerjakan atau meninggalkan ) Co. tidur dikasur, makan di piring, minum apaki gelas. dll


B.HUKUM WADH’I adalah perintah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atausebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga penghalang bagi adanya sesuatu yang lain tersebut..
1. Sebab ( sesuatu yg dijadikan indikasi adanya sesuatu yg lain yg menjadi akibat , sekalogus menghubungkan adanya akibat karena adanya sebab.
Co. adanya perintah shalat sebagai sebab ( menyebabkan ) wajibnya wudlu. Qs almaidah : 6.
Adanya pencurian sebagai sebab kewajiban mempotong tanga ( QS Al MAidah : 38 )
Adanya pergeseran waktu sebagai sebab wajibnya shalat pardu. ( QS Al Isra : 78 )
Terlihatnya bulan pada awal bulan ramadhan sebagai sebab wajibnya puasa pada awal bulan itu. ( QS 2: 185)
2. Syarat ( sesuatu yg ada atau tidak adanya hukum tergantung kepada ada atau tidak adanya sesuatu itu.
Co. adanya hubungan suami istri menjadi syarat sahnya menjatuhkan thalaq.
Wudu menjadi syarat sahnya shalat.
3. Mani’ ( Penghalang ) sesuaatu yang dapat menyebabkan tidak adanya atau membatalkan sebab.
Co. seorang ahli waris terhalang mendapatkan waris karena beda agama.
Hukum qissos terhalang karena pembunuhnya adalah bapaknya.
4. Rukhshoh ( keringanan ) dan Azimah ( hukum semula yg tidak dukhusukan pd kondisi atau mukalaf ) terbagi 3

1. boleh meninggalkan kewajiban ketika ada uzur kesulitan dalam melaksanakannya.
Co. yg sakit atau dalam perjalanan ketika puasa ( QS 2: 184 ). Mengkosor sholat ( QS 4: 101 )
2.membenarkan sebagian akad yg menjadi pengecualian. Co. Karena menjadi kebutuhan manusia, salam ( akad jual beli yg belum ada barangnya dan hanya menyebutkan sifat dan ukurannya ) asalnya haram menjadi boleh. Sesuai hadits arasul saw.
3. . menghapus hukum yg telah ditetapkan karena akan menjadi beban umat muihammad saw. Co.
keharusan memotong yg terkena Nazis, menuneikan zakat ¼ harta, membunuh jiwa untuk bertobat dari maksiat, tidak boleh shalat kecuali di masjid. Dll.

5. Benar dan Batal ( suatu penilaian syara’ dari perbuatan mukalaaf jika sesuai sraya’ maka benar dan jika tidak sesuai syara’ maka batal )

Hukum taklifi adalah tuntutan Allah yang berkaitan degan perintah untuk berbuat atau perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan. Atau sesuatu yang menuntut suatu pekerjaan mukallaf atau menuntut untuk berbuat atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalknannya.
1.Wajib
2.Mandub/ Sunnah/ Mustahab
3.Haram
4.Makruh
5.Mubah

Hukum Wad’I adalah perintah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atausebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga penghalang bagi adanya sesuatu yang lain tersebut..
1. Sebab
2. Syarat
3. Mani’ ( Penghalang )
4. Rukhshoh dan Azimah
5. Benar dan Batal



2.Al Hakim ( yang menetapkan sumber hukum syara bg seluruh tindakan mukallaf adalah Allah SWT ) ( QS : 6 : 57 ) masalah : apa yang dipakai u/ mengetahu hukum Allah.

Ada 3 pendapat :
1. Madzhab As’ariyyah ( akal manusia bias mengetahui hukum Allah lewat mediaotor Rasul dan kitab Allah. ) tolak ukur baik dn buruk adlah hukum syara’ bukan akal.
2. Madzhab Mu’tazilah( akalmanusia mampu mengetahui hukum-hukum Allah tanpa mediator Rasul dan kitab yg dibawanya. ) sebab setiap erbuatan mukallaf mengandung sifat dan akibat yg membuat akal mampu mengambil keputusan positif dan negatif
3. Madzhab Amturidiyyah. ( jalan tengah ) sepakat dg mu’tajilah bahwa perbuatan baik atau buruk itu termasuk sesuatu yg terjangjkau leh akal mengenai manfaat dan madaratnya, tetapi mereka berbeda dg mu’tajilah mengenai hukum Allah harus seuai dg akal. ) dan mereka sependapat dg As’ariyyah bahwa hukum allah tidak bias diketahui melainkan melalui RAsul dan kitabnya. Mereka juga berbeda pendapat dg as’ariyyah bahwa baik buruknya perbuatan itu bersifat syara’ bukan rasio.menurut mereka , bahwa masalah kebaikan itu bias dijangkau oleh akal, lantaran apa-apa yg ada pada kejelekan mengandung kemadaratan walaupun tidak diungkapkan dlam syara’

3. MAHKUM FIH ( Perbuatan Mukalaf ) yg dihubungkan dg hukum syara
QS Al Maidah : 1 ) ayat tersebut berhubungan dg perbuatan mukallaf yaitu memenuhi janji.hukumnya wajib.
QS 2 : 282 ) hukum sunnah untuk mencatat hutang piutang.
QS 2 : 267 ) Hukum makruh menginfakkan harta yg jelek-jelek.
QS 2 : 184 ) hukum Mubah bagi yg sakit atau perjalanan untuk buka waktu puasa.
Tuntutan syara thdp perbuatan mukallaf menjadi sa apabila memnuhi 3 syarat :
1.perbuatan itu sungguh-sungguh diketahui oleh mukallaf sehingga ia dapat menuenikan tuntutan itu sesuai dg yg diperintahkan.
2.harus diketahui bahwa tuntutan itu keluar dari orang yg mempunyai wewenang menuntt hukum, atau dari orabng yg harus diikuti hukum-hukumnya oleh mukallaf.
3perbuatan yg dituntut adalah perbuatan yg mungkin dilakukan atau ada potensi bagi mukallaf untuk mengerjakan atau menolaknya.


4.MAHKUM ALAIH ( Mukalaf )

Dalam syara’ sahnya memberikan beban kepada mukallaf disyaratkan 2 hal :
1.sang mukallaf harus dapat memahami dalil taklifi ( pembebanan ), yakni harus mampu memahami nash-nash hukum yang dibebankan Al Qur’an dan as sunnah, baik yg langsung mapun melalui perantara. Sebab orang yg tidak mampu memamhami dalil – dalil taklif tidak akan dapat mengikuti apa yg dibebankan kepadanya dan tidak memahami maksdunya.
Maka barang siapa yg telah mencapaitingkat dewasa tanpa menampakan sifat0-sifat yg merusak akalnya, berarti dia telah sempurna padanya kemampuan untuk diberi beban. Atas dasar itu orang gila dan anak-anak tidak bias memamahami apa yg dibebankan. Demikian pula orang yg tidur , lupa dan mabuk.

Rasul bersabda:
Diangkat pena itu ( tidak dicatat amal manusisa ) ari 3 orang : orang y tidur hingga ia bangun, anak-anak hingga ia dewasa. Dan orang gila hingga ia berakal.
2.Mukallaf harus orang yang ahli dengan sessuatu yag dibebankannya. Penertian ahli secara etimologi ialah mempunyai kelayakan untuk menerima beban.
Menurut ulama ushul , Ahli ( layak ) itu terbagi 2 ( ahli wajib dan ahli melaksanakan ( ada )
1.Ahliyyatul wujub ( ahli wajib ) ialah kelayakan seseorang disebabkan layaknya ada hak-hak dan kewajiban padanya. Dasar kelayakan ini adanya karakteristik tertentu yg diciptakan Allah swt kepada manusia dan menjadi spesifikasi diantara berbagai macam binatang.
2.Ahliyyatul ada’a ( ahli melaksanakan ) ialah kelayakan diberi beban sehingga seseorang dianggap pantas menurut syara’ baik ucapan maupun perbuatannya. Dimana apabila ia m,elaksakana shalat, puasa dan sebagainya maka menurut syara semuanya dianggap sah dan dapat menggugurkan kewajibannya. Demikian pula jika ia melakukian tindak pidana kepada orang lain, baik menyangkut jiwa, harta maupun kehrmatan , maka ia dapat diujatuhi hukuman sewsuai perbuatannya.
Jadi ahli ada’a ialah kemapuan mempertanggungjawabkan perbuatannnya dan kemampuan membedakan sesuatu dengan akalnya.

Berkenaan dengan MAHKUM ALAIH ( Mukalaf ), maka ada ‘Awaridhul Ahliyyah ( penghalang-penghalang keahliyyan )

Yaitu penghalang keahlian seseorang untuk melaksanakan kketentuan syar’I sehingga seoarang manusia tidak mengerjakan ketentuan atau mendapat keringanan.

Penghalang – penghalang keahliyyan
1.penghalang yg dating dan menghalangi sama sekali ahliyyatul ada’a co. gila, tidur , pingsan dan hilang akal. Orang ini tidak sah perjanjinannya, pengelolaanya, dan tidak ada tuntutan apa yg ditinggalkan atau dikerjakannya.
2.penghalang yg dating yang tidak menghilangkan keahliah sama sekali, co sifat kurang akal, . orang yg kurang akalnya ini sebagian perjanjian dan pengelolaanya dapat dianggap sah , namun sebagian lainnya tidak sah, misalnya terjadi pada anak laki-laki remaja.
3.penghalang yng dating kepada manusia tetapi tidak mempengaruhi, mengurangi, menghilangkan keahlian. Akan tetapi mengubah sebagian hukum-hukumnya, karena ada anggapan dan keeuntungan yg mengehndaki perubahan ini misalnya ketidak tahuan dan lupa.

Sumber :
DR. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Gema Risalah Press. Jkt. cet. 2 . th 1997
Drs. HM . Suparta, Fiqih MA kurikulum 2004. kelas 3. Toha Putra. Semarang.

Kamis, 08 Januari 2009

> SEMINAR YANG BAIK

Sebelum kita melihat bagaimana membuat sebuah seminar yang baik, baiklah kita perjelas dahulu apa yang dimaksud dengan seminar dalam tulisan ini.
Yang pertama adalah apa tujuan seminar. Seminar di sini adalah untuk mengeksplorasi sebuah ide. Dengan demikian seminar berbeda dengan pelatihan, di mana di dalam pelatihan, ada sebuah keahlian yang dibawakan oleh seorang yang menguasainya dan di dalam pelatihan terjadi transfer ilmu.
Yang kedua adalah bagaimana peran orang yang ikut di dalam seminar. Seminar adalah satu pertemuan di mana semua para pesertanya terlibat aktif. Di dalam seminar yang dimaksud ini, tidak ada pembicara dan peserta, seperti yang dikenal dalam seminar pada umumnya. Tidak ada perbedaan antara pembicara dan peserta. Dengan demikian seminar dibedakan dari kuliah, di mana ada seorang lektor membawakan suatu tema atau ide, dan peserta kuliah mendengarkan dan bertanya. Lektor adalah seseorang yang menguasai tema tersebut, sedangkan peserta adalah orang yang mempelajari tema tersebut.
Untuk berjalannya sebuah seminar dengan baik perlulah dipikirkan beberapa syarat:
1. Ruang seminar
2. Peserta
3. Moderator
4. Jalannya seminar

Ruang Seminar
Ruang seminar yang memadai adalah sebuah ruang yang memungkinkan interaksi aktif selurah peserta seminar. Sebuah meja bundar besar adalah sebuah contoh yang baik. Atau kursi yang disusun dengan melingkar. Ruangan tentu saja harus cukup tenang dan cukup terang untuk memberikan iklim yang enak untuk berseminar. Adanya sebuah papan tulis dapat membantu.
Peserta
Untuk berjalannya sebuah seminar dengan baik, semua peserta adalah bukan kertas kosong yang menunggu diisi, seperti halnya kuliah. Mereka harus sudah membaca tentang tema yang akan diseminarkan. Mereka bisa membuat sebuah esei pendek tentang tema yang diseminarkan. Bila yang diseminarkan adalah sebuah teks, teks tersebut telah dibaca secara analitis, ditandai, disertai tanggapan dan kritik.
Dengan terlebih dahulu membaca tentang tema yang akan diseminarkan, mereka telah mengolahnya di dalam kepala mereka. Mereka telah memiliki bayangan akan apa yang diseminarkan. Kertas di tangan yang berisi ringkasan tema yang diseminarkan menurut masing-masing peserta, akan memandu mereka nantinya di dalam seminar.

Moderator
Seorang moderator di dalam seminar berbeda dengan seorang lektor di dalam kuliah. Ia bukanlah seorang yang memberikan pelajaran, melainkan orang yang mengarahkan jalannya seminar.
Semestinyalah seorang moderator adalah orang yang paling senior dalam tema yang akan diseminarkan. Ini bukan berarti pendapatnyalah yang paling benar. Senioritas dalam penguasaan materi semata-mata untuk mengarahkan seminar, karena ia mestinya yang paling tahu tentang seluk beluk tema yang diseminarkan.
Peran seorang moderator ada dua: mengarahkan (directing) dan memoderasi (moderating). Dalam mengarahkan, ia menjaga agar seminar tidak melenceng dari tema. Dengan memoderasi, ia menjaga agar tidak ada satu orang atau satu ide tertentu yang terlalu mendominasi seminar sehingga seluruh tema seminar tidak tereksplorasi dengan baik.
Sebelum seminar, seorang moderator harus telah membaca tema yang akan diseminarkan, menyiapkan catatan tentang tema tersebut, menentukan kata-kata kunci, dan menyusun pertanyaan-pertanyaan kunci yang nantinya akan ditanyakan di dalam seminar. Di awal seminar ia dapat menuliskan terlebih dahulu poin-poin yang akan didiskusikan atau menggambarkan sebuah diagram yang mencerminkan ide yang akan didiskusikan.
Seorang moderator yang baik haruslah seorang pendengar dan pembicara yang baik. Ia mampu menangkap maksud sebuah pembicaraan dan membuatnya lebih jelas. Ia mampu memparafrasekan sebuah pertanyaan menjadi pertanyaan lain yang lebih jelas.
Mengingat beratnya tugas seorang moderator, sebaiknya seorang moderator tidak memimpin sebuah seminar lebih dari satu kali dalam sehari.

Jalannya seminar
Seminar dimulai dengan pengantar singkat dari moderator, dan langsung dilanjutkan dengan pertanyaan kunci yang dibahas oleh semua peserta secara bergiliran.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan supaya seminar berjalan baik:
1. Seminar adalah sebuah diskusi dua arah. Tidak ada seorang yang lebih mendominasi pembicaraan. Adalah tugas moderator untuk memperhatikan ini.
2. Seminar bisa dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah jelas ada jawabannya, lalu mengarah ke pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih dalam dan tidak jelas jawabannya. Pertanyaan jenis kedualah yang memberikan manfaat terbesar. Tidaklah banyak pertanyaan yang seperti demikian.
3. Semua pertanyaan dan pernyataan dinyatakan dengan jelas tanpa ambiguitas. Jika sebuah pertanyaan atau pernyataan belum jelas, moderator harus bisa menunjukkan itu dan meminta sang pengujar untuk memperjelasnya.
4. Masih berhubungan dengan poin pertama, setiap pertanyaan haruslah jelas sebelum ditanggapi dengan jawaban. Penanggap berhak meminta penjelasan lebih lanjut atas pertanyaan sebelum ia menjawab. Tanggapan tentunya juga harus relevan dengan pernyataan. Moderator juga harus memperhatikan ini.
5. Sebuah pertanyaan bisa dilihat sebagai jembatan kepada pertanyaan lain yang lebih mendasar. Hanya dengan cara demikian sebuah seminar dapat memberikan manfaat lebih.
6. Bila ada istilah yang sama, tetapi dipakai dengan arti yang berbeda oleh beberapa orang, moderator harus menunjukkan itu dan membuat kesepakatan dalam arti apa istilah itu dipakai sebelum melanjutkan seminar.
7. Etiket harus diperhatikan dalam sebuah seminar, seperti halnya di sebuah meja makan. Bahasa harus santun dan tidak merendahkan. Moderator terlebih harus memberikan contoh yang dapat diikuti oleh peserta yang lain. Bukan berarti seminar tidak bisa dilakukan dengan ringan dan diiringi tawa, namun canda dan tawa dilakukan dengan wajar dan memberi makna di dalam seminar. Tidak ada yang lebih membantu untuk mengingat ketimbang ide-ide kreatif yang kadang membangkitkan tawa.
8. Seminar adalah sebuah tempat untuk menggodok ide. Ia bukanlah tempat untuk membenarkan diri. Setiap orang harus kritis namun menerima bila ada pendapat yang lebih baik. Di dalam seminar semua orang memiliki posisi yang sama.
9. Sebuah seminar yang baik tidaklah harus menghasilkan sebuah kesimpulan tunggal. Setiap orang bisa pulang dengan pendapatnya masing-masing. Yang terpenting adalah mata mereka lebih terbuka, mereka telah melihat ide-ide baru yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh mereka.
Demikianlah sebuah seminar Sokratik sebaiknya dilaksanakan. Dengan seminar seperti ini, semua peserta dapat mengambil manfaat. Sebuah seminar yang baik seperti ini dapat memberi manfaat seumur hidup yang mengendap sebagai manfaat terbaik yang dapat diberikan oleh sebuah pendidikan.

> materi SEMINAR

DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………………………… 1
1.1. Pengertian Seminar ……………………………………………………. 1
1.2. Topik Seminar ……………………………………………………………. 1
1.3. Makalah Seminar ……………………………………………………….. 1
1.4. Koordinator Seminar …………………………………………………….. 1
1.5. Moderator Seminar ……………………………………………………… 2
1.6. Dosen Penilai/ Pembimbing Seminar ………………………………… 2
1.7. Peninjau Seminar ……………………………………………………….. 2
1.8. Peserta Seminar ………………………………………………………… 2
1.9. Penyaji Makalah Seminar ………………………………………………. 2
1.10. Daftar Hadir Peserta …………………………………………………….. 3
BAB II. TATA CARA SEMINAR
2.1. Persyaratan Peserta ……………………………………………………. 4
2.2. Pengajuan Makalah ……………………………………………………. 4
2.3. Pelaksanaan Seminar …………………………………………………… 5
2.4. Penilaian Seminar ……………………………………………………….. 7
BAB III. SISTEMATIKA PENULISAN
3.1. Lembar Judul …………………………………………………………….. 8
3.2. Lembar Persetujuan ……………………………………………………. 8
3.3. Pendahuluan …………………………………………………………….. 9
BAB IV TATA CARA PENGETIKAN
4.1. Macam dan Ukuran Kertas …………………………………………….. 20
4.2. Mengatur Kertas ………………………………………………………… 20
4.3. Mengatur Jarak Baris/Spasi …………………………………..………. 20
4.4. Indensi (Sela Ketukan) ………………………………………………… 21
4.5. Nomor Halaman ………………………………………………………… 21
4.6. Nomor Bab dan Sub Bab ………………………………………………. 21
4.7. Menuliskan Bilangan …………………………………………………… 22
4.8. Kutipan …………………………………………………………………… 23
4.9 Tabel dan Bahan Gambar ………………………………………………. 25
4.10 Penyajian Daftar Pustaka ……………………………………………… 28


BAB I
PENDAHULUAN


1.1. SEMINAR
Adalah suatu pertemuan ilmiah untuk membahas masalah tertentu atas mata kuliah keahlian yang dipilih oleh seorang mahasiswa dan diberi tanggapan oleh Dosen Penilai Seminar dengan melalui diskusi guna tercapainya suatu kesepakatan untuk dijadikan kesimpulan. Masalah yang dibahas dapat berupa studi kasus atau studi kepustakaan.

1.2. TOPIK SEMINAR
Topik seminar diambil dari salah satu mata kuliah dari kelompok Mata Kuliah Keahlian (MKK) sesuai kurikulum yang berlaku pada Fakultas Ekonomi Universitas Pakuan baik Jurusan Manajemen maupun Jurusan Akuntansi.

1.3. MAKALAH SEMINAR
Makalah seminar adalah karya ilmiah melalui jalur penelitian yang dilakukan oleh peserta seminar Fakultas Ekonomi Universitas Pakuan. Usulan makalah seminar ini selambat-lambatnya 2 (dua) minggu diserahkan kepada Ketua Jurusan sebelum seminar dilaksanakan.

1.4. KOORDINATOR SEMINAR
Koordinator seminar adalah Ketua dan atau Sekretaris Jurusan, yang merencanakan, mengatur, menentukan moderator, dosen penilai dan melaporkan kegiatan seminar secara keseluruhan sampai dengan selesai kepada Dekan Fakultas, koordinator seminar bertanggung jawab atas pelaksanaan seminar pada Jurusan Manajemen maupun Jurusan Akuntansi.


1.5. MODERATOR SEMINAR
Adalah dosen yang ditunjuk untuk memimpin serta mengarahkan sesuai topik seminar yang dilaksanakan dan ditetapkan dengan Surat Keputusan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pakuan. Moderator seminar dapat berlainan sesuai dengan Mata Kuliah Keahlian (MKK) yang diseminarkan.

1.6. DOSEN PENILAI / PEMBIMBING SEMINAR
Adalah dosen yang telah ditetapkan sesuai Keputusan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pakuan, dan diundang oleh Koordinator seminar untuk mengadakan penilaian pelaksanaan seminar, koreksi atas makalah seminar yang diajukan oleh peserta yang akan dipresentasikan dan sampai siap untuk dilanjutkan menjadi usulan makalah skripsi.

1.7. PENINJAU SEMINAR
Peninjau seminar adalah struktural Fakultas Ekonomi Universitas Pakuan yang diundang ataupun tidak oleh koordinator seminar untuk mengadakan peninjauan terhadap pelaksanaan seminar.

1.8. PESERTA SEMINAR
Peserta seminar adalah mahasiswa yang telah memperoleh total kredit minimal 132 (Seratus Tiga Puluh Dua) SKS dari total SKS yang ditawarkan dan Indek Prestasi Komulatif (IPK) minimal 2,00 serta nilai D maksimum 2 (dua) Mata Kuliah berdasarkan kurikulum Fakultas Ekonomi Universitas Pakuan dan telah melakukan Her-Registrasi pada semester berjalan serta telah melakukan pendaftaran serta memberikan persyaratan yang diperlukan ke Sekretaris Jurusan Fakultas Ekonomi Universitas Pakuan.

1.9. PENYAJI MAKALAH SEMINAR
Penyaji makalah seminar adalah peserta seminar perorangan, yang dijadwalkan untuk menyajikan makalah seminar dengan topik yang tertuang dalam makalah yang telah diajukan dalam usulan seminar.

1.10. DAFTAR HADIR PESERTA SEMINAR
Peserta seminar harus hadir dari awal sampai dengan akhir seminar serta wajib menempuh kehadiran selama semester berjalan setara dengan 16 (enam belas) kali pertemuan dengan menyerahkan kartu hadir kepada koordinator seminar. dan atau moderator seminar.
Peserta seminar adalah perkelompok Mata Kuliah Keahlian (MKK) yang sama, dengan perincian kehadiran 16 (enam belas) kali hadir untuk Mata Kuliah Keahlian yang dipilih untuk diseminarkan, dan 2 (dua) kali hadir untuk setiap 4 (empat) Mata Kuliah Keahlian yang lainnya.

BAB II
TATA CARA SEMINAR


2.1. PERSYARATAN PESERTA
2.1.2. Persyaratan Administrasi
1. Terdaftar sebagai mahasiswa aktif Fakultas Ekonomi Universitas Pakuan pada semester / tahun akademik yang bersangkutan (dibuktikan dengan kartu mahasiswa yang berlaku).
2. Telah menyelesaikan semua kewajiban keuangan sampai dengan semester/ tahun akademik yang bersangkutan (dibuktikan dengan bukti-bukti pembayaran).
2.1.2. Persyaratan Akademik
1. Telah memperoleh total kredit minimal 132 SKS dari total SKS yang ditawarkan kurikulum Fakultas Ekonomi Universitas Pakuan.
2. Telah menempuh dan lulus mata kuliah yang telah menjadi prasyarat penyusunan makalah seminar dengan nilai minimal C.

2.2. PENGAJUAN MAKALAH
Untuk memberikan arah dan men-sistematisasi-kan prosedur pengajuan makalah seminar, maka perlu dijelaskan prosedur pengajuan makalah seminar dengan urutan sebagai berikut :
2.2.1. Mahasiswa yang telah memenuhi persyaratan sebagai peserta seminar mengajukan judul seminar kepada koordinator seminar.
2.2.2. Peserta seminar mengajukan 2 (dua) judul alternatif topik seminar dari kelompok Mata Kuliah Keahlian (MKK) dengan menyebutkan identitas peserta seminar.
2.2.3. Pengajuan ditujukan kepada Ketua Jurusan Manajemen atau Akuntansi
2.2.4. Ketua Jurusan Manajamen atau Akuntansi akan meneliti persyaratan akademik maupun administrasi, dan menentukan topik makalah seminar yang layak dijadikan materi penulisan makalah seminar.
2.2.5. Setelah judul makalah seminar disetujui peserta seminar diperkenankan untuk menulis makalah seminar sesuai dengan pedoman penulisan yang dibahas pada Panduan Seminar ini. Makalah seminar yang telah selesai dibuat diserahkan kepada Ketua Jurusan Manajemen atau Akuntansi sebanyak 4 (empat) eksemplar, yang selanjutnya oleh Ketua Jurusan diserahkan makalah seminar tersebut diberikan kepada Dosen Penilai dan Moderator seminar, selanjutnya untuk dipresentasikan oleh mahasiswa sesuai dengan jadwal.
2.2.6. Makalah seminar harus telah diterima oleh Ketua Jurusan selambat-lambatnya 2 (dua) minggu sebelum makalah tersebut diseminarkan.
2.2.7. Makalah seminar harus dijilid rapi dengan sampul berwarna kuning.

2.3. PELAKSANAAN SEMINAR
2.3.1. Komponen Seminar
Komponen seminar terdiri dari moderator, Dosen Penilai / Pembimbing Seminar, Peninjau Seminar, Penyaji Makalah Seminar dan Peserta Seminar.
2.3.2. Tata Tertib Pelaksanaan
1. Peserta seminar harus hadir 15 menit sebelum pelaksanaan seminar dimulai.
2. Peserta seminar harus berpakaian rapi :
Pria : Kemeja lengan panjang, berdasi, celana panjang warna hitam, sepatu formal dan menggunakan Jaket Almamater.
Wanita : Kemeja lengan panjang, rok, sepatu formal dan menggunakan Jaket Almamater.
3. Apabila dalam pelaksanaan seminar dalam waktu 30 menit dosen penilai tidak hadir, maka seminar dibatalkan dan akan ditentukan dikemudian hari oleh koordinator seminar.
4. Peserta seminar harus hadir 100% dengan perincian 16 kali hadir untuk Mata Kuliah Keahlian yang dipilih dan 2 kali masing-masing untuk Mata Kuliah Keahlian lainnya yang diseminarkan dari seluruh pelaksanaan seminar terjadwal sesuai dengan kelompok Mata Kuliah Keahlian (MKK) yang dipilih.
5. Seminar dilaksanakan berdasarkan kelompok Mata Kuliah Keahlian (MKK) yang dipilih oleh mahasiswa.
6. Apabila telah dinyatakan layak menurut dosen penilai / pembimbing seminar dan dinyatakan lulus, maka selanjutnya penyaji diperkenankan untuk melanjutkan menjadi skripsi.
2.3.3. Tata Cara Penyajian Seminar
1. Penyaji seminar menyajikan / memberikan penjelasan makalahnya selama maksimum 20 menit.
2. Penyaji makalah seminar secara singkat dengan materinya sebagai berikut :
a. Judul seminar
b. Latar Belakang Penelitian
c. Identifikasi Masalah
d. Kerangka Pemikiran, Paradigma dan Hipotesis
e. Metode Penelitian Secara Lengkap
3. Media dan sarana Penyajian.
a. Overhead Projector (OHP)
b. White Board
c. Slide / Kertas Transparan
d. Sound system (Pendukung Sarana Komunikasi)


2.4. PENILAIAN SEMINAR
2.4.1. Penilaian seminar adalah kegiatan evaluasi terhadap kemampuan peserta seminar mengenai materi seminar yang dipresentasikan dengan komponen penilaian yang telah ditentukan.
2.4.2. Aspek yang dinilai sebagai penyaji makalah seminar, meliputi :
Penilaian Khusus :
- Judul
- Bab I Pendahuluan
- Bab II Kerangka Pemikiran, Paradigma dan Hipotesis
- Bab III Metode Penelitian
- Relevansi Studi Kepustakaan
- Sistematika Penulisan
Penilaian Umum :
- Sikap Dan Sopan Santun
- Kemampuan Presentasi
- Kemampuan Menanggapi Pertanyaan
2.4.3. Ketentuan Penilaian
1. Penyaji makalah seminar yang belum layak disajikan menurut dosen penilai tidak akan diberikan nilai, dan penyajian makalah seminar tersebut harus diulang kembali dengan jadwal yang akan ditetapkan kemudian oleh Ketua Jurusan.
2. Apabila makalah yang diseminarkan menurut dosen penilai mengalami perbaikan, maka nilai akan diberikan setelah makalah seminar tersebut diperbaiki dan dinyatakan benar oleh dosen penilai.
3. Penilaian diberikan kepada semua unsur penilaian yang dinyatakan dalam angka absolut. Selanjutnya dikalikan dengan bobotnya, sesuai pedoman penilaian yang diatur dalam Keputusan Dekan FEUP No 056/SK/D/FE-UP/XII/1997 tgl 12 Desember 1997, tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyempurnaan Kurikulum Fakultas Ekonomi Universitas Pakuan tahun 1986.
BAB III
SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan makalah seminar (outline) terdiri atas komponen-komponen sebagai berikut :

3.1 LEMBAR JUDUL
Lembar ini memuat : Lambang Universitas Pakuan; Judul; Makalah Seminar, Nama Mahasiswa; Nomor Pokok Mahasiswa; Jurusan/Program Studi yang dituju dan Periode Seminar (lihat lampiran I).
1. Lambang Universitas Pakuan berbentuk segi 5 (lima) sesuai ukuran standar Universitas Pakuan.
2. Judul dibuat sesingkat-singkatnya yang mencakup 2 (dua) variabel atau lebih yang mempunyai keterkaitan / ketergantungan satu dengan yang lainnya sehingga dapat menggambarkan identitas dari seluruh proposal makalah seminar. Dengan identitas tersebut, judul dapat mencerminkan tema pokok dari penelitian yang akan dilakukan.
3. Maksud proposal makalah seminar ini ialah untuk menyusun makalah seminar S1 pada Jurusan Manajemen maupun Akuntansi pada Fakultas Ekonomi Universitas Pakuan.
4. Nama mahasiswa ditulis dengan lengkap dan tidak boleh disingkat.
5. Ditujukan kepada Ketua Jurusan Manajemen atau Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Pakuan.
6. Periode pengajuan ditulis dengan bulan dan tahun.

3.2 LEMBAR PERSETUJUAN
Lembar ini berisikan persetujuan Ketua Jurusan disertai dengan tanda tangan dan tanggal persetujuan (lihat lampiran).



3.3 PENDAHULUAN
Pendahuluan berfungsi sebagai pengantar informatif tentang keseluruhan secara sistematis dan terarah dalam kerangka urutan logika yang memberikan upaya pembenaran terhadap motivasi landasan pemikiran, pendekatan, metode analisa, interpretasi untuk sampai kepada tujuan dan kegunaan penelitian, dan terdiri dari sebagai berikut :
3.3.1 Kerangka Makalah Seminar
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian (Tema Sentral Penelitian)
1.2. Perumusan dan Identifikasi Masalah
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1. Maksud Penelitian
1.3.2. Tujuan Penelitian
1.4. Kegunaan Penelitian
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN, PARADIGMA DAN HIPOTESIS
2.1. Kerangka Pemikiran dan Paradigma
2.2. Hipotesis
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
3.2. Operasionalisasi Variabel Termasuk dengan Pengukurannya.
3.3. Metode Penarikan Sampel
3.4. Prosedur Pengumpulan Data
3.5. Metode Analisis
JADWAL PENELITIAN (RESEARCH SCHEDULE)
DAFTAR PUSTAKA



3.3.2 Latar Belakang Penelitian
Latar belakang penelitian mencerminkan dinamika proses pemikiran mengapa fenomena (gejala alam, gejala sosial) terjadi. Peneliti harus merasa yakin bahwa fenomena yang dijumpai benar-benar mempunyai masalah yang masih aktual dan relevan dengan masa kini untuk mendapatkan konfirmasi adalah melalui kepustakaan atau literatur dalam berbagai bentuk sumber informasi.
- Sejauhmana latar belakang fenomena masalah telah dikupas dengan baik dengan menyajikan informasi atau data yang akurat mengenai fakta dilapangan/objek (sebutkan sumbernya).
- Sejauhmana latar belakang Teoritikal masalah telah dikupas dan berhasil diintegrasikan dengan latar belakang fenomena masalah. (sebutkan sumbernya)
- Sejauhmana perumusan masalah (Problem Statement) telah dirumuskan dengan baik.
- Sejauhmana rumusan masalah berkaitan dengan aspek teoritikal.(Hubungan antara variabel yang didukung oleh pakar atau teori yang bersangkutan).
- Sejauhmana bisa membedakan penelitian yang bersifat kualitatif dan bersifat kuantitatif, adapun ciri yang membedakan adalah sebagai berikut :
KUALITATIF
KUANTITATIF
Frase-Frase Yang Berkaitan Dengan Pendekatan
Frase-Frase Yang Berkaitan Dengan Pendekatan
- Etnografis
- Kerja Lapangan
- Interaksi Simbolik
- Naturalistik
- Etnometodologis
- Observasi
- Fenomenologis
- Studi Kasus
- Eksperimen
- Persfektif luar
- Empiris
- Positifis
- Statistik
Konsep Kunci Berkaitan Dengan Pendekatan
Konsep Kunci Berkaitan Dengan Pendekatan
- Makna
- Menggolongkan
- Definisi Situasi
- Kehidupan Sehari-hari
- Pemahaman
- Proses

- Variabel
- Mengoperasionalkan
- Reliabilitas
- Hipotesa
- Validitas
- Replikasi
Afilisasi Akademis
Afilisasi Akademis
- Sosiologi
- Historis
- Antropologis
- Psikologis
- Ilmu Ekonomi
- Sosiologi
- Ilmu Politik
Menulis Proposal Penelitian
Menulis Proposal Penelitian
- Singkat
- Spekulatif
- Menunjukan fokus yang relevan untuk diteliti
- Sering ditulis setelah ada data terkumpul
- Hipotesis disarankan ada dan tidak untuk diuji
- Panjang lebar
- Fokus rincian dan spesifik
- Melalui tinjuan pustaka yang substansif
- Prioritas penulisan pada pengumpulan data
- Hipotesis dinyatakan dan diuji
Data
Data
- Deskriftif
- Dokumen Pribadi
- Cadangan
- Kata-kata orang sendiri
- Dokumen resmi dan artifak
- Foto
- Kuantitatif
- Koding yang dapat di kuantifikasi
- Variabel operasional
- Statistik
- Bilangan ukuran
Sampel
Sampel
- Kecil
- Nonrepresentatif
- Sampling
- Besar
- Berstrata
- Kelompok
- Dipilih secara random
- Kontrol untuk variabel luar
- Tepat/ cermat (pricise)
Teknik atau Metode
Teknik atau Metode
- Observasi tinjauan berbagai dokumen dan artifak
- Wawancara terbuka (open ended interview)
- Eksperimen
- Penelitian survei wawancara tersruktur
- Kuasi ekperimen
- Observasi terstruktur
- Himpunan data
Analisis Data
Analisis Data
- Berkelanjutan
- Model, tema, konsep
- Induktif
- Metode komparatif
- Konstan
- Deduktif
- Dikerjakan selesai pengumpulan data
- Statistika

Masalah Dalam Penggunaan
Pendekatan Penelitian
Masalah Dalam Penggunaan
Pendekatan Penelitian
- Memakan waktu
- Sulit mereduksi data
- Prosedur tidak baku
- Sulit menstudi populasi besar
- Mencari Makna
- Berawal Fakta
- Melakukan Observasi, mencatat semua fakta secara holistik dan bersifat alamiah.
- Memahami/ interpretasi fakta : membuat deskripsi fenomena yang diamati.
- Perumusan generalisasi bersifat teoritik.
a. Proposisi
b. Konsep
c. Teori
- Mengontrol variabel lain
- Reifikasi (Reification)
- Sulit memaksa
- Validasi
- Membuktikan / Menguji Hipotesis
- Berawal masalah
- Rasionalisasi : semua masalah harus bermuara pada hipotesis, definisi operasonal sampel, dsb.
- Pengukuran : mengembangkan meto-de pengumpulan dan implementasi
- Generalisasi empirik hasil penelitian (mengacu ke populasi)
- Sejauhmana bisa membedakan penelitian Deskriptif yang menggunakan Survai dan Studi Kasus, serta bisa membedakan penelitian Eksplanasi Format Survai dan Format Eksperimen.
Segi-Segi Permasalahan dan Metodologi Penelitian yang Perlu Dinyatakan dan Dijelaskan dalam Usulan Rancangan Penelitian Deskriptif / Format Survai
Segi-segi permasalahan yang perlu dinyatakan dan dijelaskan
Segi-segi Metodologi Penelitian yang perlu dinyatakan dan dijelaskan
1. Latar belakang masalah penelitian (terma-suk didalamnya penerapan hasil studi kepustakaan dan hasil penelitian yang relevan)
2. Rumusan masalah penelitian
3. Tujuan Penelitian
4. Batasan konsep/istilah
5. Signifikansi masalah (pentingnya pene-litian)
1. Populasi dan sampel penelitian (ter-masuk di dalamnya teknik pengam-bilan sampel yang digunakan)
2. Metode dan instrumen pengumpulan data
3. Metode pengolahan dan analisis data
Segi-Segi Permasalahan dan Metodologi Penelitian yang Perlu Dinyatakan dan Dijelaskan dalam Usulan Rancangan Penelitian Deskriptif / Format Studi Kasus
Segi-segi permasalahan yang perlu dinyatakan dan dijelaskan
Segi-segi Metodologi Penelitian yang perlu dinyatakan dan dijelaskan
1. Latar belakang masalah penelitian (terma-suk didalamnya penerapan hasil studi kepustakaan dan hasil penelitian yang relevan)
2. Rumusan masalah penelitian
3. Tujuan penelitian
4. Batasan konsep/istilah
5. Signifikansi masalah (pentingnya pene-litian)
1. Subyek penelitian
2. Sumber dan metode pengumpulan data
3. Metode analisis dan pelaporan hasil penelitian
Segi-segi Permasalahan dan Metodologi Penelitian yang Perlu Dinyatakan dan Dijelaskan dalam Usulan Rancangan Penelitian Eksplanasi / Format Survai
Segi-segi permasalahan yang perlu dinyatakan dan dijelaskan
Segi-segi Metodologi Penelitian yang perlu dinyatakan dan dijelaskan
1. Latar belakang masalah penelitian
2. Rumusan masalah penelitian
3. Tujuan Penelitian
4. Hipotesis penelitian
5. Asumsi dan keterbatasan penelitian
6. Batasan konsep / variabel / istilah
7. Signifikansi masalah (pentingnya pene-litian)
1. Populasi dan sampel penelitian
2. Metode dan instrumen pengumpulan data
3. Metode pengolahan dan analisis data

Segi-segi Permasalahan dan Metodologi Penelitian yang Perlu Dinyatakan dan Dijelaskan dalam Usulan Rancangan Penelitian Eksplanasi / Format Eksperimen
Segi-segi permasalahan yang perlu dinyatakan dan dijelaskan
Segi-segi Metodologi Penelitian yang perlu dinyatakan dan dijelaskan
1. Latar belakang masalah penelitian
2. Rumusan masalah penelitian
3. Tujuan Penelitian
4. Hipotesis penelitian
5. Asumsi dan keterbatasan penelitian
6. Batasan konsep / variabel / istilah
7. Signifikansi masalah (pentingnya pene-litian)
1. Rancangan Eksperimen yang digunakan
2. Instrumen pengukuran (Tes atau Ob-servasi) yang digunakan
3. Metode pengolahan dan analisis data

- Sejauhmana kelayakan masalah baik dari aspek ruang lingkup dan teoritikal dapat dijadikan suatu dasar penelitian lanjutan yang dijadikan skripsi.
- Pada latar belakang penelitian harus mengupas atau membahas semua variabel misalnya (Dependent, Independent, Intervening dan Moderator) yang akan dijadikan judul seminar.
- Pada latar belakang pengungkapan dimulai dari Deduktif Thinking (seharusnya / teori) ke Induktif Thinking (Kenyataan).
3.3.3 Identifikasi Masalah
- Sejauhmana identifikasi masalah (Research Questions) telah dirumuskan sesuai dengan relevansi masalah/ memilih masalah yang lebih penting.
- Sejauhmana implikasi dan identifikasi masalah terhadap kebutuhan kerangka pemikiran teoritikal (Model)
- Sejauhmana identifikasi masalah menempuh fokus dan perumusan masalah (Problem Statement) / mempertegas masalah yang telah dirumuskan.
Contoh : Penelitian Yang Sederhana Untuk Jurusan Manajemen :
Judul : Pengaruh Kompensasi Jabatan Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan

Identifikasi Masalah :
1. Seberapa besar pengaruh pelaksanaan sistem kompensasi jabatan yang diberikan oleh Perusahaan terhadap produktivitas.
2. Apakah apa perbedaan pengaruh kompensasi financial dengan kompensasi non financial terhadap produktivitas kerja pada Perusahaan.
3. Apakah ada hubungan antara kompensasi jabatan dengan produktivitas kerja pada Perusahaan.

Contoh : Penelitian Yang Sederhana Untuk Jurusan Akuntansi
Judul : Peranan Pelaksanaan Internal Audit Terhadap Efisiensi dan Efektivitas Operasi Perusahaan.
Identifikasi Masalah :
1. Bagaimana pelaksanaan internal audit yang dilakukan oleh perusahaan.
2. Bagaimanakah efisiensi dan efektivitas perusahaan dalam mendukung pelaksanaan operasi perusahaan.
3. Seberapa besar peranan internal audit yang dilakukan terhadap efisiensi dan efektivitas operasi perusahaan.
3.3.4 Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dan tujuan penelitian diselaraskan dalam perumusannya, sesungguhnya hal ini merupakan gambaran operasionalisasi variabel. Oleh karena itu urutannya harus konsisten dengan urutan identifikasi masalah, sedang perumusannya berupa kalimat deklaratif / tidak berupa kalimat tanya dengan berorientasi kepada perumusan identifikasi masalah. Atau dengan kata lain suatu pernyataan tentang sesuatu yang akan dicari jawabannya atau menentukan aspek-aspek yang ingin dijawab melalui penelitian (menjawab pertanyaan yang ada pada identifikasi masalah). Dapat diikuti pedoman perumusannya sebagai berikut :
1. Mempelajari faktor-faktor apa yang terlibat dalam fenomena.
2. Mempelajari karakteristik faktor-faktor dalam pengaruhnya terhadap fenomena.
3. Sejauhmana terdapat pengaruh gabungan faktor-faktor tertentu terhadap fenomena.
3.3.5 Kegunaan Penelitian
Merupakan pentajaman spesifikasi sumbangan peneliti terhadap nilai manfaat praktis juga sumbangan ilmiahnya bagi perkembangan ilmu atau singkatnya kegunaan penelitian terdiri dari :
- Kegunaan Praktis (Sumbangan untuk memecahkan masalah praktis).
- Kegunaan Akademis (Sumbangan untuk pengembangan ilmu)
3.3.6 Kerangka Pemikiran dan Hipotesis
Setelah masalah yang dihadapi dikonfirmasi, aktualitas dan relevansinya dari kepustakaan kemudian dirumuskan tema sentral masalahnya, maka kita kembali menentukan kepustakaan untuk mengungkap hal-hal yang esensial untuk argumentasi hubungan dasar teoritis dalam rangka pendekatan masalah yang dihadapi.
Bahwa ilmu pengetahun merupakan lanjutan dari akumulasi karya ilmiah para pakar terdahulu, teori demi teori diuji kebenaran ilmiahnya sehingga ada yang berguguran dan silih berganti dan diuji oleh yang baru namun ada pula yang berjalan terus dan menjadi hukum.
Menyusun kerangka pemikiran itu hanya menggunakan teori-teori yang paling relevan dan masih berlaku. Adapun pilihan teori tersebut dipandu oleh kata-kata kunci, yaitu faktor-faktor yang terlibat.
Kerangka pemikiran merupakan rangkuman ringkas mengenai faktor-faktor yang terlibat karakteristik masing-masing dan sifat pengaruhnya terhadap masalah, juga meliputi bagaimana hubungan faktor yang satu dengan yang lainnya dalam pengaruh gabungannya terhadap masalah.
- Sejauhmana kerangka pemikiran yang disusun relevan dengan identifikasi masalah.
- Sejauhmana dari kerangka pemikiran itu dihasilkan suatu model (model verbal, grafis, matematis, ekonometrik)
- Sejauhmana keseuaian antara model yang dibangun dengan kerangka pemikiran dan masalah yang dibahas.
- Apakah model yang dibangun telah memenuhi persyaratan sebagai model atau teoritical plausibility, explanatory ability, accuracy, forecasting ability, simplicity.
- Apakah kegunaan model yang dibangun sudah diungkapkan dengan jelas.
- Pengungkapan kerangka dimulai dari Induktif Thinking (Kenyataan) kepada Deduktif Thinking (Seharusnya / Teori).
- Pada kerangka pemikiran mengupas atau membahas semua variabel dari variabel Independent ke variabel Dependent yang akan dijadikan judul seminar.
Setelah Kerangka Pemikiran selesai dibuat maka dapat dibuatkan paradigma penelitian untuk memudahkan alur penelitian yang akan dilakukan.
Setelah itu baru dibuat hipotesis atau anggapan sementara dari penulis tentang judul penelitian. Apakah rumusan hipotesis mengacu pada model dan kerangka pemikiran secara spesifik., apakah asumsi-asumsi judul diungkap dengan jelas, sejauhmana hipotesis-hipotesis tersebut dapat diuji secara empiris atau apakah variabel-variabel dalam hipotesis tersebut mungkin untuk dioperasionalisasikan.
1. Hipotesis berupa perumusan eksplisit dan sederhana yang bersifat deklaratif (menyatakan) tentang apa yang diantisipasinya sebagai jawaban tentatif (sementara) terhadap masalah yang digarap.
2. Hipotesis merupakan upaya sumbangan teori baru kepada pengembangan ilmu yang harus diuji lebih lanjut melalui penelitian. Disamping itu memberi identitas kepada peneliti dalam spesifikasi tingkat orisinilitas penelitiannya yang membedakan dari penelitian terdahulu.
3. Merumuskan hipotesis sebaiknya efektif dan efisien diantaranya adalah eksplisit, konkrit, sederhana, deklaratif dan prediktif (meramalkan) atau antisipatif (menduga kejadian).

Contoh : Penelitian Yang Sederhana Untuk Jurusan Manajemen :
Judul : Pengaruh Kompensasi Jabatan Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan

Hipotesis :
1. Pemberian kompensasi jabatan berpengaruh secara signifikan terhadap produktivitas kerja karyawan (catatan : gambaran tersebut didukung oleh data dari fakta yang ada dalam kerangka pemikiran).
2. Pengaruh pemberian kompensasi jabatan secara financial dan non financial mempunyai perbedaan yang siginifikan terhadap produktivitas kerja. (catatan : gambaran tersebut didukung oleh data dari fakta yang ada dalam kerangka pemikiran).
3. Terdapat hubungan yang siginifikan antara pemberian kompesasi jabatan dengan produktivitas kerja.
Contoh : Penelitian Yang Sederhana Untuk Jurusan Akuntansi:
Judul : Peranan Pelaksanaan Internal Audit Terhadap Efisiensi dan Efektivitas Operasi Perusahaan.
Hipotesis :
1. Pelaksanaan Internal audit yang dilakukan sudah sesuai dengan standar akuntansi (catatan : gambaran tersebut didukung oleh data dari fakta yang ada dalam kerangka pemikiran).
2. Perusahaan sudah menjalankan operasional perusahaannya dengan efesien tetapi belum efektif (catatan : gambaran tersebut didukung oleh data dari fakta yang ada dalam kerangka pemikiran).
3. Terdapat peranan yang besar didalam pelaksanaan internal audit terhadap efisiensi dan efektivitas operasional perusahaan.
3.3.7 Metode Penelitian
Metode penelitian sifatnya sangat teknis mengenai segala sesuatu yang terlibat dalam persiapan agar pelaksanaan operasional penelitian berlangsung lancar dan apa yang diharapkan didukung oleh data empiris yang terungkap.
Setiap istilah faktor, kriteria, tolak ukur dijelaskan secara spesifik dan terinci. Ada kalanya diperlukan penerapan definisi operasional secara khusus tentang kriteria tertentu, sebagai asumsi titik tolak yang melandasi dukungan fungsional terhadap sub kriteria dan kriteria lainnya.
Di samping itu harus konsisten sesuai dengan tema sentral masalah, identifikasi masalah, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, paradigma penelitian beserta hipotesisnya.
Berdasarkan acuan-acuan mulai identifikasi masalah sampai dengan hipotesis, maka sudah tergambar judul dan semua variabel yang terlibat. Cara mengekspolarasi masing-masing pengaruhnya, baik sebagai efek tunggal maupun efek gabungannya, selain itu juga mengenal pengaruh diantara variabel independent (yang mempengaruhi) dengan variabel dependent (yang dipengaruhi) dengan demikian judul tergambar pula apa sub variabel dari masing-masing variabel yang bersangkutan dengan dukungan data sekunder dapat diketahui pula populasi objek penelitiannya. Adapun susunannya terdiri dari :
1. Desain Penelitian
Serangkaian pilihan pengambilan keputusan yang rasional mencakup:
- Tujuan Studi (Descriftive, Exploratory, Hypotesis Testing, Case Study)
- Type Penyelidikan (Causal Relationship, Correlational)
- Unit Analisis ( Perusahaan / Organisasi, Individu / Karyawan/ pelanggan, Dyads mis : perusahaan dan pelanggan, Group )
2. Operasionalisasi Variabel
- Penunjukan nilai / angka pada suatu variabel
- Mengungkapkan konsep dengan realita (sebagai dasar pembuatan kuisioner)
- Contoh : Terlampir
3. Metode Penarikan Sampel
Metode yang akan digunakan dalam pengambilan sampel yang dipilih dari populasi yang bersifat homogen maupun heterogen.
4. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan untuk melengkapi penyusunan proposal melalui beberapa jenis prosedur pengunpulan data.
Misal :
- Kuesioner (open ended questions, closed ended questions atau kombinasi open ended questions dengan closed ended questions)
- Wawancara : Proses interaksi dan komunikasi untuk memperoleh data.
- Observasi : pengamatan
5. Metode Analisis
Suatu proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah untuk dibaca dan di interprestasikan (rumus-rumus statistika yang akan digunakan dalam penelitian).
Misal :
- Analisis Deskripsi
- Tabel frekwensi dan persentase
- Tabel Distribusi persentase
- Diskripsi data grafik
- Diskripsi data bersambung
- Kecenderungan sentral dan rata-rata (Modus, Median)
- Rancangan Uji Hipotesis.


BAB IV
TATA CARA PENGETIKAN

4.1. MACAM DAN UKURAN KERTAS
Macam kertas yang diangap memenuhi syarat / standar untuk pengetikan makalah adalah kertas HVS dengan berat 80 gram/m2, ukuran 210 x 290 mm (A4). Pemakaian kertas diluar standar diperlukan dalam hal-hal tertentu seperti penyisipan kertas grafik, kertas gambar, lampiran surat keterangan asli, lembaran-lembaran kuisioner dan semacamnya.

4.2. MENGATUR KERTAS
Tidak semua kertas ketik berisi ketikan. Ada “ruang ketikan” dan ada “ruang tepi” yang diberikan kosong (hanya untuk memuat nomor halaman). Ruang ketikan kira-kira 14,5 x 22 cm.
Lebar ruang tepi diatur sebagai berikut : Ruang tepi kiri lebar 4 cm dari tepi sebelah kiri : Ruang tepi kanan lebar 3 cm dari tepi sebeleah kanan.
Ruang tepi atas lebar 3 cm dari tepi sebelah atas dan Ruang tepi bawah lebar 3 cm dari tepi sebelah bawah.

4.3. MENGATUR JARAK BARIS / SPASI
Dalam pengetikan makalah seminar, spasi pada umumnya lebih sering digunakan adalah “spasi dobel” (double spaced typing). Pengetikan spasi (single spaced typing) terbatas pada beberapa penggunaan saja misalnya dalam mengetik kutipan langsung panjang, daftar pustaka. Pengetikan tiga spasi (triple spaced typing) jarang juga penggunaanya, misalnya antara nomor bab dengan judul bab, antara judul bab dengan baris pertama dari bab itu, dan antara sub bab dengan baris diatasnya dan bawahnya.
Jumlah baris tiap halaman dengan pengetikan spasi ganda, sebaiknya tidak melebihi 26 baris.


4.4. INDENSI (SELA KETUKAN)
Tidak semua uraian (teks) diulai dari batas tepi kiri ruang ketikan. Untuk beberapa hal tertentu dimulai agak menjorok kedalam, seperti misalnya baris pertama dari suatu alinea tertentu, kutipan langsung panjang.
Lebar jorokan ke dalam (indensi) dihitung dengan ketukan huruf yaitu 5 (lima) huruf.

4.5. NOMOR HALAMAN
Jenis angka dan peletakan nomor halaman untuk pengetikan makalah seminar adalah sebagai berikut :
4.5.1. Untuk bagian awal (Premilinary Section) nomor halamannya menggunakan angka romawi kecil dan ditempatkan ditengah halaman bagian bawah (I, ii, iii, iv, v ….. dan seterusnya).
4.5.2. Untuk bagian tengah (body) dan bagian akhir (Reference Section) nomor halamannya menggunakan angka arab dan ditempatkan ditepi sebelah kanan atas (1, 2, 3 ………dan seterusnya).
Catatan : Halaman judul Makalah Seminar, nomor halaman tidak dicantumkan tetapi tetap diperhitungkan, dan setiap halaman judul bab baru nomor halaman ditempatkan di tengah halaman bagian bawah.

4.6. NOMOR BAB DAN SUB BABNYA
Makalah seminar sebagai suatu keseluruhan akan terdiri dari bab-bab. Suatu bab akan terbagi dalam bagian-bagian kecil yang masing-masing merupakan satu kebulatan uraian dimana kelompok-kelompok uraian tersebut masih merupakan satu kebulatan pikiran yang utuh.
Untuk memberikan kemudahan, bab dan bagian-bagiannya beserta pemberian nomornya, ditawarkan cara sebagai berikut :



Bab dan bagian-bagian penomoran :
Bab I
II
dst
sub bab 1.1.
1.2.
dst
Seksi 1.1.1.
1.1.2.
dst
sub seksi 1.1.1.1.
1.1.1.2.
dst
dan seterusnya

4.7. MENULISKAN BILANGAN
Tata tulis bilangan merupakan aturan yang rumit, untuk keperluan ini mahasiswa penyusun makalah seminar harus sering berkonsultasi dengan Ketua atau Sekretaris Jurusan. Beberapa pedoman penulisan bilangan misalnya :
4.7.1. Lambang bilangan yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata ditulis dengan huruf, kecuali jika beberapa lambang bilangan dipakai secara berurutan seperti dalam perincian dan pemaparan.
4.7.2. Lambang bilangan pada awal kalimat ditulis dengan huruf, jika perlu satu atau dua kata, tidak terdapat lagi pada awal kalimat.
4.7.3. Angka yang menunjukan bilangan bulat yang besar dapat dieja sebagian supaya lebih mudah dibaca (misalnya Rp 5 Juta).
4.7.4. Bilangan tidak perlu ditulis dengan angka dan huruf sekaligus dalam teks, kecuali didalam dokumen resmi seperti akte dan kuitansi.

4.8. KUTIPAN
Mengutip tulisan dari pengarang lain, dalam penulisan makalah seminar, dapat dibenarkan (tidak dilarang). Walaupun demikian, ada beberapa yang perlu diperhatikan dalam menyisipkan kutipan :
- Hindari kutipan (kutipan langsung) yang terlalu banyak.
- Pengutipan seperti sumber aslinya (kutipan langsung) dilakukan apabila dirasa sangat perlu yaitu jika dengan kata-kata pengutip sendiri dikhawatirkan akan mengurangi arti / makna dari bahan yang dikutip.
- Pengutipan yang terlalu banyak dikhawatirkan akan mengganggu kelancaran uraian daam teks.
4.8.1. MACAM KUTIPAN
4.8.1.1. Kutipan Langsung
Kutipan yang dilakukan persis seperti sumber aslinya. Dibedakan kutipan langsung pendek dan kutipan langsung panjang. Kutipan langsung pendek adalah kutipan-kutipan langsung yang panjangnya tidak melebihi tiga baris ketikan. Sedang apabila melebihi tiga baris ketikan diklasifikasikan sebagai kutipan langsung panjang. Kutipan langsung pendek langsung dijalin dalam teks dengan memberikan tanda petik diantra bahan yang dikutip. Sedang kutipan langsung panjang harus diberi tempat tersendiri dalam alinea yang berdiri sendiri.
Diketik dengan jarak abris 1 (satu) spasi, dengan indensi tujuh ketikan huruf untuk baris pertama dan empat ketukan untuk baris berikutnya, dan tanda petik tidak perlu digunakan.
4.8.1.2. Kutipan Tidak Langsung
Kutipan yang tidak persis sama seperti bahan aslinya. Kutipan ini merupakan petikan pokok-pokok pikiran atau ringkasan kesimpulan yang disusun menurut jalan pikiran dan dinyatakan dalam bahasa pengutip sendiri. Dibedakan menjadi kutipan tidak langsung pendek dan kutipan tidak langsung panjang. Batasannya adalah alinea. Bila satu alinea atau kurang diklasifikasikan sebagai kutipan tidak langsung pendek, sedang bila melebihi satu alinea diklasifikasikan sebagai kutipan tidak langsung panjang. Kutipan ini tidak dituliskan diantara tanda petik, dan diketik dengan jarak 2 (dua) spasi seperti uraian dalam teks.
Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam membuat kutipan adalah:
- Dalam kutipan tidak langsung sebaiknya jangan memasukan pendapat sendiri. Satu alinea sepenuhnya disediakan untuk kutipan tidak langsung.
- Tiap-tiap kutipan diberi nomor dengan angka Arab pada akhir bahan yang dikutip gunanya untuk keperluan penyebutan sumber bahan yang dikutip. Nomor kutipan ini niasanya berurutan sampai akhir bab.
- Seorang pengutip bertanggung jawab penuh akan ketetapan dan ketelitian kutipannya, terutama dalam kutipan tidak langsung, unsur ketepatan harus dijamin dari kepemahaman pengutip terhadap pokok-pokok pikiran dalam bahan yang dikutip.
- Apabila bahan yang dikutip disajikan sebagai bahan yang diperbandingkan dengan bahan yang lain, maka harus ada kesimpulan dari perbandingan itu. Pendirian dari pengutip akan dilihat dari kesimpulan perbandingannya.
4.8.2. TEKNIK PENULISAN KUTIPAN
Sumber kutipan ditempatkan langsung dibelakang teks yang memuat kutipan, dituliskan diantara tanda kurung. Adapun contoh penulisan kutipan adalah :
………………………………..(Best ; 1982 ; hal 38)
maksudnya adalah bahwa bahan yang dikutip tersebut bersumber dari daftar pustaka dikutip dari halaman 38.
Bukunya didalam daftar pustaka
Best, John W. Research In Education. New Delhi : Prentice Hall of India Private Limited, 1982.
4.9. TABEL DAN BAHAN GAMBAR
4.9.1. Penyajian Tabel
Tabel adalah salah saru bentuk penyajian data penelitian. Penyajian tabel merupakan metode sistematis untuk menyajikan data kuantitatif dalam kolom-kolom dan baris-baris yang berhubungan dengan masalah penelitian. Penyajian bdata penelitian dalam bentuk tabel dimaksudkan agar pembaca dengan mudah dan cepat memahami dan menelaah apa yang disajikan. Tabel yang baik yaitu apabila disusun relatif sederhana dan memuat sejumlah terbatas variabel penelitian.
4.9.2. Format Tabel
Komponen utama tabel terdiri dari : nomor tabel, judul tabel, judul kolom-kolom daripada tabel, judul baris-baris daripada tabel, badan daripada tabel atau sel-sel yang ada dalam tabel, sumber data dalam tabel.
Contoh format tabel diperlihatkan dibawah ini :

Nomor Tabel
Judul Tabel
No
Judul Kolom
Judul Kolom
Judul Kolom
Judul Kolom
Judul Kolom
1
Judul Baris
Sel
Sel
Sel
2
Judul Baris
Sel
Sel
Sel





Sumber Data :……………..

4.9.3. Pemberian Nomor dan Judul Tabel
Tabel diberi nomor urut dari awal sampai akhir Skripsi dengan angka Romawi besar (misalnya : TABEL I, TABEL II dan seterusnya). Judul tabel ditulis dibawahnya, seluruhnya dengan huruf besar, tanpa tanda baca, berbentuk piramida termabli apabila lebih dari datu baris dan simetris kiri-kanan.

Catatan : alternatif lain yaitu angka Arab dengan urutan sampai akhir bab (misalnya : Tabel 1.1.,Tebel 1.2., Tabel.2.2., Tebel 3.1., Tbel 3.2, dan seterusnya). Judul tabel dituliskan disebelah kanannya dengan huruf kapital setiap permulaan kata-kata pokok.
4.9.4. Ketentuan Lainnya
Ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan pencantuman tabel ditunjukan sebagai berikut :
1. Nomor dan judul tabel ditempatkan diatas tabelnya.
2. Judul tabel hanya terdiri dari satu baris pendek dapat diketik dengan sela satu ketukan.
3. Tabel yang terdiri dari dua kolom tidak perlu diberi garis kolom.
4. Tabel yang terdiri dari lebih dua kolom hendaknya diberi garis kolom. (disekat dengan garis vertikal).
5. Kadang-kadang untuk memisahkan dua bagian yang sama didalam satu tabel, dibuat garis vertikal rangkap ditengah-tengah tabel.
6. Tabel yang hanya menempati kurang dari setengah halaman teks, dapat ditempatkan langsung dibawah teks yang bersangkutan. Apabila teks sudah samapi dibawah halaman, sebaiknya halaman tersebut dipenuhi dengan teks tadi, sedang tabelnya diletakan segera pada halaman berikutnya. Tabel yang panjangnya lebih dari satu halaman berikutnya. Tabel yang panjangnya lebih dari satu halaman (ruang ketikan) tidak dipernenankan untuk dilanjutkan pada halaman berikutnya . tabel semacam ini diberi kertas sambungan sesuai dengan keperluan (dilipat dengan rapi). Untuk nomor dan judul tabel ditempatkan disebelah kiri halaman tetap ditempatkan disebelah kanan atas.
7. Judul kolom harus diketik tepat ditengah-tengah diatas kolom yang bersangkutan. Untuk menghemat tempat dan ruangan, judul kolom yang terlalu panjang, dapat disingkat (asal tidak menimbulkan salah tafsir dan apabila perlu diberi penjelasan yang ditempatkan dibagian bawah tabel yang bersangkutan). Judul kolom diketik lebih dari satu baris hendaknya diketik dengan satu spasi. Atau bila perlu, untuk menghemat ruangan, judul kolom diketik vertikal dan membacanya dari bawah ke atas.
4.9.5. Penyajian Bahan Gambar
Yang dimaksud dengan bahan gambar adalah meliputi grafik diagram, bagan, peta, foto dan gambar. Penyajian bahan gambar ini bertujuan untuk mempermudah dan memperjelas pemahaman data penelitian.
Petunjuk-petunjuk dlam menyajikan bahan gambar :
1. Bahan gambar harus diberi nomor urut dari awal sampai akhir makalah seminar dengan angka arab (misalnya GAMBAR 1, GAMBAR 2, dan seterusnya).
2. Judul gambar ditempatkan dibawah bahan gambar, diketik dengan huruf besar, tanpa tanda baca, berbentuk piramida terbalik bila lebih dari satu baris, dan simetris kiri-kanan.
3. Bahan gambar yang harus dilukis dengan tangan hendaknya dibuat dengan tinta.
4. Bahan gambar yang kurang dari setangah halaman harus ditempatkan secara serasi sesudah teks (sedapat mungkin pada halaman yang sama). Untuk bahan gambar yang melebihi setengah halaman sebaiknya ditempatkan pada halaman tersendiri.
5. Lebar dan panjang bahan gambar jangan sampai melebihi ruang ketikan. Apabila tidak dapat dihindari (melebihi ruang ketikan) sebaiknya digunakan kertas sambungan dan dilipat sedemikian rupa sehingga nampak rapi dan baik.
6. Apabila dalam makalah seminar itu banyak memuat grafik Diagram, atau bagan, maka dapat dibuat kategori masing-masing dengan nomor angka arab (misalnya GRAFIK 1, GRAFIK 2, BAGAN 1 dan seterusnya).
7. Cara menempatkan bahan gambar tidak selalu harus tegak sesuai dengan bentuk tugas akhir, tetapi dapat ditempatkan secara memanjang sesuai dengan bentuk bahan gambar yang bersangkutan. Judulnya ditempatkan disebalah kanan / sisi kanan yaitu bagian kertas yang tidak dijilid, sedang nomor halaman tetap diletakan di sebelah kanan atas.
8. Tanda-tanda baik dalam bentuk huruf atau angka, yang dipakai dalam gambar harus jelas dan sedapat-dapatnya berukuran sama dengan huruf atau angka mesin ketik.
Catatan : alternatif lain yaitu memberikan nomor berurutan sampai akhir bab, misal Gambar 1.1., Gambar 1.2. Gambar 2.1., Gambar 2.2., Gambar 3.1., Gambar 3.2., dan seterusnya. Judul gambar diketik disebelah kanannya huruf kapital setiap permulaan kata-kata pokok.

4.10. PENYAJIAN DAFTAR PUSTAKA
Dalam menyusun daftar pustaka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Sebut nama pengarangnya, judul karangannya, data tentang penerbitannya, dan jumlah halaman dari karangan tersebut (apabila diperlukan).
2. Daftar pustaka (yang dimulai dengan nama pengarang) disusun alfabetis, dan ini tidak hanya pada huruf terdepannya saja tetapi huruf kedua atau ketiga kadang-kadang juga perlu diperhatikan.
3. Tiap-tiap pustaka diketik dengan satu spasi, dan jarak antara masing-masing pustaka adalah 2 (dua) spasi.
4. Huruf pertama dari baris pertama masing-masing pustaka diketik tepat pada tepi kiri tanpa indensi sedang untuk untuk baris-baris berikutnya digunakan indensi 4 atau 5 ketukan huruf.
5. Penyusunan daftar pustaka dapat diberi nomor dengan angka arab (bukan merupakan keharusan).
6. Cara menulis pengarang asing dalam daftar pustaka ialah dengan mendahulukan nama keluarga (last name / surname) baru kemudian given name-nya (dan diakhiri dengan midle name bilamana ada/disingkat). Untuk dua atau tiga pengarang, nama pengarang kedua/ketiga tidak perlu dibalik.
7. Apabila seorang pengarang menulis dua atau lebih karangan dalam tahun penerbitan yang berbeda, maka daftar pustaka disusun menurut urutan waktu (tahun).
8. Dalam daftar pustaka sama sekali tidak boleh dicantumkan sumber referensi yang tidak pernah dibaca oleh penulis. Bila ia mengutip dari suatu buku, dan buku tersebut mengutip dari buku lain, maka yang dicantumkan dalam daftar pustaka adalah buku yang dibaca sendiri tersebut.
9. Bahan-bahan yang tidak diterbitkan dan tidak perlu diperoleh di perpustakaan (misalnya berupa pertanyaan lisan seperti keterangan pribadi, hasil wawancara dan seterusnya) tidak perlu dituliskan dalam daftar pustaka.
10. Gelar / titel yang dipunyai pengarang, dalam daftar pustaka dapat dicantumkan dan ditempatkan dibelakang nama (bukan merupakan keharusan).
11. Apabila jumlah referensi banyak, daftar pustaka dibagi-bagi dalam beberapa bagian, ada bagian untuk penerbitan berkala dan sebagainya.

Contoh-contoh penyajian Daftar Pustaka adalah sebagai berikut :
BUKU
Satu Pengarang

Supriyono. Akuntansi Biaya dan Akuntansi Manajemen Untuk Teknologi Maju dan Globalisasi. Yogyakarta : BPFE-UGM, 1994.

Dua Pengarang

Alvin A. Arens, James K. Loebbecke. Auditing : An Integrated Approach. London : Prentice Hall International Editions, 6 Edition, 1994


Tiga Pengarang

Heidjrahman R.,Sukanto R.,dan Irawan. Pengantar Ekonomi Perusahaan. Yogyakarta : Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, 1980.


BUKU DENGAN EDISI BUKAN EDISI PERTAMA

Djarwanto PS. Statistika Nonparametrik. Edisi 2 Yogyakarta : BPFE, 1985.

Buku Sumber Kedua

Krug, Edward A. Curriculum Planning. New York : Harper & Row, 1950. Mengutip dari hart P Kelly. Educatioan For What Is Real. “New York: Harper & Row, 1974.

Buku yang ditulis bukan oleh pengarang atau penyunting buku yang bersangkutan

Ahluwalia, M. “Income Inequality : Some Dimension Of The Problem” In H Chenery et al. Redistribution With Growth. London : Oxford University Press, 1974.


Seri atau rangkaian karya

Sutrisno Hadi, Efisiensi Kerja. Jilid I dari seri Kapita Selekta “Psikologi Kerka”, 5 Jilid, Yogyakarta : [t.p],[t.th].

Lembaga sebagai penyusun buku

FAO.Production yearbook 1995U. Rome : FAO, 1996

Surat Kabar

Kompas [Jakarta], 14 November 1996.

Jurnal/Penerbitan Berkala

Dewan Rahardjo, M “Dunia Bisnis di Persimpangan jalan” Prisma. Juli 1983, 7. Hal 1-12.

Hasil Penelitian

Faisal Kasryno et al. Perkembangan Institusi dan Pengaruhnya terhadap Distribusii Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja : Kasus di Empat Desa di Jawa barat. Bogor : studi Dinamika Pedesaan, 1981.

Paper dalam Seminar/ Lokakarya

Mangundikoro, Apandi. “Konservasi tanah Dalam Rangka Rahabilitas Lahan di Wilayah Daerah Aliran Sungai” Kerta Kerja pada Lokakarya Pola dan Usahatani ke VI, Bogot, 20-21 Juni 1983.

Bahan yang Tidak Diterbitkan

Barizi. Teknik Perencanaan Linear unutk Penyusunan Rencana di Bidang Pertanian”. Bogor : Institut Pertanian Bogor, 1979 (Stensilan).
Makalah Seminar / Tesis / Disertasi

Budiarto. “Sebab-sebab dan Cara Pencegahan Labor Turnover di Pabrik Rokok Menara Sala”. Makalah Seminar Sarjana tak diterbitkan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1972.